Thursday, December 16, 2010

11. Hasil Wawancara dengan Bumi: Tips Bumi Mengatasi Rasa Bosan

Mungkin saja tujuan/lintasan rute tujuan hidup kita, mirip seperti tujuan/lintasan rute dari bumi dan matahari... Tujuan hidup bumi, apalagi matahari sangat sederhana....

Apakah iya tujuan perjalanan kita hampir sama dengan tujuan perjalanan Bumi... coba tanya kepada Bumi...hai Bumi... Anda sudah tua....Anda mau ke mana...Apa tidak bosan mengelilingi matahari?

Bumi kemudian menjawab, "...jangan tanya kepada saya, lebih baik tanyakan saja kepada matahari...mungkin dia yang merasa bosan...kalau saya sih senang-senang saja...peran saya masih uenak dibandingkan dengan peran matahari...sampai saat ini, saya sangat senang jalan-jalan mengelilingi matahari...walaupun lintasannya itu-itu juga....:) Setiap saya selesai mengelilingi matahari dalam satu putaran, saya melihat orang-orang yang menghuni saya,  dengan antusias merayakannya...pada awalnya saya merasa biasa saja, karena itu memang sudah rutin saya lakukan... tapi akhir-akhir ini, saya dapat merasakan perasaan senang/gembira dari orang-orang yang menghuni saya tersebut....jujur saya ikut merasakannya...memang ada sih pikiran jail...kapan ya sekali-sekali matahari yang mengelilingi saya... hehehe..."

Kalau bumi, jelas tampak mengelilingi matahari; terus saja dia berputar-putar mengelilingi matahari. Nah… bagaimana dengan matahari… Matahari yang setiap hari berusaha memberikan kehangatan bagi lingkungan dan seluruh makhluk hidup, ke mana arah tujuan/pergerakannya? Apakah kita berani bertanya kepada matahari...Anda mau ke mana...Apa tidak bosan berdiam saja (dikelilingi Bumi)? ini saya sampaikan pesan dari Bumi: mbok ya... Anda toh yang sekali-sekali mengelilingi bumi...hehehe...

Jika kita boleh berandai-andai…(tapi ini bukan waham kebesaran lho ya… :)… kira-kira, mana analogi yang lebih cocok dengan diri kita, kita lebih enak menjalankan peran bumi, atau lebih enak menjalankan peran matahari….? atau... kita bagaikan diri kita sendiri saja...lebih enak menjalankan peran diri sendiri...bukan peran matahari... atau peran bumi.... :)

Jadilah sederhana dan teratur seperti sistem tata surya...sistem yang sibuk dalam keteraturan dan perannya masing-masing...sistem yang tidak bosan dalam keteraturan/peran/rutinitasnya sehari-hari... :)

04 & 12. Pemandangan = Tanda/Petunjuk dari Suatu Rute

Ketika kita sedang berada dalam perjalanan, begitu banyak adegan yang kita anggap indah ataupun  yang kita anggap mengganggu. Tetapi, ketika kita tahu ke mana kita harus pergi, kita akan menganggap berbagai adegan tersebut sebatas pemandangan.

Pemandangan (kejadian baik/buruk) pada prinsipnya bersifat netral, tidak mengganggu dan tidak memukau. Pemandangan akan terasa mengganggu atau memukau, jika kita belum pernah melewati jalan di mana pemandangan tersebut ada. Tetapi, jika pemandangan tersebut sudah sering kita lihat, karena kita terbiasa melewati jalan tersebut, tentunya pemandangan tersebut menjadi tampak biasa saja. (Bayangkan pemandangan yang kita jumpai setiap hari saat pulang pergi rumah-tempat kerja atau rumah-sekolah)

Saat kita belum pernah melewati jalan tertentu, boleh jadi kita terpukau atau terganggu dengan sebuah pemandangan, bahkan boleh jadi kita menjadi terhenti karenanya. Perjalanan menjadi semakin lama terhenti, ketika kita sibuk mencari jawaban/alasan dari suatu pemandangan. Pemandangan (kejadian baik/buruk) bukan untuk membuat kita bertanya (menjadi bingung), tetapi untuk membuat kita bertindak (menjadi bijak). Pemandangan (kejadian baik/buruk) bukan untuk membuat kita bertanya (menjadi bingung), tetapi untuk membuat kita ingat (nyirenin) bahwa rute yang kita tempuh untuk menuju suatu tempat/lokasi, sudah benar.

Bergeraklah terus menuju tujuan (melintasi rute yang sudah ditentukan), dengan tetap menghargai setiap pemandangan/adegan yang ada (baik maupun buruk). Pemandangan membuat kita tidak bosan dalam perjalanan menuju ke atau dari rumah. Pemandangan justru membuat kita tidak bingung dengan arah dan tujuan kita. Coba bayangkan kalau perjalanan dari dan menuju ke rumah sama sekali kosong...atau benar-benar gelap gulita... hampa...

Sebagai refleksi, mungkin kita pernah merasa kangen dengan berbagai pemandangan (kejadian baik/buruk/menantang) yang pernah kita lalui.... hehehe...Hal ini mirip dengan film horor, sebagian dari kita takut terhadap film horor, tetapi kita sangat ingin menontonnya... aneh bukan...wong takut, kok malah kepingin...

Thursday, November 25, 2010

05. Konflik Nilai, Konfliknya Orang Bijak

Tanda positif (+) adalah tanda yang mewakili hubungan vertical maupun horizontal. Tanda (+) tersebut adalah tanda yang menunjukkan keseimbangan. Apa yang dimaksud dengan keseimbangan?

Beberapa orang menyatakan bahwa keseimbangan adalah hidup yang proporsional antara bekerja, belajar, dan bermain. Beberapa orang lagi menyatakan bahwa keseimbangan adalah hidup yang proporsional antara pemenuhan kebutuhan materi dan pemenuhan kebutuhan rohani.

Berbagai pernyataan tersebut boleh-boleh saja diterima sebagai suatu pola pikir.

Dalam artikel ini, konsep keseimbangan lebih diartikan pada kondisi di mana kita bisa memanfaatkan  sumber daya positif di dalam diri kita (nilai-nilai) secara harmonis. Contoh: kita mampu mengharmoniskan antara (a) ketelitian/kecermatan dan kecepatan dalam bekerja, (b) kepatuhan terhadap norma/peraturan dan pertimbangan yang bersifat bijaksana, atau (c) kesetiakawanan terhadap rekan kerja dan kejujuran menyatakan hal yang sebenarnya.

Mengharmoniskan ketelitian/kecermatan dan kecepatan dalam bekerja, bagi sebagian orang adalah hal yang mudah, tetapi bagi sebagian orang lagi adalah tantangan. Saat kita cepat dalam bekerja, sangat ideal jika disertai dengan ketelitian/kecermatan terhadap hasil kerja. Permasalahannya, umumnya jika kita mengutamakan ketelitian/kecermatan, waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama; sebaliknya, saat kita harus mengerjakan suatu pekerjaan secara cepat, adakalanya kita memberikan perhatian terhadap hal-hal yang pokok saja, sehingga hal-hal yang detil kadang terlewati.

Demikian pula harmonisasi kepatuhan terhadap norma (penegakan peraturan) dan pertimbangan yang bersifat bijaksana. Misalnya, menurut aturan, setiap siswa tidak boleh datang terlambat. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan kebijaksanaan untuk memilah mana kondisi yang tidak dapat diterima dan mana kondisi yang masih dapat diterima. Katakanlah, seorang siswa terlambat, karena ia harus mengurus ibunya yang sedang sakit. Apakah siswa tersebut masih diterima untuk masuk kelas, jika ia datang terlambat?  Tapi…apakah siswa tersebut masih berani untuk datang, jika ia sudah tahu pasti terlambat? Seberapa jujur siswa tersebut dan seberapa percaya seorang guru terhadap alasan siswa tersebut?

Contoh lain dari hal yang memerlukan keharmonisan adalah antara kesetiakawanan terhadap rekan/sahabat dan kejujuran untuk menyatakan hal yang sebenarnya. Kesetiakawanan adalah hal yang baik, kejujuran juga adalah hal yang baik. Menyeimbangkan antara hal yang baik dan hal yang baik lainnya kadang kala adalah hal yang sulit. Ada kalanya, kita dihadapkan pada kondisi di mana kita harus mengerjakan tugas dengan segera, namun pada saat yang bersamaan kita dihampiri oleh rekan, sahabat, atau orang yang kita hormati/sayangi. Ada kalanya kita ingin mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian, tetapi pada saat yang bersamaan, teman dekat kita mengajak ngobrol atau minta ditemani… Bagaimana agar semua kebaikan tersebut kita dapat? Bagaimana kita secara jujur menyatakan hal yang sebenarnya kepada teman, tanpa menyinggung perasaannya?

Mengharmoniskan dua atau lebih hal yang baik adalah sangat ideal. Namun, pada saat berbagai kebaikan tersebut sulit untuk didapatkan sekaligus, mungkin kita harus memilih atau mengambil keputusan secara bebas tanpa perasaan tertekan. Semua keputusan adalah baik dan benar, asalkan tidak ada perasaan menyesal di kemudian hari. 

Thursday, November 11, 2010

04. Masa-masa Bahagiaku

Keheningan adalah suatu usaha untuk menemukan “diri sejati”. Jiwa (soul) adalah “diri sejati” yang memegang identitas dari segala sesuatu tentang “saya” dan “anda”. Jiwa adalah identitas asli diri kita; Saat kita menyadari-"nya", kita akan mendapat makna dan arah/tujuan hidup kita.

Kondisi inilah yang kita sebut sebagai kesadaran “who am I” yang merupakan jawaban atas pertanyaan “siapa saya”. Pertanyaan ini umumnya muncul saat kita menginjak usia remaja; praktisi psikologi sering menyebutnya sebagai pencarian jati diri/identitas.

Setelah lanjut dari masa remaja, mudah-mudahan pertanyaan tersebut sudah dapat kita jawab dengan benar. Kebenaran jawaban atas pertanyaan tersebut membuat kita dapat berbahagia; berbahagia dengan senantiasa fokus pada kondisi “saya” pada saat ini, bukan pada masa lalu, atau pada masa depan.  

Saat ini, detik ini, adalah kondisi di mana saya merasa bahagia… :)
Kapan lagi kita akan merasakan hal yang sama? :)

Wednesday, November 3, 2010

08. Membicarakan Sifat Orang Lain = Membicarakan Sifat Diri Sendiri

Ketika kita dapat melihat lebih dekat pada diri sendiri, kita bisa melihat sifat (trait) mana dalam kepribadian kita, yang ingin kita ubah (menjadi lebih positif). Sebutlah misalnya sifat/kecenderungan untuk mengobservasi dan membicarakan perilaku orang lain “yang kurang berkenan bagi kita”. Misalnya lho ya...

Mengobservasi perilaku orang lain pada hakikatnya adalah hal yang netral. Tetapi, membicarakan perilaku orang lain “yang kurang berkenan bagi kita”…belum tentu netral…

Saat kita membicarakan perilaku orang lain, yang terjadi adalah proses proyeksi. Isi pembicaraan mengenai perilaku orang lain, adalah cermin dari kualitas yang ada di dalam diri kita. Sulit bagi kita yang punya kualitas bijaksana, untuk mengatakan bahwa orang lain tidak bijaksana. Sulit bagi kita yang punya kualitas welas asih, mengatakan orang lain pelit. Sulit bagi kita yang punya kualitas pemaaf, mengatakan bahwa orang lain pemarah. Sulit bagi kita yang punya kualitas menghargai, mengatakan bahwa orang lain kurang sopan…hehehe…

Jika kita punya kualitas menghargai, welas asih, pemaaf, dan bijaksana, kita tidak akan membicarakan perilaku orang lain "yang kurang berkenan bagi kita". Sifat-sifat orang lain yang kita bicarakan, adalah sifat-sifat diri kita. Mengubah sifat orang lain = mengubah sifat diri sendiri.

Lain halnya saat kita membicarakan perilaku orang lain secara professional. Saat membahas perilaku orang lain secara professional, output-nya adalah berupa laporan pemeriksaan psikologis atau berupa point-point rekomendasi untuk perbaikan diri sendiri dan juga untuk perbaikan orang lain.

Pertanyaannya: Bagaimana laporan psikologis yang dibuat oleh professional yang memiliki sifat/kualitas menghargai, welas asih, pemaaf, dan bijaksana? :)

Saturday, October 23, 2010

12. Beautiful Drummer & Beautiful Pianist

Sifat introvert dan extrovert adalah berkah/kekuatan bagi kita…

Saat kita tahu kapan harus menampilkan sifat introvert dan kapan harus menampilkan sifat extrovert, maka sifat tersebut akan menjadi kekuatan bagi kita…. Apa iya?!??

Sifat introvert dan sifat extrovert ibarat tangan kiri dan tangan kanan. Tidak ada tangan yang lebih jelek atau lebih bagus. Semua tangan akan bagus, saat kita mampu memanfaatkan/mengoptimalkan fungsi keduanya.

Secara umum, sebagian dari kita ada yang cenderung menggunakan tangan kanan, dan ada yang cenderung menggunakan tangan kiri (kidal). Karena kecenderungan tersebut, kita cenderung hanya menggunakan tangan yang itu-itu saja. Namun, hal ini bukan berarti tangan yang lainnya tidak dapat dimanfaatkan. Tangan yang lain tetap berpotensi untuk dilatih dan dimanfaatkan. Jika kita dapat melatih dan memanfaatkannya secara maksimal, tangan yang lain akan menjadi sama primanya dengan tangan yang cenderung kita gunakan.

Ambilah contoh pemain drum dan pemain piano….(maksudnya, pemain drum/piano yang ulung lho ya :)

Kedua tangan mereka sama prima-nya; berbeda dari tangan orang-orang pada umumnya. Kedua tangan mereka dapat dimanfaatkan dengan sama baiknya, sehingga permainan drum atau permainan piano mereka menjadi sangat prima dan sangat memukau penonton.

Kedengarannya sepele….
“Mengoptimalkan tangan kiri, sebaik tangan kanan…”,
“Mengaktifkan tangan kiri, sehingga sama aktifnya dengan tangan kanan”,
tapi hasilnya wauwww…
bisa duapele, tigapele…, atau berpele-pele (ngomong opo toh iki?? :)

Kembali kepada sifat introvert dan sifat extrovert. Sifat mana yang lebih dominan pada kita?

Ada kecenderungan bahwa kita mempersepsi kecenderungan menampilkan sifat extrovert adalah sifat yang baik. Sifat extrovert membuat kita dianggap bersedia melakukan self-disclosure (bersedia mengungkapkan diri); Sifat extrovert dianggap membuat kita mampu menunjukkan inisiatif (bersedia memperkenalkan diri terlebih dahulu kepada orang lain atau bersedia menawarkan bantuan terlebih dahulu kepada orang lain); Sifat extrovert dipandang membuat kita mampu memberikan dukungan emosional kepada orang lain; dan lain-lain, yang pada prinsipnya membuat sikap extrovert dipersepsikan sebagai sesuatu yang baik.

Lain halnya dengan sifat introvert. Individu dengan sifat introvert, dianggap cenderung menarik diri, cenderung pemurung, cenderung kurang suka berteman, cenderung kurang suka bergaul; pokoknya, sikap introvert kurang menarik untuk dimiliki. Individu takut sekali dicap kurang popular jika memiliki sifat introvert.

Persepsi seperti ini, cenderung memojokkan sifat introvert; sama halnya seperti kita memojokkan tangan kiri (bagi kita yang cenderung menggunakan tangan kanan).

Jika kita terus memojokkan tangan kiri, kapan kita mau jadi pemain drum atau pemain piano yang ulung??? (hehehe… jangan di-counter dengan jawaban seperti ini lho ya: “ ihhh… emang siapa yang mau jadi pemain drum atau jadi pemain piano???”…hehehe…)

Pemain piano atau pemain drum yang ulung, setiap hari melatih kedua tangannya. Bahkan, menurut pengamatan penulis, kadang-kadang, tangan kiri dari pemain drum/piano, lebih “jago” lho…, walaupun sehari-harinya pemain drum/piano tersebut tampak lebih sering menggunakan tangan kanan. (mohon maaf kalau pengamatan penulis salah… hal ini sifatnya kualitatif… yang kadang kala tidak dapat digeneralisasi :)

Jadi… begini saja…
Kapan kita mau latihan untuk sekali-sekali bersifat introvert?
Coba dululah…
Nanti boleh dirasakan manfaat/kekuatannya :)
Introvert = Ketenangan = Kedamaian = Kedalaman/Kejernihan Berpikir = Kehati-hatian dalam berkata-kata/bertindak = Kemayu (tampil secara anggun/sopan) = Ke-Ke- yang lainnya, pokoknya yang baik-baiklah, yang sumbernya adalah sifat intovert.

Selamat mencoba dan berlatih menggunakan "tangan kiri"…
Selamat memiliki kekuatan baru....

Lhaa…kalau salaman bagaimana…???
ya… tetap pakai tangan kanan lahhh… :)

hehehe…

atau begini…
supaya lebih hangat…
salaman pakai tangan kanan…
setelah itu...dilanjutkan dengan salaman pakai tangan kiri… :)
kalau disangka aneh...terus salaman lagi pakai tangan kanan...
terus saja begitu... ganti-gantian....:)
maunya opo tohnduk....nduk…?? :) :)

Friday, October 22, 2010

02. Sa Aku Tumanei si Papa Mama

Memberikan “sesuatu” tidak harus berupa barang/materi. “Sesuatu” yang paling berharga adalah memberikan waktu dan restu (buah pikiran) yang baik. Waktu dan restu/buah pikiran yang baik tersebut, adalah menjadi modal dasar bagi kita dan orang lain untuk berani “melangkah”.

Saat kita sudah besar, kita tentu bisa menyadari bagaimana lelahnya orang tua memberikan waktu.

Bila kuingat lelah... 
ayah bunda…
Bunda piara,
piara akan daku,
sehingga… aku besarlah…

waktu ku kecil…
hidupku…
amatlah senang…


Bisa/masih ingatkah kita, ketika orang tua kita menemani kita untuk belajar “melangkah”. Mereka sudah memberikan yang terbaik, yaitu waktu (untuk menemani kita) dan restu (buah pikiran) yang baik, yang diwujudkan dengan kata-kata: “ayo nak…hati-hati jatuh ya nak...ayo... “ yang disertai senyuman tulus di wajahnya.   

Di saat kita sudah bisa “melangkah”…
seberapa banyak waktu dan restu baik yang akan kita berikan kepada mereka?

10. Bersahabat dengan Mesin

Bekerjasama dengan orang lain adalah kegiatan praktikum dari nilai toleransi. Nilai toleransi terwujud dengan cara kita memahami sistem nilai dari orang lain.

Untuk sementara, anggap saja kita sebagai sarjana teknik. Bagi sarjana teknik (misalnya teknik mesin), untuk dapat memanfaatkan mesin yang ada dihadapannya, kita perlu mempelajari seluk beluk mesin tersebut....hehehe...bukan mesin tersebut yang kita harapkan mempelajari seluk beluk kita, si sarjana teknik mesin.

Artinya apa?

Artinya, si sarjana teknik (mesin), berusaha untuk memahami sistem kerja dari mesin yang bersangkutan. Dengan kata lain, si sarjana teknik menerapkan nilai toleransi kepada si mesin. Dengan demikian, ia akan benar-benar memahami si mesin dan akhirnya bisa bekerja sama dengan si mesin.

Untuk dapat memanfaatkan si mesin, si sarjana teknik, sangat paham bahwa ia yang harus bertoleransi kepada si mesin, bukan sebaliknya. Si sarjana teknik sangat paham, bahwa mesin tidak dapat diharapkan untuk bertoleransi kepadanya.

Kadang kala, orang lain juga ibarat mesin. Orang lain seperti halnya mesin, memiliki sistem kerja, yang namanya sistem nilai. Sistem nilai dari setiap orang adalah unik.

Untuk bekerja sama dengan orang lain, kita perlu mengenal sistem nilainya. Sistem nilai dari setiap orang, sebenarnya dirancang untuk suatu scenario yang sangat sempurna. Dengan demikian, tidak ada sistem nilai yang salah. Sistem nilai adalah selalu baik.

Jika kita menghadapi orang yang menurut kita agak sulit dipahami, maka bukan sistem nilai dari orang tersebut yang salah, tetapi boleh jadi sistem nilai yang ada masih kabur….(nilai yang ada, belum teraplikasikan secara seimbang dan konsisten).

Sistem nilai tidak perlu banyak/rumit… setidaknya kita memiliki 2-3 nilai yang kita prioritaskan, dan pelaksanaan nilai tersebut kita pastikan secara konsisten dan seimbang :)

Refleksi: Memahami sistem nilai orang lain, dimulai dengan menerapkan sistem nilai bagi diri sendiri. Apa 2-3 nilai yang kita sukai dan kita prioritaskan?

Wednesday, October 20, 2010

03. Makhluk Halus di "Kamar" - Ku

Pernahkah kita merasa orang lain tidak lagi memberikan perhatian terhadap kita. Orang lain tidak lagi memberikan perhatian yang dahulu sering kita dapatkan. Orang lain tampak “cuek” terhadap kita.

sssiaan deh kita (dibaca dengan gaya…ssssiaan deh lo…)
husss… nda’ sopan ya !! – apaaa coba…?? :) :)

Supaya diri kita tetap merasa nyaman, kita cenderung melakukan rasionalisasi dan menganggap bahwa sifat orang lain pada umumnya seperti itu. Orang lain hanya hormat pada status yang kita miliki. Pada saat kita tidak lagi memiliki status (khususnya status sosial), (kita merasa) orang lain tidak lagi menghormati kita.  

Saat orang lain tidak lagi memerhatikan atau tidak lagi menghormati kita, apakah kita merasa tersinggung atau merasa tidak bahagia?

Jika kita merasa tersinggung, berarti kesadaran kita terhadap batas-batas di sekitar diri yang melingkupi kita, lebih dominan daripada kesadaran kita terhadap “diri” yang sesungguhnya.

Batas-batas yang dimaksud, berkaitan dengan kesadaran kita terhadap badan/dunia fisik ini.

Dengan kata lain, (kesadaran terhadap) badan/dunia fisik, membuat “kita” (merasa) bersinggungan/tersinggung terhadap batas-batas badan/dunia fisik ini.

Kebersinggungan/ketersinggungan terhadap batas-batas badan/dunia fisik ini, hanya dapat kita rasakan; tidak dapat kita lihat, baik dengan teropong, mikroskop, atau dengan kacamata sepuluh ribu dimensi sekalipun…:) :)

Bagaimana rasanya kebersinggungan/ketersinggungan?
ya masing-masing kita bisa merasakannya…
agak sakit/berat.. atau bahkan sakit/berat sekali…

Kondisinya akan lain, jika… kesadaran terhadap batas-batas fisik tersebut, berhasil kita “lampaui”, dengan ingatan/kesadaran pada sifat asli diri kita yang sangat halus.

Bayangkan kalau kesadaran/ingatan kita terfokus pada sifat asli diri kita yang sangat halus; kira-kira, apakah kita masih merasa tersinggung (bersinggungan dengan sesuatu)?

Kemungkinan besar tidak! Kita tidak lagi merasa tersinggung/bersinggungan dengan sesuatu (batas-batas fisik); dan mungkin, bukan saja tidak lagi merasa tersinggung/bersinggungan, tetapi kita mampu/berhasil melampaui batas-batas badan fisik… waduhh… fantastis sekali… :)

Kita ulangi research question kita, “Saat orang lain tidak lagi memerhatikan atau tidak lagi menghormati kita, apakah kita mampu tidak merasa tersinggung dan masih tetap merasa bahagia?”

Jika jawabannya kita masih tetap merasa bahagia (tidak merasa tersinggung), berarti ingatan/kesadaran kita sudah benar-benar fokus terhadap bentuk “diri” kita yang asli, yang sangat halus.

Ya… diri kita yang sesungguhnya, pada hakikatnya damai dan sangat halus, bahkan mampu melampaui batas-batas fisik.

Saking halusnya, “diri” kita yang sesungguhnya tidak bisa tersinggung/bersinggungan dengan sesuatu yang membatasinya.

Prinsipnya: Semakin sadar bahwa “diri” kita dalah jiwa yang memiliki sifat asli sangat halus, semakin kita mampu merasakan kehalusan tersebut. Semakin halus, semakin sedikit ketersinggungan; dan semakin halus, semakin kita mampu melampaui/menembus batas…

Sunday, October 17, 2010

07. Projek 2037: PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Pikiran)

Selain dari makanan dan kondisi tubuh, energi kita dipengaruhi oleh apa yang sedang kita pikirkan.

Coba saja pikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan atau pengalaman yang mengecewakan di masa lalu, bagaimana rasanya???

Bandingkan dengan kondisi memikirkan hal-hal yang menarik atau memikirkan rencana mengerjakan sesuatu yang bermakna/menguntungkan. Bagaimana rasanya???

Kalau saya sendiri merasakan ada perbedaan…pada dua kondisi tersebut… :)

Perbedaannya adalah muatan energi yang dirasakan… atau excitement yang kita alami..

Jadi… memang benar…selain dari makanan yang kita makan dan dari kebugaran kondisi tubuh, jenis pikiran atau cara berpikir kita juga menentukan besar tidaknya energi yang kita miliki.

Jika boleh digambarkan dengan rumus regresi, mungkin rumus/persamaannya untuk sementara ini adalah sebagai berikut:

Y’ = a.X1 + b.X2 - c.X3 + d

dimana:

Y’ = Energi/Semangat/Motivasi Kerja/Motivasi Belajar
X1 = Jenis pikiran (buah pikiran yang kita miliki pada waktu tertentu)
X2 = Jenis makanan (jumlah kalori yang kita konsumsi)
X3= Lamanya waktu, terhitung sejak bangun tidur (semakin lama, kondisi tubuh semakin tidak bugar)

Keterangan Tambahan:

X1. Jenis pikiran yang paling menimbulkan energi besar, mungkin berbeda-beda pada setiap orang; tetapi, mungkin juga sama… Kalau saya sendiri, jenis pikiran yang paling menimbulkan energi besar adalah berpikir tentang “nilai”. Bagaimana dengan Anda? :)

X2. Jenis makanan yang kita makan; menurut mitos, jenis makanan yang terbuat dari daging, lebih berenergi daripada yang bersumber dari tumbuhan/tanaman. Tetapi kita boleh belajar dari hewan. Hewan yang tenaganya besar dan staminanya kuat, justru adalah hewan-hewan pemakan tumbuhan. Sebutlah kuda; tenaga kuda (horsepower [HP]) bahkan dijadikan satuan ukur daya/tenaga secara internasional; cobalah lihat brosur kalau kita mau beli mesin/mobil… mungkin di situ kita bisa lihat berapa HP yang ditawarkan oleh mesin tersebut. Belum lagi atlet-atlet yang vegetarian berpeluang sama untuk menjadi juara dunia (lihat: http://kontaktuhan.org/news/news163/vg2.htmhttp://kontaktuhan.org/news/news201/ve_60.htm)

... lho... katanya ngomongin energi... kok jadi ngomongin vegetarian...?? :):)

X3. Lamanya waktu kita bangun, terhitung sejak bangun tidur. Ya… kita bisa merasakan bahwa semakin lama waktu yang kita gunakan untuk bangun… semakin lemas kondisi/stamina kita; hingga pada suatu titik, kita menjadi sangat ngantuk, kehabisan energi, dan membutuhkan tidur. Kita dapat membayangkan, semakin kecil angka pada X3, energi yang kita miliki, cenderung (masih) prima. Bayangkan kondisi pada saat kita baru bangun tidur di pagi hari yang segar. (Pada saat mengukur X3, ada catatan: ...jangan begadang lho ya… :)

Friday, October 15, 2010

04. (sambil bersenandung dengan senang :)... "Satu ditambah satu... sama dengan ...dst."

Saat kita berhasil mengerjakan sesuatu, kita akan merasa suatu kesenangan.
Berhasil, artinya bukan saja selesai, tetapi juga mengerjakan sesuatu dengan benar…. ya dengan benar… !!

Beda rasanya, saat kita mengerjakan sesuatu secara salah dan mengerjakan sesuatu secara benar….

Dalam hal ini, mengerjakan sesuatu secara benar, hanya dapat divalidasi oleh hati nurani.
Kita bisa berpura-pura senang terhadap orang lain, tetapi tidak bisa berpura-pura senang kepada diri sendiri.

Ambillah contoh mengerjakan soal hitungan…

“9 + 7 = 4”

Bagaimana perasaan kita melihat hasil perhitungan tersebut…

janggal, aneh, ganjil, tidak nyaman, dll…

atau soal hitungan “3 - 10 = 5”

saat kita selesai mengerjakannya, tetapi tidak benar…
perasaan yang muncul, juga sama….
janggal, aneh, ganjil, tidak nyaman, dll…

lebih ada perasaan senang, jika kita melihat hasil perhitungan tersebut benar….

Saat terjadi kondisi yang salah, umumnya kita berusaha mencari pembenaran…
Kita berdalih bahwa hal tersebut adalah penerapan konsep kreativitas…

Ya… boleh saja ada pembenaran, namun kita harus bisa memastikan bahwa pembenaran tersebut dapat diterima oleh akal budi, dan bersifat konsisten….

Saat kebenaran/pembenaran bersifat konsisten pada berbagai pengujian, maka kita akan merasa senang…

Misalnya…pembenaran bahwa…“Konsep di atas, adalah konsep JAM yang memiliki satuan 0 - 12”

“1 + 12 = 1”
“7 + 9 = 4”
“1 – 2 = 11”
“5 – 10 = 7”

Jadi lebih benar? Jadi lebih senang?
Jika iya… maka tesisnya adalah… “saat suatu kondisi benar… perasaan kita akan senantiasa senang…”

Perasaan senang, adalah salah satu tanda, bahwa sesuatu yang benar telah/sedang dimulai…

Salah satu lho ya…bukan salah semua… :)

Thursday, October 14, 2010

01. Jubah & Masker: Perlengkapan bermain Dokter-dokteran

Dalam menangani penyakit yang agak berbahaya, dokter terlihat menggunakan jubah dan masker. Secara logika, hal ini tentu bertujuan untuk mencegah penularan dari penyakit yang sedang ditanganinya… pasti bukan untuk gaya-gayaan…hehehe...

Mungkin sama halnya dengan profesi psikolog, dalam menghadapi klien yang mengalami masalah/keluhan yang agak berat, psikolog seharusnya menggunakan “masker dan jubah” untuk mengantisipasi penularan keluhan yang dialami oleh klien.

Mengapa psikolog perlu menggunakan “masker dan jubah”? Psikolog perlu menggunakan “masker dan jubah” , karena mereka sepertinya lebih rentan daripada dokter yang menangani penyakit yang agak berbahaya. Untuk memahami keluhan yang dialami klien, psikolog kadang menggunakan kemampuan simpati (kemampuan untuk merasakan pikiran/emosi negatif) dan juga kemampuan empati (kemampuan untuk merasakan pikiran/emosi baik negatif maupun positif).

Kemampuan tersebut (khususnya simpati) sangat rentan menjadi boomerang bagi si psikolog, untuk membawa/men-transformasi hal/masalah/keluhan yang dialami klien menjadi suatu hal yang seolah-olah dialami oleh dirinya. Ibarat penyakit, hal ini seperti membawa penyakit yang dialami pasien ke dalam tubuh si dokter… wahhh… gawat… gawat darurat…bukannya si pasien sembuh, malah si dokter juga jadi sakit…

Nah…untuk itu, kita sebagai psikolog perlu belajar dari profesi dokter untuk mengenakan masker dan jubah… “masker dan jubah” yang dimaksud di sini adalah “pengetahuan” tentang: (a) diri sejati, (b) sang sumber kehidupan, (c) drama kehidupan, dan (d) pengetahuan mengenai orang lain, yang pada hakikatnya adalah keluarga kita.

Dengan keempat pengetahuan tersebut, kita sudah menggunakan “masker dan jubah”. Keempat pengetahuan tersebut juga berfungsi sebagai modal; modal untuk menolong orang lain, modal untuk memisahkan mana yang menjadi masalah dari diri sendiri dan mana yang menjadi masalah orang lain, modal untuk mengetahui sumber obat/penyembuhan sejati, dan modal untuk mengetahui prognosis (kemungkinan sembuh-tidaknya suatu penyakit/masalah).

Wednesday, October 13, 2010

05. Menambah/Melatih Kebebasan

Kebebasan merupakan harta karun. Kita tidak perlu mengharapkan harta tersebut. Kita sudah mendapatkannya, dan kita dapat menggunakannya sewaktu-waktu, kapan pun ada kesempatan.

Semakin sering kita menggunakannya, semakin sering kita memanfaatkannya, semakin banyak/bertambah harta kebebasan yang kita miliki. Aneh ya… kok ada harta yang semakin sering digunakan… malah semakin banyak/bertambah …??

Kebebasan bukan terletak pada pengharapan atas orang lain, tetapi pada buah pikiran positif yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Saat kita banyak mengharap kepada orang lain, kita belum atau tidak memanfaatkan harta kebebasan yang kita miliki.

Kebalikan dari prinsip di atas… Semakin banyak kita mengharap kepada orang lain, semakin kita tidak memanfaatkan harta kebebasan yang kita miliki, semakin berkurang harta kebebasan yang kita miliki. Aneh juga ya… ada jenis harta yang semakin jarang digunakan … malah semakin sedikit/berkurang…??

Cara memanfaatkan harta kebebasan yang kita miliki, adalah dengan jalan menggunakan fasilitas pikiran. Pikiran yang kita miliki pada hakikatnya adalah harta karun, yang bersifat sangat bebas. Tidak ada yang dapat menghalang-halangi kebebasan pikiran kita. Kita dapat memikirkan apapun, kita bebas mengkreasi apapun dengan pikiran kita, kita bebas memanfaatkan pikiran kita.

Coba pikirkan…. apa yang akan kita lakukan hari ini/malam ini, supaya saat bangun pagi esok hari, kita akan merasa senang dan tetap bersemangat?... Dengan kebebasan dalam pikiran kita, kita akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut :)

Coba pikirkan satu lagi… di mana, dengan siapa, dan bagaimana kondisi kita nanti, setelah kehidupan saat ini berakhir (baca: setelah kita meninggalkan badan)…

Dengan harta kebebasan yang semakin bertambah/semakin terlatih, yang kita miliki atas pikiran kita, kita akan mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut secara akurat :)

Tuesday, October 12, 2010

12. dadahh... Langsung Pulang ya Nak... Jangan Mampir-mampir....

Konsenterasi terhadap tujuan adalah suatu bentuk energi. Energi tersebut membawa kita sampai kepada tujuan. Energi tersebut membebaskan kita dari hal-hal yang menghambat perjalanan.

Perjalanan di sini, dapat dianalogikan sebagai perjalanan pulang menuju ke rumah. Mengapa ke rumah… ? ya karena setiap orang, pada waktu tertentu pasti ingin pulang ke rumah… ya karena rumah adalah tempat di mana kita bisa bertemu dengan orang tua kita… ya karena rumah adalah tempat kita mengerjakan segala sesuatu dengan perasaan bahagia… ya karena rumah adalah tempat yang paling nyaman… ya…karena rumah tempat kita beristirahat.... ya...banyaklah pokoknya...

Mudah-mudahan, analogi perjalanan menuju pulang ke rumah… adalah hal yang dapat dibayangkan oleh kita semua… :)

Ketika kita dalam perjalanan pulang ke rumah, kita akan melihat berbagai peristiwa atau banyak pemandangan. Pemandangan pada hakikatnya adalah sesuatu yang menarik, baik yang bersifat positif maupun negatif. Namun demikian, seberapa menarik pemandangan tersebut, tergantung konsentrasi kita masing-masing.

Saat kita kurang berkonsentrasi, terkadang di tengah-tengah perjalanan, kita berhenti sejenak untuk melihat pemandangan, yang kita anggap menarik. Lebih lanjut, setelah kita berhenti, boleh jadi kita mengalihkan tujuan perjalanan kita, ke arah pemandangan yang menarik tersebut. Iya kalau sebentar… kalau kita berlama-lama di lokasi pemandangan tersebut… kapan sampai di rumah???

Hal ini beda lho ya… jika kita sudah merencanakan dahulu sebelumnya, untuk mampir sebentar ke suatu tempat, untuk membeli sesuatu yang memang dibutuhkan…. :)

Sebenarnya, tujuan awal kita untuk “pulang ke rumah”, tidak kalah menarik. Hanya, karena kita kurang berkonsentrasi dalam melihat tujuan yang sudah kita tentukan sejak awal, maka visi kita menjadi kurang jelas; daya tarik “pulang ke rumah” kadang menjadi memudar…. Hehehe… atau memang nggak betah di rumah…(waduh gawat neeh… :)

Untuk melihat kembali tujuan yang sudah kita tentukan di awal, yaitu “pulang ke rumah”, maka kita perlu mengkondisikan pikiran kita agar senantiasa tenang. Pikiran yang tenang membuat kita mampu berkonsentrasi melihat visi. Dalam hal ini, kita akan mampu melihat rumah sebagai lokasi yang sangat menarik, sebagai lokasi akhir yang memberikan perasaan aman/nyaman (setelah seharian beraktivitas)...

Dengan kondisi pikiran yang senantiasa tenang dan damai, visi/goal/tujuan (yang dianalogikan dengan rumah), akan dapat kita “lihat” dan kita “rasakan” dengan jelas.

Monday, October 11, 2010

11. Satu Poin: Prinsip Beres-beres Pikiran

Ruangan pribadi kita pasti terasa nyaman kalau ruang tersebut rapi. Ruangan tersebut akan dirasakan nyaman bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Ruangan yang nyaman tidak perlu mewah, tetapi rapi!

Apa hubungan ruangan yang rapi dengan kondisi pikiran?

Jawaban sementara yang kita ajukan adalah: "Ruangan yang rapi dimulai dari kegiatan pemeriksaan (kondisi pikiran)", "Semakin sering kita melakukan kegiatan pemeriksaan kondisi pikiran, semakin rapi ruangan kita..."

Kegiatan memeriksa adalah langkah awal untuk menyederhanakan berbagai hal; mulai dari pikiran, perasaan, tingkah laku, maupun penampilan. Tanpa pemeriksaan, kita akan sulit untuk menentukan mana yang menjadi prioritas, mana yang berjalan sesuai rencana, mana yang sudah benar, atau mana yang perlu dikoreksi.

Sehubungan dengan kondisi psikologis (khususnya keadaan emosional), pemeriksaan membuat kita mampu memonitor suasana hati; kita mampu melihat apakah suasana hati kita sedang positif atau sedang negatif. Saat suasana hati kita sedang negatif, pemeriksaan adalah langkah awal bagi kita untuk mengarahkan (menyetir) suasana hati negatif, ke arah suasana hati positif.

Cara melakukan pemeriksaan adalah dengan menentukan satu poin (positif) apa yang sudah kita lakukan, satu poin (positif) apa yang sedang kita lakukan, dan satu poin (positif) apa yang akan kita lakukan. Kunci dalam pemeriksaan, adalah melihat poin satu per satu. Prinsipnya, secara sederhana, ingat konsep satu poin.

Pemeriksaan terhadap satu poin adalah lebih berarti daripada tidak ada satu poin pun yang kita periksa. Penemuan satu poin dalam pemeriksaan, adalah awal bagi kita untuk mengatur pikiran menjadi lebih rapi. Penemuan satu poin (positif), adalah tanda bahwa pikiran menjadi lebih rapi….tanda bahwa pikiran menjadi lebih rapi, adalah perasaan nyaman…wahhh… nyaman… :) :)

Ada pendapat kuno yang mengatakan bahwa segala sesuatunya berasal dari pikiran. Dengan demikian, usaha untuk merapikan kondisi pikiran, sejalan dengan usaha untuk merapikan perasaan, usaha untuk merapikan rencana kerja, dan usaha untuk merapikan apapun, termasuk merapikan laci, lemari, ataupun ruangan kerja.

Tips:
Dalam teori classical conditioning di bidang psikologi, suatu perilaku akan menjadi kebiasaan, jika dipasangkan dengan unconditional stimulus (dalam hal ini, misalnya makanan)… Nah… jawaban pada alinea ke tiga, dapat semakin diwujudkan jika sebelum kita makan, kita merapikan pikiran, atau merapikan ruangan pribadi dahulu, baru kemudian kita makan...(makan-makan :)

Friday, October 8, 2010

03. Penemuan Jati Diri & Sikap Rendah Hati

Kita bisa melihat dengan jelas bentuk tangan “saya”, bentuk badan “saya”, bentuk kepala “saya”, bentuk kaki "saya"… nah...bentuk “saya” bagaimana? Apakah kita pernah melihatnya dengan jelas? :)

Ya, saat kita mampu melihat bentuk “saya”, maka kita akan mengatakan bahwa bentuknya sangat halus, halus..., tidak kasar…

Bentuk “saya” yang sangat halus tersebut adalah salah satu sifat asli diri kita. Sifat asli diri kita sebenarnya tidak kasar.

Di dalam pergaulan sehari-hari ada istilah “tidak tahu diri”…. Mungkin juga istilah tersebut benar… ya benar… pada saat kita “tahu diri” atau mengetahui siapa diri kita sebenarnya… tentu kita akan lebih halus, lebih humble, atau lebih rendah hati…

Saat kita mengetahui bentuk “kita” yang halus…
Kita menjadi mengetahui benar-benar jati diri kita,
Mengetahui jati diri adalah menjadi diri sendiri….
Menjadi diri sendiri adalah dasar kepercayaan diri… :)

Thursday, October 7, 2010

06. Ingat Minum, Ingat Kerjasama

Kita kadang mengharapkan orang lain untuk dapat bekerjsama dengan kita. Jika orang lain menunjukkan perilaku menghindar, menolak, kita menganggap bahwa orang lain sulit untuk diajak bekerjasama.

Semakin kita mengharapkan bantuan/kerjasama dari orang lain, maka kriteria bekerjasama menjadi semakin tinggi/besar/sulit. Pada akhirnya, kita berpikir bahwa sulit sekali untuk menerima kerjasama dari orang lain.  

Sebenarnya kerjasama/bantuan sering-kali/banyak-kali  datang tanpa kita menginginkan/mengharapkannya. Kerjasama selalu ada di setiap hal kecil yang kita lalui sehari-hari.  Kita sebenarnya telah mendapatkan banyak kerjasama, mulai dari kita bangun tidur, sampai kita akan tidur kembali.

Saat baru bangun tidur, kita biasanya meminum air putih. Dengan meminum air putih, pada saat baru bangun tidur, kita sudah menerima bentuk bantuan/kerjasama. Air putih tidak datang dengan sendirinya ke ruangan kita. Air putih membutuhkan perantara/tangan beberapa orang, mulai dari proses produksi, pengemasan, pengiriman, penjualan, s.d. berada di ruangan kita. Tanpa kerjasama dari banyak pihak, tidak mungkin ada air putih di ruangan kita.

Setelah meminum air putih, kita kemudian ke kamar mandi. Di kamar mandi, kita bisa merenungkan sejenak, seberapa banyak kerjasama/bantuan yang kita terima, hingga kamar mandi kita ada sedemikian rupa; mulai dari pembuatan kamar mandi, pemasangan listrik/lampu di kamar mandi, penyediaan air, ember, dan lain sebagainya. Tanpa kerjasama dari banyak pihak, sulit rasanya kita bisa menikmati kegiatan mandi.

Selanjutnya kegiatan sarapan/sahur. Seperti halnya refleksi di atas, kita dapat menikmati sarapan, karena ada kerjasama yang kita terima. Kita menerima berbagai bentuk kerjasama/bantuan dari banyak pihak, mulai dari yang menanam benih, yang merawat tanaman, yang memanen, yang mengemas, yang mengirim, yang menjual, sampai dengan yang memasak.

Demikian seterusnya… kita selalu menerima berbagai bentuk bantuan/kerjasama pada setiap aktivitas yang kita lakukan sepanjang hari (berangkat ke sekolah/tempat kerja, saat sudah sampai di sekolah/di tempat kerja, saat mau pulang sekolah/pulang kerja, hingga saat kita berangkat tidur). Demikian adanya… kita selalu menerima kerjasama/bantuan dari berbagai pihak.

Jadi, jika kita selalu menerima kerjasama/bantuan… hal yang perlu kita pikirkan sekarang bukan lagi mengharapkan kerjasama, tetapi berpikir bentuk bantuan/kerjasama apa yang bisa kita berikan kepada orang lain :)

Wednesday, October 6, 2010

02. Narcissism: Tidak untuk di-Sublimasi pada Orang Lain

Di dalam berbagai filosofi (Yunani Kuno, Buddhism, Christianity, Confucianism, Hinduism, Humanism, Islam, Taoism, dll.) dikenal istilah the golden rule (hukum kasih/hukum tingkat tinggi/hukum dewa-dewi) yang artinya hampir sama, yaitu: “Perlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan” atau secara lebih spesifik, “Cintai sesamamu manusia seperti engkau mencintai dirimu sendiri”. Ini artinya kita perlu mencintai diri sendiri.

Di dalam perkuliahan psikologi, ada istilah narcissism. Orang awam sering menyamakan istilah ini dengan “mencintai diri sendiri”.

Hal yang agak berbahaya, saat kita membuat program/syntax di dalam pikiran, kita menyamakan antara istilah “mencintai diri sendiri” dan “narcissism.  Di dalam pergaulan sebagai akademisi maupun praktisi psikologi, istilah “narcissism” cenderung dihindari. Paling umum digunakan untuk lelucon (meledek) teman yang hobi berfoto…. hehehe… “dasar narsis lo… :)” … terus temannya menjawab, “enak aja… :)”

Intinya, jarang ada rekan kita yang ingin disebut dirinya narcissist (someone in love with themselves).

Jika kejadiannya seperti ini, program di kepala kita bisa memunculkan pesan syntax error; di satu pihak kita diminta untuk mencintai diri sendiri (agar kita dapat menghayati atau mampu berempati bagaimana orang lain ingin diperlakukan), sedangkan di lain pihak, kita diminta untuk menghindari untuk mencintai diri sendiri…piye toh?!?

…yang mana yang benar dan dapat kita pilih??

Sebelum kita memilih, kita perlu memperjelas arti narcissism, yaitu dengan mencari persamaan/perbedaan antara istilah “mencintai diri sendiri” dan istilah narcissism. Istilah narcissism dan istilah “mencintai diri sendiri” memiliki persamaan, yaitu perasaan yang dialami. Dalam kedua konsep tersebut, perasaan yang dialami adalah perasaan sayang/kasih. Perasaan sayang/kasih adalah sesuatu yang baik.

Perbedaan yang mendasar, yaitu pada objek yang dicintai. Narcissism mencintai diri (self) secara fisik; sedangkan mencintai diri sendiri (dalam istilah golden rule), objek yang dicintai tampaknya lebih diarahkan kepada batin/personality/psikis (soul).

Dengan kata lain, kita boleh mencintai kepribadian/sifat-sifat kita (sifat-sifat yang baik lho ya…:), tetapi jangan mencintai “badan/fisik” kita, apalagi secara berlebihan. Kalau merawat “badan/fisik” gimana??? yah.. boleh-boleh sajalah…masak nggak boleh sih…. itukan masih batas wajar/perlu… (kata kuncinya butuh/perlu, bukan ingin)…

Dengan logika yang sama, sebetulnya secara implisit, tersirat bahwa dalam berhubungan dengan orang lain, yang boleh kita cintai adalah kepribadian/sifat-sifatnya, bukan badan/fisiknya. Dengan tidak mencintai badan/fisik orang lain (secara berlebihan)… mudah-mudahan kita dapat memberikan dan merasakan cinta yang tulus…:)

Tuesday, October 5, 2010

09. Demi Tuhan... Saya akan...

Mengapa Gajah Mada, yang dikenal dengan Sumpah Palapa, mampu mempersatukan Indonesia di bawah naungan Kerajaan Majapahit? Konon katanya, wilayah Majapahit lebih luas daripada wilayah Indonesia saat ini...

Kalau saja yang mengucapkan Sumpah Palapa adalah Hayam Wuruk, mungkin nama Gajah Mada tidak setenar saat ini... hehehe... 

Ada apa dengan Sumpah Palapa?
Sumpah Palapa yang membuat Gajah Mada menjadi penuh kekuatan,
atau kekuatan Gajah Mada yang membuat Sumpah Palapa terlaksana?

pertanyaan di atas, coba kita turunkan sedikit kadar kesulitannya menjadi....
Mengapa Gajah Mada begitu kuat memegang teguh sumpahnya, sementara kita sebagai orang awam, kadang sulit memegang sumpah yang kadar kesulitannya, sudah pasti tidak sesulit Sumpah Palapa?

Untuk menjawabnya, mari kita berteori untuk menganalisis satu per satu kemungkinan penyebabnya.

Pertama, mungkin karena Gajah Mada mengucapkan sumpahnya di hadapan banyak orang. Apa iya…? Kalau kita pikir-pikir, apakah ada fenomena yang pernah kita lihat, bahwa sumpah yang diucapkan di hadapan banyak orang, bahkan diliput oleh media massa, tetap saja dilanggar oleh yang mengucapkannya. Kalau ada, maka seseorang begitu kuat memegang teguh sumpahnya, bukan karena diucapkan di hadapan banyak orang.

Kedua, mungkin karena dalam pengucapan sumpahnya, Gajah Mada didampingi oleh pemuka agama, sehingga pengucapan sumpah tersebut menjadi teguh dan sakral. Kemungkinan kedua ini, boleh jadi benar. Tetapi, kasusnya sama dengan kemungkinan pertama. Kita boleh bertanya, bahwa apakah ada potensi/kemungkinan bahwa sumpah tersebut dilanggar; khususnya, jika pemuka agamanya sudah tidak lagi berada di sisi yang mengucapkan sumpah… hehehe…Kalau ada, maka seseorang begitu kuat memegang teguh sumpahnya, bukan karena didampingi oleh pemuka agama.

Lalu, kira-kira apa ya?

Kemungkinan ketiga adalah karena Gajah Mada menjalankan prinsip integrity. Dalam pengucapan  sumpah, besar kemungkinan Gajah Mada sangat memahami makna/arti dari setiap kata yang diucapkannya.

Dengan memahami makna/arti dari setiap kata, maka suatu kata menjadi agung atau penuh kekuatan. Kata-kata yang penuh kekuatan, adalah sumber energi bagi kita untuk melakukan sesuatu; atau dengan kata lain, pemahaman kita terhadap arti/makna kata, adalah dasar/syarat utama kita untuk merealisasikan suatu perilaku.

Besar kemungkinan, Gajah Mada begitu teguh memegang sumpahnya, karena kata-kata yang diucapkan olehnya, mengandung kekuatan yang mahadasyat. Kekuatan mahadasyat tersebut, boleh jadi hanya bisa dirasakan oleh Gajah Mada pribadi. Kita yang mendengar sumpah yang diucapkan oleh beliau, boleh jadi hanya menganggap sumpah tersebut hanya merupakan susunan kata-kata sederhana.

Mungkin…mungkin lho ya… sebelum mengucapkan sumpah, Gajah Mada meminta waktu dahulu kepada Raja Hayam Wuruk dan juga kepada Kepala Kantor Kerajaan, untuk hening… 3 menit, 3 hari, 3 minggu, 3 bulan, atau 3 tahun...untuk benar-benar merenungkan dan mendapatkan makna… dari kata-kata yang akan diucapkannya….

Dengan demikian, pelajaran yang dapat kita ambil dari Sumpah Palapa adalah….
daripada…
kita berhasil mengucapkan banyak kata…
tetapi kita tidak mampu menjalankan apa yang kita ucapkan…
lebih baik…
kita berhasil memahami bahkan menjiwai makna/arti dari satu kata
ya... satu kata....setidaknya untuk hari ini :)

Monday, October 4, 2010

08. Kita adalah Keluarga

Saat kita melakukan introspeksi diri, setelah kejadian buruk atau saat situasi yang kurang menguntungkan terjadi, kadang kita mengajukan pertanyaan, “apa yang salah dalam diri saya?”; dibandingkan dengan pertanyaan, “apa yang dapat saya lakukan untuk meningkatkan/menyempurnakan kondisi yang ada?”

Dua pertanyaan di atas, mengandung muatan yang hampir sama, namun sebenarnya berbeda. Persamaannya, niat/tujuan awal dari introspeksi pasti untuk  mencari solusi, agar keadaan menjadi lebih baik. Perbedaannya, terletak pada efek yang dihasilkan dari kedua jawaban dari pertanyaan di atas.

Efek jawaban dari pertanyaan pertama adalah sesuatu yang terkesan mencari kelemahan/kesalahan dan seringkali menimbulkan perasaan menyesal. Sedangkan efek jawaban dari pertanyaan kedua adalah sesuatu yang bersifat membangun dan menimbulkan perasaan antusias.

Cara introspeksi diri dengan pertanyaan pertama, tanpa kita sadari, kadang berkembang lebih lanjut, khususnya jika kita hidup bersama “saudara” kita. Saat terjadi situasi yang kurang menguntungkan bagi kita bersama, pertanyaan yang sering muncul adalah,  “siapa yang harus bertanggung jawab?”, atau secara implicit kita bertanya, “siapa yang harus dipersalahkan…?”

Seperti pada pola pikir di atas, niat/tujuan awal dari introspeksi pasti untuk  mencari solusi. Kita masih yakin bahwa semua dari kita,  tentu ingin mencari solusi yang terbaik, bagi diri sendiri, bagi “saudara” kita, dan bagi kita semua. Tetapi, kenyataan kadang berbeda dengan yang diniatkan.

Pada kenyataannya, kalaupun kita sudah menemukan jawaban dari pertanyaan pertama, yaitu: “siapa yang harus bertanggung jawab?”, terkadang kita masih terus saja mengkritisi kesalahan tersebut (yang belum tentu membantu situasi menjadi lebih baik). Saran/kritik yang hanya disampaikan melalui kata-kata, memang gampang untuk diucapkan.

Hal pertama yang perlu kita sempurnakan dalam pikiran kita, adalah kesadaran bahwa kita semua adalah “saudara”.  Hakikat dari “saudara” adalah saling bahu membahu mencari solusi. Sebagai “saudara”, daripada memberi berbagai macam saran/kritik, lebih baik kita memberi bantuan/aksi nyata. Bantuan/aksi nyata, adalah solusi utama saat kita memiliki kesadaran sebagai “saudara”.

Sunday, October 3, 2010

10. Efek (DV) Kekuatan Menerima


With the quality of acceptance, you are a messenger of peace, love, and happiness...


Melalui keheningan yang mendalam, kita menerima kekuatan menerima menjadi tanpa batas…wauw..

Kekuatan menerima adalah esensi kedamaian, cinta kasih, dan kebahagiaan…

Dengan kekuatan menerima, kemampuan berhitung kita akan bertambah berkali-kali lipat. Saat kita tidak memiliki kekuatan menerima, biasanya kita akam membuat "perhitungan" terhadap seseorang yang menyinggung perasaan/harga diri kita. Perhitungan tersebut terbatas, umumnya sampai dengan 2-3x. Ini artinya, range bilangan/angka yang kita kenal (1-9), menjadi lebih sedikit, yaitu hanya sampai dengan 3... hehehe.... orang menyebut dengan istilah "sabar ada batasnya..."

Bandingkan jika kekuatan menerima yang kita miliki tidak terbatas… kira-kira sampai hitungan berapa, batas kesabaran kita...Boleh jadi, jika kita membuat perhitungan terhadap seseorang, maka batas perhitungan tersebut akan menjadi lebih dari 3, lebih dari 9, lebih dari 12, atau bahkan menjadi tidak terhingga... hehehe :)

Kekuatan menerima yang tidak terbatas, sepertinya adalah suatu hal yang tidak umum (tidak popular), dan terkesan akan banyak merugikan jika dilakukan. Seberapa valid pernyataan ini? 

Bandingkan dengan tulisan/pesan yang ada di dalam bingkai di atas... 

Kira-kira, mana yang lebih valid, pernyataan bahwa  kekuatan menerima adalah suatu hal yang tidak popular dan banyak merugikan; atau pernyataan yang ada pada bingkai tersebut, bahwa “dengan kekuatan/kualitas menerima, kita berperan sebagai pembawa pesan perdamaian, cinta kasih, dan kebahagiaan :)"

Saturday, October 2, 2010

07. Kecerdasan Memilih Hiburan

Salah satu cara memperoleh kebahagiaan adalah dengan meningkatkan perasaan mampu atau perasaan kontrol/kendali diri. Semakin kita merasa mampu atau merasa bahwa segala sesuatunya dapat ditangani dengan baik, semakin bahagialah kita. Hal-hal yang berada di luar kontrol/kendali diri, yang tidak dapat tertangani, cenderung membawa perasaan tidak mampu, tidak berdaya, kecewa, frustrasi, atau perasaan tidak bahagia.

Saat kita menyebut-nyebut kata bahagia, seringkali konotasi yang muncul adalah hiburan. Jika ini adalah sebuah penelitian, maka pertanyaan penelitiannya adalah: (a) apakah jenis hiburan memengaruhi kebahagiaan? (b) jenis hiburan apa yang lebih membawa kebahagiaan?

Orang awam, tanpa perlu melakukan penelitian, akan langsung meyatakan “ya” untuk pertanyaan penelitian pertama. Di dalam benak orang awam, ada hiburan-hiburan tertentu yang membuatnya bahagia. Oleh sebab itu, sudah pastilah jenis hiburan memengaruhi kebahagiaan…hehehe…

Untuk pertanyaan penelitian kedua, yaitu jenis hiburan apa yang lebih membawa kebahagiaan, sesuai dengan landasan berpikir di atas, tesis yang diajukan adalah: jenis hiburan yang berada di dalam kontrol/kendali kita, akan membawa kebahagiaan; atau, semakin jenis hiburan bersifat ada dalam kendali/kontrol diri kita, maka semakin jenis hiburan tersebut membawa kebahagiaan bagi diri kita.

Pertanyaan selanjutnya sebagai operasionalisasi dari tesis yang kita ajukan adalah, jenis hiburan apa yang berada di dalam kontrol/kendali diri?

Saat kita mencoba membuat daftar jenis hiburan, maka boleh jadi muncul beberapa alternatif hiburan seperti: pergi ke suatu pesta/perayaan, berbelanja, berolahraga, menonton TV, dll.  

Semua jenis hiburan yang muncul dalam daftar, boleh-boleh saja dilakukan, asalkan lulus uji, bahwa hiburan tersebut benar-benar membawa kebahagiaan. Jika tidak lulus uji, maka jangan mengharapkan bahwa jenis-jenis hiburan tertentu membawa kebahagiaan yang permanen.

Contoh pertama, hiburan jenis pesta/perayaan. Seberapa besar kita mampu mengendalikan jalannya pesta/perayaan. Pada saat/setelah berlansungnya suatu pesta, apakah ada hal-hal yang berpotensi membuat kita merasa kecewa. Jika masih ada, itu adalah tanda bahwa pesta/perayaan adalah jenis hiburan yang membawa kebahagiaan yang kurang permanen.

Contoh kedua, menonton TV. Seberapa besar kita mampu mengendalikan acara TV. Paling top, kendali yang dapat kita lakukan pada acara TV adalah dengan mengganti channel, saat kita tidak menyukai suatu acara. Hal yang kadang terjadi, adalah pada saat kita menonton TV, kita terlena, merasa asyik, tidak mengganti channel. Tetapi entah mengapa, acara TV yang kita tonton, ironisnya membuat kita kecewa, jengkel, bahkan sampai kita berkomentar macam-macam (apalagi kalau menontonya rame-rame…hehe…). Jika situasinya seperti ini, apakah menonton TV adalah hiburan yang memberi kebahagiaan atau kekecewaan.  

Contoh ketiga dan seterus, dapat menggunakan prinsip yang sama. Lakukanlah evaluasi, apakah suatu jenis hiburan tertentu, membuat kita mengalami kebahagiaan permanen atau kadang justru membawa kita ke dalam kondisi kekecewaan.

Untuk sang jiwa, kebahagiaan sejati tidak dapat diharapkan dari sesuatu yang di luar kontrol/kendali diri (bersifat eksternal). Kebahagiaan sejati dapat ditemukan, dengan tidak menghindari diri sendiri atau mencari hal-hal yang bersifat eksternal (yang bersifat tidak permanen); tetapi, dengan mendekati sang jiwa, yang ada di dalam (yang bersifat permanen).

Kebahagiaan sejati terletak pada kemampuan kita memilih hiburan yang sepenuhnya berada di dalam kendali/kontrol kita :) 

Friday, October 1, 2010

03. Orang yang Ramah adalah Orang yang Cerdas

Pola pikir umum/awam menyatakan bahwa ramah dan bodoh bedanya tipis atau hampir sama. Dalam konsep statistik, jika dua variabel adalah sama, maka korelasi dari kedua variabel tersebut adalah satu (1.00). Dengan kata lain, jika ramah dan bodoh adalah dua hal yang hampir sama (bedanya tipis), maka korelasinya mendekati satu (0.60 – 0.90).

Dalam dunia akademik, pola pikir atau teori yang menyatakan ramah dan bodoh adalah dua hal yang hampir sama (bedanya tipis), perlu diuji kebenarannya. Jika teori tersebut terbukti, dapat diinterpretasikan, “semakin ramah individu, maka semakin bodoh lah individu yang bersangkutan.”

Hehehe… kok aneh ya???

Sebagai pelajar statistik dan pengukuran, kita merasa aneh jika hipotesis tersebut diyakini kebenarannya. Setidaknya, ada tiga keanehan yang perlu kita klarifikasi. Keanehan pertama, definisi bodoh/cerdas adalah hal yang sangat luas pengertiannya; jka kita mengatakan seseorang bodoh/cerdas, perlu definisi yang jelas, pada area apa seseorang tersebut bodoh/cerdas.

Keanehan kedua, instrumen apa yang digunakan untuk mengukur keramahan dan instrumen apa yang digunakan untuk mengukur kebodohan/kecerdasan; orang awam biasanya menanyakan seberapa valid dan reliable pengukuran dari kedua variabel tersebut.

Keanehan ketiga, penulis berpendapat bahwa ramah adalah ranah/aspek afektif, sedangkan bodoh/cerdas adalah ranah/aspek kognitif; boleh jadi, ranah afektif dan ranah kognitif adalah sesuatu yang bersifat orthogonal (korelasinya 0.00).

Untuk mengatasi keanehan yang ada, penulis mendukung pendapat tokoh-tokoh kecerdasan emosional (Emotion Quotient [EQ]). Seberapa setuju kita, dengan pendapat yang menyatakan bahwa keberhasilan di dunia pekerjaan/bisnis, bukan saja tergantung dari Intelligent Quotient (IQ/kecerdasan), tetapi juga EQ (salah satunya adalah sikap ramah). Saat kita menyetuji pendapat tersebut, berarti kita setuju bahwa ramah dan cerdas, adalah dua variabel yang berbeda dan saling melengkapi.  

Tidak semua orang cerdas ramah. Kondisi yang ideal adalah kita dapat menjadi sosok yang cerdas sekaligus ramah. Beranilah untuk menjadi orang yang ramah (rendah hati). Orang yang ramah adalah orang yang cerdas (emotionally).

Thursday, September 30, 2010

09. Reliabilitas Pengukuran Psikologis (bagi Diri Sendiri)

Kita perlu memastikan bahwa diri kita memiliki reliabilitas/konsistensi. Dalam dunia pengukuran psikologis, dikenal empat jenis reliabilitas: (a) reliabilitas antar waktu (test-retest reliability), (b) reliabilitas antar butir (internal consistency reliability), (c) reliabilitas antar penilai (inter-scorer reliability), dan (d) reliabilitas antar bentuk pengukuran  (alternate form reliability).

Berbagai jenis reliabilitas tersebut sebenarnya sangat penting bukan saja untuk diterapkan dalam bidang pengukuran psikologis (psikometri), tetapi juga untuk diterapkan dalam diri sendiri. 

Reliabilitas antar waktu (test-retest reliability), mengajarkan kepada kita, agar kita konsisten dari waktu ke waktu. Karakter kepribadian yang baik, yang muncul/ditampilkan hari ini, sebisa mungkin muncul/ditampilkan juga keesokan hari, minggu depan, bulan depan, hingga tahun depan. Pertanyaannya adalah, seberapa sering kita berpikir positif, hanya pada waktu/hari-hari tertentu saja, atau setiap saat (sepanjang hari).

Reliabilitas antar butir (internal consistency reliability) memberikan analogi kepada kita bahwa kita perlu konsisten dalam butir pikiran, butir tindakan, dan butir perkataan. Pikiran yang baik, sebisa mungkin secara konsisten ditunjukkan dengan tindakan/perbuatan yang baik, dan juga disampaikan dengan cara yang baik. Hehehe… kita bisa memeriksa hal ini dalam diri kita masing-masing…. Seberapa sering maksud baik yang kita nasihatkan kepada orang… disampaikan dengan kata-kata yang baik/santun… dan dicontohkan dengan perilaku yang benar…. :) hehehe… terkadang, setelah memberitahu orang lain dengan nada tinggi… kita mengatakan… “maksud/niat saya sebenarnya baik…:)”

Reliabilitas antar penilai (inter-scorer reliability) memberikan inspirasi kepada kita, bahwa kita perlu konsisten kepada siapa pun. Kita diharapkan bukan saja santun dan berprilaku baik kepada orang yang kita anggap punya kedudukan secara sosial, pendidikan, dan harta fisik; tetapi, kita diharapkan juga santun kepada orang-orang terdekat kita, dan kepada orang-orang yang kita anggap kurang beruntung secara sosial, pendidikan, dan harta fisik.

Reliabilitas antar bentuk pengukuran (alternate-form reliability) menunjukkan kepada kita untuk konsisten dalam menjalankan berbagai bentuk peran. Dengan senantiasa menunjukkan prilaku baik dalam berbagai bentuk peran, tidak ada lagi istilah “jaim”. Istilah “jaim” ada, pada saat kita berprilaku/berkata-kata yang baik, hanya di saat-saat menjalankan bentuk peran tertentu.  Sebisa mungkin, kita konsisten untuk berpikir positif, berkata yang baik/santun, dan berprilaku yang benar, saat kita sedang memainkan berbagai bentuk peran (sebagai anak, sebagai orang tua, sebagai mahasiswa, sebagai dosen, sebagai rakyat, sebagai pemimpin, sebagai pasangan, dll.); kecuali, pada saat kita diminta sebagai actor dalam film tertentu lho ya… :)

Wednesday, September 29, 2010

12. Beralih Profesi sebagai Produsen

Keheningan memberikan pengalaman batin kepada kita; pengalaman batin yang terkadang tidak bisa kita dapatkan pada umumnya. Tanda dari pengalaman batin tersebut adalah adanya perasaan damai, perasaan cinta, perasaan bahagia, serta perasaan mampu (berharga).

Perasaan-perasaan tersebut di atas seringkali menurun, saat kita berada dalam kesadaran badan, atau saat kesadaran kita berada pada gelombang beta (14-30 Hz). Saat kita berada dalam kesadaran badan, profesi/peran kita adalah sebagai konsumen. Perasaan-perasaan tersebut kita konsumsi sedikit demi sedikit, ibarat bahan bakar yang terkonsumsi dalam perjalanan.

Keheningan membuat kita mampu berpindah dari kesadaran badan ke dalam kesadaran jiwa (gelombang alpha [8-13 Hz], gelombang theta [4-7 Hz], atau bahkan gelombang delta [0.5-3 Hz]).  Dalam kesadaran jiwa, peran kita bukan lagi konsumen, tetapi berganti sebagai produsen.

Sebagai produsen, kita mengetahui supplier terbaik dari perasaan-perasaan tersebut. Untuk mengakses perasaan-perasaan tersebut, kita tidak lagi terlalu bergantung dari apresiasi, pujian, ataupun penghargaan orang lain. Kita dapat memaklumi bahwa stock perasaan-perasaan tersebut pada orang lain juga terbatas, selama orang lain yang bersangkutan juga pada posisi konsumen, bukan produsen.

Kesadaran sebagai produsen membuat kita merasa “kaya raya”. Kita tidak lagi sekedar mengkonsumsi perasaan-perasaan terebut, tetapi justru memberikan/membagikannya secara gratis kepada sesama :)

Tuesday, September 28, 2010

11. Kondisi Sakit adalah Takdir, jika...

Penyakit dalam tubuh, terkadang tidak langsung dirasakan. Tubuh memiliki daya toleransi yang sangat luar biasa. Katakanlah kita mengkonsumsi zat tertentu, yang agak membahayakan tubuh. Tubuh akan dengan cerdas mengakomodasi zat yang masuk tersebut; tubuh berusaha untuk menetralisir, misalnya melalui fungsi ginjal. Dengan mekanisme ini, kita tidak akan langsung divonis mengalami penyakit. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengidentifikasikan bahwa tubuh mengalami gagal ginjal.

Demikian pula penyakit jantung. Seorang perokok tidak langsung didiagnosis mengalami penyakit jantung, saat yang bersangkutan baru mengkonsumsi satu atau dua bungkus rokok. Dibutuhkan ratusan hingga ribuan batang rokok, serta dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyatakan bahwa kita didiagnosis mengalami penyakit jantung akibat merokok.

Di samping makanan dan rokok, sumber lain yang sering disebut-sebut sebagai sumber penyakit, adalah kondisi stres pikiran. Sebagian orang percaya, bahwa stres pikiran dapat menyebabkan efek negatif pada tubuh. Stres pikiran sebagai sumber penyakit fisik, tidak senyata konsumsi makanan dan konsumsi rokok. Efek stres yang kita alami setiap hari tidak akan langsung menyebabkan kita mengalami penyakit fisik. Dibutuhkan frekuensi dan intensi stressor yang berulang-ulang dan sangat besar untuk membuat kita menjadi sakit fisik.

Saat kita melihat banyaknya fenomena penyakit di lingkungan kita, kita tergoda untuk berpikir bahwa “semua orang pasti akan jatuh sakit”, “si Anu… sudah berusaha menjaga kesehatan… tidak merokok… menjaga makanan…toh masih sakit juga…”, “Si Anu sering merokok dan begadang… toh sehat-sehat saja…”; hingga pada akhirnya kita berpikir, “…kalau begitu hidup biasa-biasa sajalah… makanlah yang mau kita makan…lakukanlah yang kita suka….kalau sakit, ya sakit saja,.. itu toh sudah menjadi takdir… atau sudah ditakdirkan dalam drama…”

Hehehe… Pernyataan terakhir bahwa “kondisi sakit sudah ditakdirkan dalam drama”, boleh saja kita nyatakan benar, dengan catatan…

jika...kita sudah selalu berusaha untuk hidup teratur, membuat pola hidup yang rumit menjadi pola hidup yang sederhana. Pola hidup yang sederhana identik dengan menjaga kesehatan pola makan, menjaga pola berolah raga atau pola aktivitas fisik, dan menjaga pola pikir.

Pola makan dan pola olah raga yang menyehatkan tidak identik dengan makan dan olah raga yang “wahh…” tetapi cukup yang sederhana….Demikian pula, pola berpikir yang sehat, bukanlah berpikir mengenai angan-angan yang muluk, tetapi berpikir mengenai buah pikiran yang sederhana. Buah pikiran yang sederhana adalah buah pikiran yang senantiasa fokus terhadap satu point yang sudah/sedang/akan didapat.

Monday, September 27, 2010

06. Orang Lain vs. Diri Sendiri

Keseimbangan dalam memikirkan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain adalah sesuatu yang gampang-gampang sulit. Kita biasanya berpikir salah satu. Saat kita berpikir manfaat bagi diri sendiri, kita berhenti (untuk sementara) memikirkan manfaat bagi orang lain. Demikian pula sebaliknya, ketika kita berpikir apa manfaat kegiatan/tindakan kita bagi orang lain, kita melupakan (untuk sementara) apa manfaat suatu kegiatan bagi diri sendiri.

Dalam setiap kegiatan yang kita ikuti atau tindakan yang kita lakukan, kita perlu memeriksa dengan cermat apakah suatu kegiatan/tindakan akan bermanfaat bagi diri kita maupun bagi orang lain. Saat kita berkesimpulan bahwa suatu kegiatan/tindakan hanya akan bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain tidak bisa maju atau menjadi terhalang; tetapi saat kita berpikir  bahwa suatu kegiatan/tindakan hanya akan bermanfaat bagi orang lain saja, maka diri sendiri akan merasa tertekan.

Manfaat bagi diri sendiri atau orang lain, bukan terletak pada jenis kegiatannya. Semua kegiatan dapat bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain dapat dicapai dengan berkompromi; berkompromi diawali dalam pikiran, disampaikan dengan kata-kata kepada orang lain, dan ditunjukkan melalui perbuatan.

Niat berkompromi antara diri sendiri dan orang lain, membuat kita merasa damai dan kreatif dalam mencari solusi :)

Sunday, September 26, 2010

10. Cara Berpikir Petani yang Sabar

Buah akan matang pada waktunya. Tidak ada buah yang matang secara instan. Setiap buah selalu membutuhkan waktu untuk menjadi matang. Saat buah menjadi matang, maka tibalah saat panen.

Sebagai petani, umumnya kita menunggu saat panen. Namun demikian, ada dua tipe menunggu. Pertama, menunggu sambil memikirkan hasil yang akan didapat (result-oriented). Kedua, menunggu sambil menikmati proses merawat kebun/sawah (process-oriented).

Petani yang menunggu saat panen, sambil menikmati proses merawat kebun/sawahnya, akan memiliki harta kesabaran yang lebih banyak, jika dibandingkan dengan petani yang menunggu saat panen, sambil memikirkan hasil yang akan ia dapat.

Mengapa? atau bagaimana teori/penjelasannyanya?

Keheningan akan membantu kita menemukan jawaban/penjelasannya :)

Saat kita berhasil mendapatkan jawaban/penjelasannya, kita akan menjadi lebih sabar. Kesabaran tampak nyata dari wajah yang senantiasa ceria :)

Saturday, September 25, 2010

08. Perasaan "Terhubung" adalah Esensi Keberuntungan

Kita kadang mengaitkan kata “keberuntungan” dengan suatu peristiwa atau objek di luar diri kita, atau dengan kata lain, keberuntungan bersifat objektif. Tetapi, setelah direnungkan lebih lanjut, ternyata keberuntungan adalah sesuatu yang bersifat subjektif.

Keberuntungan adalah perasaan yang  dirasakan oleh individu. Kadar perasaan tersebut, dapat berbeda-beda dalam diri setiap orang. Seringkali, kadar perasaan tersebut menurun atau berkurang, khususnya pada saat kita mengalami peristiwa yang buruk. Kita sering mengungkapkannya dengan kata-kata, “…hari ini saya kurang beruntung…”

Ketika perasaan kurang beruntung hadir dalam diri kita, kita dapat merefleksikan bahwa kita cenderung merasa kurang atau bahkan kehilangan semangat. Kita menjadi tidak ingin melakukan apa-apa. Demikian sebaliknya, saat kita merasa beruntung hari ini, kita merasa lebih bersemangat.

Untuk membuat perasaan beruntung lebih stabil, bukan tergantung pada peritiwa di luar diri kita (yang seringkali kurang stabil), kita perlu mencari esensi dari perasaan beruntung. Esensi dari perasaan beruntung adalah “ingatan” bahwa kita selalu terhubung dengan “Orangtua” kita. Orangtua adalah sosok yang memberikan kita pengetahuan, kasih sayang, rasa aman/tentram, rasa damai, dan lain-lain. Ingatan terhadap berbagai kebaikan dari Orangtua kita,  membuat kita merasa sangat beruntungberuntung jutaan kali… :-) 

Perasaan "terhubung" dengan Orangtua, bersifat subjektif. Bagaimanapun peristiwa yang kita alami, jika perasaan "terhubung"  yang kita miliki bersifat akurat dan stabil, maka kita akan merasa beruntung dan didukung.

Perasaan beruntung dan didukung membuat kita senantiasa bersemangat :)

Friday, September 24, 2010

02. Sebab-Akibat Perilaku Menolong

Pertolongan yang kita berikan kepada orang lain, terbagi menjadi  empat jenis. Jenis pertama adalah pertolongan yang kita berikan, karena kita merasa takut terhadap sesuatu, dan pertolongan tersebut membuat orang lain menjadi tergantung/lemah.

Jenis kedua, adalah pertolongan yang kita berikan karena kita takut terhadap sesuatu, namun membuat orang yang kita tolong menjadi lebih mandiri.

Jenis ketiga, adalah pertolongan yang kita berikan karena kita ingin membagi rasa senang yang kita miliki, atau kita senang dengan kegiatan terkait, namun akibat dari pertolongan kita membuat orang lain menjadi tergantung.

Jenis keempat adalah pertolongan yang kita berikan karena kita ingin membagi rasa senang yang kita miliki, atau kita senang dengan kegiatan terkait, dan membuat orang lain yang kita tolong menjadi mandiri.

Jenis pertolongan yang ideal adalah pertolongan jenis keempat. Mereka yang kita tolong tetap merasa bahagia dan setara, atau tidak merasa direndahkan. Di samping itu, mereka juga akan menjadi mandiri, bukan menjadi tergantung.

Orang yang mandiri dan senantiasa merasa bahagia, akan mampu menolong sesama secara tulus/iklas :)

Thursday, September 23, 2010

06. Kerjasama Tidak Harus Konflik

Dalam mengerjakan suatu tugas besar, kita pasti berhubungan/bekerjasama dengan orang lain. Nah… seringkali kita berpikir bahwa konflik terjadi pada saat kita berhubungan/bekerjasama dengan orang lain. Bahkan kita menganggap bahwa konflik adalah suatu hal yang wajar

Adalah suatu keganjilan dalam berpikir, bahwa “konflik adalah suatu yang wajar pada saat kita bekerja sama dengan orang lain”. Keganjilan tersebut dapat kita validasi dengan perasaan kita. Dalam hati kecil, saat terjadi konflik dengan orang lain, pasti kita akan merasakan hal yang tidak enak. Jika kita diminta memilih, tentu kita memilih untuk tidak ada konflik. Saat terjadi konflik, kita menjadi lebih sulit untuk berhubungan/bekerjasama dengan orang lain; dan jika konflik menjadi lebih parah, apakah tugas besar bisa terselesaikan?; dan apakah kita masih berpikir bahwa konflik adalah suatu yang wajar?

Umumnya, konflik terjadi karena kita berpikir bahwa tingkah laku atau jalan pikiran orang lain tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita menganggap orang lain berpikir atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai (dengan yang kita pikirkan/inginkan).

Hal pertama yang perlu dilakukan untuk menghindari/mengatasi konflik adalah berpikir bahwa kita tidak dapat mengubah kepribadian orang lain. Jangan sampai kita berpikir bahwa kita tidak mau bekerjasama dengan orang lain, karena alasan kepribadiannya.

Dengan memiliki buah pikiran bahwa kita tidak cocok dengan kepribadian orang lain, kita sudah mengizinkan sosok/bibit konflik, hadir di antara diri kita dan orang lain. Buah pikiran yang perlu kita miliki adalah: “Dengan sikap rendah hati, di dalam setiap kesempatan berhubungan dengan (kepribadian) orang lain, kita selalu akan mendapatkan satu hal/informasi/pengalaman/pelajaran berharga.”  

Singkat kata, kerjasama yang baik dapat dilakukan, jika kita senantiasa memiliki buah pikiran “kita belajar dari orang lain” daripada memiliki buah pikiran “kita ingin mengajar/berusaha mengubah orang lain”.

Wednesday, September 22, 2010

08. Garis Keturunan "saya"

Kesadaran mengenai siapa saya adalah hal yang penting. 

Kesadaran mengenai siapa saya memengaruhi kemampuan dan kemauan kita dalam bertingkah laku. Misalnya, kesadaran bahwa saya adalah seorang Ketua RT, membuat kita mau dan mampu menjaga tingkah laku kita. Jika kita benar-benar berada dalam kesadaran tersebut, kita tentunya akan menjaga nama baik kita sebagai Ketua RT.

Kesadaran bahwa saya adalah seorang Ketua RT, membuat kita merasa bertanggungjawab atas keamanan dan kesejahteraan warga di lingkungan kita. Kita menjadi mau dan merasa mampu untuk mencari solusi untuk berbagai permasalahan yang berkenaan dengan warga lingkungan kita. Kesadaran sebagai Ketua RT membuat kita mau/mampu, membuka dan memanfaatkan berbagai akses yang kita miliki.

Permasalahannya, seberapa akurat kesadaran kita mengenai siapa saya

Renungkanlah bahwa saya adalah jiwa...

Dengan logika yang sama, kesadaran bahwa saya adalah jiwa membuat kita mau/mampu, membuka dan memanfaatkan setiap akses dari kualitas jiwa. Jiwa, apalagi Jiwa Utama (Sang Sumber), memiliki kualitas dan sumber daya yang melampaui apapun. Kesadaran bahwa saya adalah jiwa, membuat kita mampu mengakses sumber energi yang sesungguhnya, dibandingkan dengan kesadaran bahwa saya adalah badan.

Perluasan dari kesadaran bahwa saya adalah badan/tubuh ini, adalah kesadaran yang berhubungan dengan identifikasi:  (a) jenis kelamin, (b) jabatan dalam pekerjaan, (c) status sosial, (d) level pendidikan, (e) jumlah harta kekayaan, (f) status pernikahan, dan lain-lain; yang pada intinya, dapat membatasi kemauan dan kemampuan kita.   

Cobalah... rasakan perbedaan kenikmatan hidup ini, dengan kesadaran "saya adalah jiwa...."

Tuesday, September 21, 2010

03. Pengaruh Rasa Senang terhadap Kerendahan Hati atau Pengaruh Kerendahan Hati terhadap Rasa Senang?

Kita perlu menyenangi dan menikmati aktivitas yang kita lakukan. Saat kita menikmati aktivitas yang kita lakukan, kita tidak lagi mengharapkan pengakuan dari orang lain. Bagaimana logikanya?

Adakalanya kita ingin mengatakan atau setidaknya kita mengharapkan bahwa kontribusi positif yang ada di lingkungan, adalah karena “saya”. Kita ingin sekali mendapat pengakuan dari orang lain. Almarhum Asmuni (pelawak Srimulat), sering menyindir hal ini dengan lelucon “…untung ada saya... :) :) :) “

Hal yang perlu diketahui adalah, semakin kita ingin mendapatkan pengakuan, semakin (pikiran) kita terikat. Terikat dengan harapan yang kadang tidak terwujud.

Sumber cinta dan perhatian yang sesungguhnya, bukan dari orang lain, tetapi dari Sang Sumber (Tuhan YME, Allah, Bapa di Surga, Ida Sang Hyang Widi, atau apapun sebutan-Nya…) dan jangan lupa… dari Diri Sendiri :)

Tanpa perlu diharap-harap, Sang Sumber sebenarnya sudah memberikan pengakuan dan cinta kasih. Begitu pula pengakuan dan cinta kasih dari Diri Sendiri. Rasa senang terhadap aktivitas yang kita lakukan, adalah bentuk perhatian dan cinta kasih dari Sang Sumber dan dari Diri Sendiri.

Saat kita menyenangi dan menikmati aktivitas dalam mengerjakan tugas, kita sudah mendapatkan perhatian dan cinta yang penuh dari Sang Sumber dan Diri Sendiri. Dengan dua sumber itu, wadah kepuasan/kebahagiaan kita, seharusnya sudah penuh, bahkan luber.

Apakah kita masih menginginkan pengakuan (perhatian dan cinta) dari orang lain?

Kalau jawabannya “iya”, kita perlu sedikit merendahkan-hati, agar perhatian/cinta kasih dari Sang Sumber dan Diri Sendiri dapat lebih mengalir. Seperti halnya air; secara alami, air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah :)

Monday, September 20, 2010

09. Berani Menghargai Waktu

Kita merasa tidak puas dengan pemanfaatan waktu (kemarin maupun hari ini); namun, saat kita menjalani waktu (kemarin maupun hari ini), kita berpikir bahwa nanti/besok, masih ada waktu. Kita merasa selalu kekurangan waktu; namun di lain pihak, kita senantiasa menyempatkan waktu untuk melihat/mendengarkan/mendiskusikan perkembangan gosip terbaru.

Saat kita tersadar bahwa kita sedang mendengarkan/mendiskusikan perkembangan gosip terbaru bersama rekan, dengan penuh kerendah-hatian, kita perlu mengajukan permisi. Kita dapat mengatakan kepada rekan, misalnya dengan ucapan, "...saat ini saya sedang mengerjakan tugas, yang deadline-nya adalah hari ini....apakah rekan berkenan bertemu lagi, setelah saya menyelesaikan tugas (atau setelah bertemu dengan atasan/klien)…"

...atau jika kita berhasil, kita mencoba mengarahkan topik yang sedang didiskusikan dengan rekan kita, menjadi topik yang lebih konstruktif (sehubungan dengan tugas yang akan/sedang diselesaikan). Tawarkan kepada rekan, apakah ia berkenan bergabung (mau membantu) dalam tugas yang akan/sedang diselesaikan :)