Saturday, December 8, 2012

04. Terima Kasih... Anda sudah Membuat Dunia Menjadi (Harus) Sempurna



Kalau saudara/rekan kita sering komplain, kok kesannya komplain itu adalah sesuatu yang nikmat ya... Ciyus.... Sehari tidak komplain, rasanya gimanaaa gicu...

Tapi nanti dulu... nikmat bagi siapa... atau nikmat, mi apa?

Coba kita tanya orang yang sering kena komplain... apakah bagi mereka, komplain adalah sesuatu yang nikmat juga... hehehe... coba saja sendiri... emang enak di-komplain orang... :-)

Dalam memberikan komplain, kita umumnya menggunakan kriteria yang ideal. Kriteria yang ideal tersebut, biasanya kita dapatkan dari berbagai sumber, yaitu:

(a) dari pengalaman sebelumnya (dulu ya... zamannya.... kaya’ gini.. gini.. gini...; coba lihat zaman sekarang...; beda jauh kan....; hehehe... emang beda jauh...);

(b) dari pengalaman negeri tetangga (coba kita lihat kalau di negeri ...., tidak ada tuh yang ....; beda sekali dengan negeri kita yang ....; hehehe... emang beda...);

(c) dari wangsit (seharusnya, manusia itu gini... gini... gini...; tetapi mengapa manusia itu gini... gini... gini...; hehehe... emang kita yang komplain bukan manusia);

Sudahlah bro... komplain itu pilihan... semakin banyak kita komplain... belum tentu semakin banyak kebaikan/kebahagiaan yang kita rasakan...

Kebaikan/kebahagiaan bukan berasal dari banyaknya hal yang kita komplain... kebaikan/kebahagiaan berasal dari seberapa banyak usaha (action) yang kita lakukan, agar kita tidak di-komplain orang lain, atau khususnya oleh orang-orang terdekat kita...

Jadi kalau mau dirumuskan dengan suatu hipotesis, maka rumusannya adalah sebagai berikut: Semakin banyak komplain yang kita ajukan (termasuk komplain di dalam hati lho ya...), semakin banyak ketidak-bahagiaan yang kita dapatkan.

Lalu kalau terpaksa harus komplain, bagaimana caranya agar waktu dan energi tidak berpotensi hilang?

Hehehe... caranya sangat sulit... hehe... maksudnya sangaaat mudah... saat kita mengajukan komplain, jangan lupa.... kalimat pertama yang harus diucapkan adalah “terima kasih...”; kemudian sebelum mengajukan komplain berikutnya, kalimat kedua harus didahului dengan kata-kata “terima kasih...”; demikian juga kalimat ketiga, harus didahului dengan kata-kata “terima kasih...”, dst. Prinsipnya, selalu didahuli kata-kata “terima kasih...”

Hehehe... syukur-syukur... setelah mengucapkan “terima kasih...” sebelum kalimat komplain pertama keluar, kita malahan tidak jadi komplain... hehehe...

Kekuatan kata-kata “terima kasih”, boleh dicoba...

Kata-kata “terima kasih” adalah rem yang membuat kita hemat energi...

Kata-kata “terima kasih” membuat kita menyadari bahwa kita telah me-nerima kasih-Nya...
 
:-)

Friday, October 12, 2012

05. Pemeriksaan Psikologis pada Klien dari Keluarga Malaikat

Di kebanyakan gambar malaikat, tampak bahwa malaikat umumnya sedang terbang, dan tampak bahwa kaki mereka tidak menyentuh bumi.

Wauw... Kalau saja manusia bisa seperti malaikat, tentu bisa menghemat ongkos ke sekolah, ke kantor, atau ke mana pun... :)

Sebagian dari kita mungkin ada yang percaya bahwa malaikat memang benar-benar ada; sebagian lagi menganggap bahwa malaikat tersebut adalah simbol dari sesuatu "kebaikan". Mengapa "kebaikan"? Yah... Intinya "kebaikan".... walaupun ada malaikat yang ditugaskan untuk menggoda kita, setidaknya malaikat tersebut punya satu sifat baik tohh, yaitu berusaha menjalankan tugasnya dengan "baik"... Hehehe... Iya kan?

Apakah benar-benar ada, atau sekadar simbol dari suatu kebaikan, ada suatu pesan yang dapat kita tangkap setiap kali melihat gambar malaikat. Gambar malaikat selalu tampak ringan (sedang terbang) dan tidak menyentuh bumi... Berbeda sekali dengan kondisi kita yang selalu menyentuh bumi. Boleh kita refleksikan, dalam 24 jam, berapa jam kita tidak bersentuhan dengan bumi? Lebih dalam lagi maknanya, berapa jam kita tidak bersentuhan dengan unsur alam?

Kalau manusia tidak bersentuhan dengan bumi, boleh jadi, 1 jam, 2 jam, 24 jam, atau 6 bulan; misalnya sedang terbang dari Jakarta ke salah satu kota di Indonesia atau ke salah satu stasiun ruang angkasa; tapi toh akhirnya kembali mendarat di bumi kan... Nah kalau malaikat... Mau berapa jam, berapa hari, atau berapa tahun, juga tidak masalah baginya...

Ayah saya pernah mengungkapkan bahwa gambar (kaki) malaikat yang sedang terbang, tidak pernah menyentuh bumi, adalah simbol bahwa alangkah ringannya pikiran kita, jika pikiran kita tidak pernah "attach" / bersentuhan dengan suatu objek yang ada di bumi ini.

Malaikat boleh saja melanglang buana di muka bumi ini, tetapi mereka tidak pernah menyentuhkan kakinya di bumi. Sekalipun berhenti untuk ngobrol dengan manusia (seperti yang mungkin pernah kita lihat pada suatu gambar), tetap saja posisinya sedang melayang-layang... (ringan banget ya bro...)

Implikasinya, sekalipun pikiran kita sedang fokus pada suatu objek, ada baiknya pikiran kita tetap "detach" / memiliki jarak dari objek tersebut. Pikiran yang tetap "detach" adalah kondisi pada saat pikiran tidak menilai (+/-, penting/tidak penting, enak/tidak enak, cantik/tidak cantik, suka/tidak suka, mahal/tidak mahal, perlu/tidak perlu, dst.) tentang objek yang sedang kita hadapi. Seberapa ringan pikiran kita, kalau kita tidak melakukan penilaian pada suatu objek? (jangan-jangan ilmu meringankan tubuh, diawali dari ilmu meringankan beban pikiran ya... hehehe)

Wauw...
Keren juga ya kalau kita memiliki disiplin seperti malaikat, yang tidak "menyentuh bumi" :)
Kalau ada teman atau saudara kita yang memiliki disiplin seperti itu, tidak "menyentuh bumi", mungkin malaikat itu memang benar-benar ada atau bukan sekadar simbol :)

Dan... jika ada kesempatan benar-benar bertemu dengan sosok malaikat, saya berencana melakukan wawancara dengan beliau (malaikat); setidaknya ada tiga pertanyaan yang akan saya ajukan, yaitu:
  1. Apakah Anda pernah merasakan emosi negatif (tertekan, marah, takut/cemas, malu, dsb.) ketika menghadapi kondisi/situasi tertentu?
  2. Jika iya, kondisi/situasi apa yang dimaksud oleh Anda? Apa boleh dijelaskan/diberikan contoh?
  3. Bagaimana Anda mengatasi kondisi/situasi yang berpotensi menimbulkan emosi negatif tersebut? 
  4. dst.
:-)

Sunday, September 2, 2012

11. Alon-alon Asal Kelakon... Tukang Balon jangan di-Klakson :)



Prinsip melakukan sesuatu secara berhati-hati atau tidak terburu-buru (lambat), adalah prinsip yang mungkin saat ini tidak populer. Mungkin lho ya...

Saat ini, orang pada umumnya meminta untuk cepat.... restoran cepat saji.... kiriman cepat sampai... e-mail cepat direspons... utang cepat dibayar... hehehe...

Hati-hati dan tidak terburu-buru... saya  duga adalah dua konstruk yang saling berhubungan... bahkan bersaudara... hehehe... Namun, kadang-kadang, bisa juga ada kondisi kita berusaha berhati-hati, namun dalam kecepatan tinggi (terburu-buru). (wahh... butuh keterampilan tingkat tinggi itu...; dalam bahasa penelitian, tingkat keterampilan/keahlian bisa menjadi variabel moderator kedua hubungan tersebut)

Kembali ke pernyataan awal, timbul pertanyaan...
Apakah masih valid ya, hari gini kita menggunakan prinsip melakukan sesuatu secara berhati-hati atau tidak terburu-buru?

Menurut saya, ya; saat ini sebagian besar kegiatan justru harus dan bahkan terpaksa dilakukan secara berhati-hati atau tidak terburu-buru

Hati-hati atau tidak terburu-buru, biasanya diterapkan pada saat kita bergerak dari titik yang satu ke titik yang lain. Yang dimaksud titik bisa dalam konteks lokasi, situasi/kondisi, atau bisa juga dalam tahapan persepsi.

Mari kita analisis satu persatu ketiga konteks tersebut. (lokasi, situasi/kondisi, & persepsi)

Lokasi. Saat kita dari lokasi rumah menuju ke lokasi kerja, atau sebaliknya, kita melakukan perjalanan bisa secara cepat/terburu-buru, namun bisa juga secara tidak terburu-buru/lambat. Orang rumah sering kali berpesan untuk hati-hati. Secara tersirat, saya yakin sebenarnya orang rumah berpesan untuk tidak terburu-buru di jalan.  Apa yang terjadi? Kalau jalanan sepi, seberapa banyak dari kita yang bawa motor/mobil menancap gas? Nah... untunglah, kondisi di jalanan sering kali macet (gara-gara si Komo lewat), membuat kita tidak bisa memilih untuk cepat; mau tidak mau seringkali kita memilih untuk tidak terburu-buru atau berhati-hati. Orang rumah pasti senang mendengarnya... kita tidak ngebut di jalan; dengan kata lain, kita jadi memenuhi harapan orang rumah loh :)

Situasi/Kondisi. Situasi/kondisi tidak terlepas dari suatu kegiatan, misalnya bangun tidur, sarapan, mandi, berangkat ke sekolah, berangkat ke tempat kerja, membaca, dan seterusnya, sampai kita tertidur kembali. Situasi/kondisi tersebut cenderung berulang (selama kita masih diberi waktu/umur).  Dari titik/situasi bangun tidur ke titik/situasi mandi, sebenarnya kita bisa memilih untuk cepat atau bisa memilih untuk lambat (tidak terburu-buru). Seberapa sering di antara dua situasi/kondisi tersebut, kita bisa memilih untuk lambat (tidak terburu-buru atau berhati-hati).   Kalau saja kita bangunnya lebih pagi, mungkin kita bisa memilih untuk masak dan sarapan dengan tidak terburu-buru... (memilih untuk berhati-hati, sambil memeriksa kembali hal penting yang harus dibawa) hehehe... yang sering terjadi, kadang kita memilih tidak terburu-buru juga, namunnn bukan dalam posisi bangun, tetapi dalam posisi tidur lagi... hayoo siapa yang sebenarnya sudah bangun lebih pagi, tapi tidur lagi? :) Kalau bagunnya sudah pagi, tapi tidur lagi.... wadooh....jadi buru-buru deh sarapannya :)

Persepsi. Dalam mempersepsi sesuatu, sering kali kita langsung loncat kepada tahap reaksi (titik ke dua). Padahal proses persepsi, dari stimulus (sebagai titik pertama) ke reaksi (sebagai titik ke dua) sebenarnya ada beberapa tahap... (contoh proses persepsi: ada suara musik, gelombang suara musik masuk ke telinga, gendang telinga bergetar, dilanjutkan proses coding ke pusat syaraf, dan seterusnya, dan seterusnya.... hingga kita menginterpretasi dan kita berreaksi dengan menggoyang-goyangkan kepala/kaki :) Pertanyaannya..., bisa ndak ya, dari melihat/mendengar stimulus, kita berhati-hati atau tidak terburu-buru, sampai kepada tahap reaksi? Kalau bisa, mungkin stimulus yang sama, bisa memiliki banyak alternatif/pilihan reaksi. Bisa jadi stimulus yang berpotensi menimbulkan reaksi/emosi negatif, karena kita berhati-hati atau tidak terburu-buru, bisa diubah menjadi reaksi/emosi positif. 

Test Case: Coba deh besok kita amati perilaku kita/teman kita ya... saat menyetir mobil/mengendari motor, seberapa mungkin kita/teman kita berhati-hati atau tidak terburu-buru? Bagaimana REAKSI kita/teman kita setelah melihat STIMULUS (orang lain nyelonong atau bermaksud memotong/merintangi jalan kita)?
  • Memencet bel/klakson (secara lembut-lembut)
  • Mengumpat (dengan kata-kata manis/mesra)
  • Kesal/Menyesal (mengapa ya saya lahir di planet bumi ini)
  • Aktifkan bel/sirene Polisi Bermotor / BM (tot-tot.... tot-tot...)
atau
  • Mendahulukan/memberi jalan kepadanya
  • Tersenyum kepadanya
  • Mempersilakannya dengan tulus/iklas


Test case di atas, jangan lupa untuk coba diamati lho ya...

Di akhir tulisan ini... tolong ingat... hati-hati atau tidak terburu-buru mengambil kesimpulan... !!!

Tulisan ini sama sekali bukan bermaksud,
  • mendukung slogan “kalau bisa diperlambat, mengapa mesti dipercepat” 
  • atau menyarankan “kalau begitu..., kita lambat-lambat saja ya dalam mengerjakan/mengumpulkan tugas” 
  • atau membiarkan pandangan bahwa “budaya berlalu-lintas kita memang parah... tidak seperti di luar negeri / di luar angkasa” ?@#!wk?$


sama-sekali, bukan.. :)


Sunday, August 12, 2012

01. MENINGKATKAN HARKAT HIDUP melalui PENGENALAN DIRI SENDIRI


Tanggal
:
Sabtu - Jumat, 18 - 24 Agustus 2012
Tempat
:
BRAHMA KUMARIS CENTER, SUNTER
Sunter Karya Selatan VI, Blok B / 8, No. 5 
Kompleks DKI. 
(Belakang Pasar Sunter Mal)
Waktu
:
16:30 - 18.00 Wib (tepat waktu)
Pendaftaran
:
021 - 645 8054  
0813 - 1817 3807
(Sister Helen)


***Sebagai swadaya masyarakat, kursus ini tidak dikenakan biaya apapun***


Wednesday, August 8, 2012

04 & 07. Jangan cepat Merasa Puas! (kalau mau puas, besok-besok saja...hehehe... nyindiiir nih... :)


Pernyataan 1: Menganggap hidup ini sulit/mudah adalah suatu hal...
Pernyataan 2: Terus berusaha dan pantang menyerah adalah hal lain...

Pernyataan 1: Cepat puas dan menganggap hidup ini patut disyukuri adalah suatu hal...
Pernyataan 2: Orang yang rajin dan terus berusaha adalah hal lain...

Saking senangnya berpikir heuristic, ada kalanya kita senang menggabung-gabungkan Pernyataan 1 dan Pernyataan 2 tanpa melalui proses keheningan...

Lalu apa yang terjadi?
Keluarlah pemikiran singkat yang sepertinya benar, padahal belum tentu... (bisa iya bisa tidak)

Dengan larut dalam keheningan alam semesta, coba kita tanyakan beberapa pertanyaan ini kepada diri sendiri. Menurut saya pribadi...
  1. Apakah orang  yang berpandangan bahwa hidup ini merupakan drama yang mudah untuk dijalani, akan membuat dirinya menjadi malas dan mudah menyerah?
  2. Apakah orang yang berpandangan bahwa hidup ini sulit, membuat dirinya terus berusaha dan pantang menyerah?
  3. Apakah ada orang yang menyerah, gara-gara menganggap bahwa hidup ini sulit atau sangat sulit untuk dijalani?
  4. Apakah orang yang cepat puas dengan kondisi saat ini, membuatnya cenderung malas berusaha?
  5. Apakah orang yang tidak cepat puas dengan kondisi saat ini, adalah orang yang sangat rajin bekerja dan gigih dalam berusaha?
  6. Apakah orang yang rajin bekerja dan gigih dalam berusaha, tidak puas dengan kondisi saat ini?
  7. Apakah kita hanya puas, pada suatu saat nanti, jika kita tidak punya lagi rencana untuk berusaha?
  8. Apakah orang yang cepat puas (mudah mensyukuri kondisi saat ini), pada saat yang bersamaan tergolong orang yang rajin bekerja?


Kunci jawaban:
  1. Bisa iya bisa tidak
  2. Bisa iya bisa tidak
  3. Bisa iya bisa tidak
  4. Bisa iya bisa tidak
  5. Bisa iya bisa tidak
  6. Bisa iya bisa tidak
  7. Bisa iya bisa tidak
  8. Bisa iya bisa tidak


Kalau semua jawabannya adalah bisa iya bisa tidak, maka kita perlu lebih hati-hati dalam meresapi syntax error, seperti yang beredar selama ini, misalnya:
  1. Jangan cepat puas dengan kondisi yang ada...
  2. Jangan menganggap bahwa hidup ini mudah... (DKL, anggaplah bahwa hidup ini berat)
  3. Jangan membuat nyaman/mudah anakmu...
  4. Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah... (huss... nyindiir ya...)
  5. dll. (yang pada prinsipnya, belum tentu benar... bisa iya bisa tidak)


Dalam keheningan... ambillah posisi..., bahwa:
  1. Yakini bahwa hidup ini bisa sulit, bisa tidak sulit....  tidak sulit... jika kita bersama-Nya...
  2. Teruslah berusaha... Usaha adalah tanda bahwa kita menghargai pemberian-Nya...
  3. Jangan ragu-ragu untuk merasa puas dan bersyukur... Puas dan mensyukuri kondisi yang ada, adalah tanda bahwa kita jiwa yang santun...
  4. Orang yang rajin berusaha, dan mampu mensyukuri (merasa puas) dengan kondisi yang ada, adalah sosok yang memahami arti kebahagiaan :) 


Dengan demikian, jika ada lima pilihan, pilihan mana yang kira-kira paling benar?
  1. Jangan keluar dari zona nyaman;
  2. Siapa suruh keluar dari zona nyaman;
  3. Jangan takut jika terpaksa keluar dari zona nyaman;
  4. Perluaslah zona nyaman yang kita miliki;
  5. Ciptakan zona nyaman di mana-mana.

Kunci jawabannya adalah: Di Sini Senang... Di Sana Senang... :)

Sunday, July 22, 2012

01. Darimana Datangnya Cinta Sejati? Dari .... turun ke ....


Apa yang membuat kita mampu melihat keindahan yang ada di lingkungan kita?
  • Mata yang bersih? atau
  • Pikiran/hati yang bersih? atau
  • Keduanya?
Idealnya, kita akan memilih keduanya (mata yang bersih dan pikiran/hati yang bersih). Dengan mata dan pikiran/hati bersih, dunia ini benar-benar indah... kalau saja kita ada waktu sejenak, kita boleh merefleksikan beberapa pertanyaan di bawah ini:
  • seberapa indah bunga di pinggir jalan atau taman yang kita lewati? 
  • seberapa indah senyuman orang-orang di sekitar kita saat saling bertegur sapa?
  • seberapa indah tata letak kamar tidur kita (atau kamar mandi kita :-)? 
  • seberapa indah kenangan yang ada dalam album foto kita? atau 
  • seberapa indah catatan/diary yang kita tulis?
Namun sayang, mata yang bersih kadang tidak selalu terjaga saat usia badan semakin tua. Ada kalanya, saat usia menua, mata kita mengalami gangguan seperti katarak (lensa mata menjadi keruh/kabur), atau bahkan menjadi buta. (mudah-mudahan, mata kita selalu sehat...) 

Kalau kita berandai-andai... jika mata kita mengalami gangguan.... apakah kita masih mampu melihat keindahan dunia?  Dengan penuh kerendahan hati, dan mengigat hakikat kita sebagai jiwa, kita harus optimis bahwa kita tetap bisa melihat keindahan dunia... ya... melalui "mata batin"

Seberapa yakin, bahwa jiwa dilengkapi dengan mata batin?

Orang awam menyebut mata batin sebagai mata ke tiga; Jung menyebutnya sebagai intuition. Kalau berusaha didefisinisikan secara konseptual, sepertinya agak sulit; mungkin karena sifat mata batin yang memang tidak bersifat rasional (tidak bersifat thinking). 
   
Tapi, kalau memang diminta untuk mendefinisikan, saya akan mengatakan bahwa mata batin (intuition) adalah keistimewaan jiwa untuk mampu melihat nilai-nilai yang ada di setiap objek fisik atau nilai-nilai yang ada pada orang-orang di sekitar kita.

Mata batin terbuka dengan lebar, pada saat kondisi pikiran/hati kita bersih :)

Saat kita menggunakan mata batin, kita mampu melihat nilai yang terkandung dalam setiap objek di lingkungan sekitar kita. Melihat nilai yang terkandung dalam setiap objek, membuat objek tersebut menjadi lebih indah. Dengan kata lain, objek fisik hanya akan menjadi indah, jika kita melihat nilai yang terkandung di dalamnya.

...ngomong-ngomong, maksud/arti nilai yang terkandung dalam setiap objek, bukan nilai Rupiah/Dollar lho ya...Nilai yang terkandung dalam setiap objek, maksudnya adalah nilai-nilai kehidupan. Misalnya:
  • Tanaman di pinggir jalan, menjadi lebih indah saat kita melihat ada kedamaian (peace) di balik tanaman tersebut; ada tanggung jawab (responsibility) dari pihak yang mengurus tanaman di pinggir jalan tersebut;
  • Senyuman orang-orang di sekitar kita, menjadi lebih indah saat kita melihat ada ketulusan cinta (love) di antara kita; ada keramahan (humility) di antara kita. 
  • Tata letak kamar tidur kita, menjadi lebih indah saat kita melihat ada keteraturan dan kesederhanaan (simplicity) di kamar tersebut; atau ada kebersamaan (togetherness) di kamar tersebut...  
Jadi...kalaupun mata yang bersih kadang tidak selalu terjaga saat usia badan semakin tua, mudah-mudahan mata batin kita tetap sehat/bersih... 


Saat yang paling pas/bagus untuk membuka mata batin, adalah pada saat kita membuka mata di pagi hari :)

Jika di siang hari atau di sore hari, mata batin kita mengantuk..., apakah ada tips untuk menjaganya agar tetap terbuka? :) 

Monday, July 9, 2012

03. Kring kring kring, ada sepeda... Sepedaku roda tiga...


Menghormati diri sendiri bukan berarti gila hormat. Kalau "gila", identik dengan kegiatan yang dilakukan tanpa kesadaran. Menghormati diri, dilakukan justru dengan penuh kesadaran. Lebih lanjut, kalau kita amati, ciri orang yang mampu menghormati diri sendiri, banyak bersinggungan dengan ciri orang yang rendah hati. Lho kok?

Apa hakikat menghormati diri sendiri?

Menghormati diri sendiri adalah mengidentifikasi, mengenali, dan melihat dengan nyata kualitas yang ada di dalam diri. Mungkin sebagian dari kita tidak menghormati diri sendiri karena kurang tepat dalam mengidentifikasi kualitas yang ada di dalam diri sendiri. Kualitas yang dimaksud bukan kepandaian, bukan bakat, bukan keterampilan, apalagi harta kekayaan. Kualitas yang dimaksud adalah sifat-sifat baik, yang dimiliki oleh diri kita sebagai sang jiwa.

Sifat-sifat baik, ada pada setiap individu. Kepandaian, bakat, keterampilan, harta kekayaan, boleh jadi tidak sama pada setiap jiwa. Tetapi sifat-sifat baik relatif sama. Prinsip yang perlu diingat bahwa sifat baik bukan milik jiwa tertentu. Sifat baik adalah hak untuk dimiliki oleh setiap jiwa. Hal yang menjadi masalah adalah, terkadang sang jiwa sulit mengenali sifat-sifat baik yang dimilikinya, atau sang jiwa menolak bahwa dirinya memiliki sifat baik? Hehehe...parahh :)

Sifat baik yang perlu kita kenali dan kita lihat dengan nyata, tidak perlu banyak-banyak, cukup tiga. Mengapa tiga? Tiga adalah angka minimal yang mencerminkan keseimbangan. Seperti halnya kendaraan, untuk membuatnya stabil, setidaknya dibutuhkan tiga roda. Kalau lebih dari tiga, ya lebih baik lagi. Lihat saja truk gandengan yang membawa beban dalam hitungan ton, rodanya bisa belasan.

Sepeda roda tiga adalah contoh yang paling konkret untuk menggambarkan jumlah minimal roda yang dibutuhkan (http://www.youtube.com/watch?v=ycp_BVcElbY&feature=related). Kalau kurang dari tiga, wah.... kalau si pengendara tidak mahir, bisa jatuh ke kiri atau jatuh ke kanan. Nah kalau roda tiga, cukup amanlah... :-) 

Sehubungan dengan minimal tiga sifat baik; kita mau pilih kombinasi tiga sifat baik yang mana?
  • Suka menolong, rajin, dan jujur
  • Rendah hati, ceria, dan bisa bekerjasama
  • Sederhana, jujur, dan suka menolong
  • Disiplin, bisa bekerjasama, dan sederhana
  • Rajin, rendah hati, dan sabar
  • Tegas, sederhana, dan sopan
  • Ramah, terbuka, dan disiplin   
  • Apapun kombinasinya (boleh dibuat sendiri lho...), yang penting MINIMAL tiga sifat baik.


Nah... Setelah kita mengenali (minimal) tiga sifat baik tersebut, perhatikan sifat baik tersebut secara konsisten.

Dengan mengenali, memerhatikan, dan memikirkan sifat-sifat baik yang kita miliki, berarti kita sudah menghormati diri sendiri :-)

Kalau kita lihat lebih lanjut, hampir di setiap kombinasi tiga sifat baik tersebut, tampak unsur rendah hati ya?

Sekarang permasalahannya,...
Dalam sehari, kapan kita sediakan waktu untuk menghormati diri atau memerhatikan (minimal) tiga sifat baik yang kita miliki?

:-)

Friday, May 18, 2012

04. Menggambar / Melukis Jalan Hidup

Tahun 80an, zaman-nya Pak Tino Sidin mengisi acara Mari Menggambar di TVRI, semua gambar yang masuk ke meja redaksi, akan dibilang "bagus" oleh beliau.

Efek kata "bagus" yang diucapkan oleh Pak Tino Sidin, mungkin "biasa saja", bagi penonton yang bukan pemilik dari gambar tersebut.

Tetapi coba rasakan bagaimana kalau kita yang memiliki gambar yang dikatakan "bagus" tersebut. Kemungkinan besar timbul emosi positif (baik terhadap hasil karya kita, terhadap suasana pada saat itu, maupun terhadap lingkungan secara umum).

Salut kepada Pak Tino Sidin yang pintar sekali membuat anak-anak (dan orang tua yang menonton) menjadi happyEmosi positif dari kata-kata "bagus" yang diucapkan oleh Pak Tino Sidin membuat kita happy dan kemungkinan membuat kita termotivasi untuk mengulangi kembali kegiatan menggambar.

Walaupun demikian, kata-kata "bagus" terhadap hasil karya, sebenarnya bukanlah satu-satunya yang membuat jiwa berbahagia...

Jiwa yang berbahagia, sudah memiliki emosi positif, sebelum gambarnya dikatakan "bagus" oleh Pak Tino Sidin...(bukan bermaksud mengecilkan makna "bagus" dari Bp. Tino Sidin (alm.), tetapi justru untuk melengkapi teori "efek kata-kata 'bagus'")

Kebahagiaan tidak terletak pada penilaian orang lain atas hasil karya kita;
Kebahagiaan terletak pada proses melukis atau membuat gambar itu sendiri. 

Pada saat kita menggambar bagian yang mudah, kita cenderung menyukainya. 
Pada saat kita menggambar bagian yang sulit,... ??!!?


nah lo....di sini bedanya... antara jiwa yang senantiasa berbahagia dan jiwa yang kadang-kadang berbahagia.

Perbedaan pertama, kadar semangat saat menghadapi bagian gambar yang sulit.

Jiwa yang senantiasa berbahagia akan tetap bersemangat saat-saat menggambar bagian yang sulit;  boleh jadi semakin semangat karena justru menemukan makna di dalam menggambar/melukis bagian yang sulit tersebut.

Jiwa yang kadang-kadang berbahagiaada kalanya bersemangat saat-saat menggambar bagian yang sulit; tetapi ada kalanya menjadi kurang bersemangat saat-saat menggambar bagian yang sulit.

Perbedaan kedua, kadar keheningan saat menghadapi bagian gambar yang sulit.

Saat-saat menggambar bagian yang sulit, jiwa yang senantiasa berbahagia akan semakin masuk dalam keheningan; hehehe... semakin asyik (keasyikan) dengan kegiatan menggambar bagian yang sulit (bagian yang sedang dihadapinya). 

Saat-saat menggambar bagian yang sulit, jiwa yang kadang-kadang berbahagiabelum tentu masuk dalam keheningan; jiwa yang kadang-kadang berbahagia, boleh jadi malahan keluar dari keheningan (baca: muncul pikiran tidak tenang atau pikiran mulai dipenuhi dengan keruwetan/ kesibukan/ keluhan/ ke-ramai-an buah pikiran).

 
Nah... mau pilih menjadi penggambar/pelukis yang senantiasa berbahagia atau yang kadang-kadang berbahagia?  

Saat kita memutuskan mau pilih yang mana... ingat saja bahwa juri dari gambar kita adalah Pak Tino Sidin.... semua gambar "bagus"

Saat menghadapi bagian gambar yang sulit, dan bagian gambar yang mudah.... adalah "bagus" kalau kita tetap bersemangat dan tetap tenang :)

Pernah melihat proses anak-anak saat membuat gambar?

Saat anak-anak membuat gambar, mereka sepertinya tidak memikirkan bagian mana yang mudah dan bagian yang sulit.... yang ada dalam pikirannya hanyalah.... gambar ini untuk papa/mama, nenek/kakek, atau saudaranya.... :) sangat lugu :)

Papa/mama yang menerima gambar tersebut dan mengetahui bahwa gambar tersebut dibuat dengan penuh cinta kasih, akan  mengatakan "bagus" dan mengapresiasi gambar tersebut dengan bertanya lebih lanjut, mengenai: proses, tema, ataupun karakter dari setiap tokoh yang ada di dalam gambar.... 

hehehe...jangan pancing-pancing mereka (anak-anak) dengan pertanyaan "mana yang sulit, mana yang mudah" lho ya.... 

kita boleh membiarkan anak-anak berbahagia dengan gambarnya.... mereka seakan-akan tidak memikirkan mana bagian yang sulit dan mana bagian yang mudah :) 

Dalam pikirannya: menggambar/melukis adalah kegiatan yang menyenangkan... :) setiap gambar adalah "bagus" :)

Gambar Rasa Pratiwi yang selalu "bagus"





Terima kasih atas bimbingan kak Ulil


Wednesday, May 9, 2012

07. Mental sang Juara


Hasil dari suatu pertandingan, selain suasana gembira, adalah kemunculan Juara I, Juara II, dan Juara III.

Banyak penjelasan mengapa jiwa bisa menjadi juara, mulai dari  faktor makanan, kecerdasan, pola pikir, kepribadian, faktor situasi, sampai dengan faktor nasib...hehehe.... 

Untuk kemudahan, kita golongkan saja penjelasan mengenai jiwa menjadi juara adalah karena dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal

Faktor internal berhubungan dengan nilai-nilai yang dimiliki (misalnya, kesabaran, ketekunan, kebahagiaan, dan toleransi terhadap stres); sedangkan faktor eksternal berhubungan dengan sarana dan prasarana (misalnya, uang, kendaraan, kondisi badan, dan lain-lain yang prinsipnya bersifat material).

Nah... rumus sang juara adalah:   

Juara I = 95% dipengaruhi oleh faktor internal, 5% faktor eksternal.

Juara II = 75% dipengaruhi oleh faktor internal, 25% faktor eksternal.

Juara III = 60% dipengaruhi oleh faktor internal, 40% faktor eksternal.

Nah... kalau komposisinya sampai <50% faktor internal; >50% faktor eksternal... mungkin kalaupun juara, hanya juara harapan...maksudnya.... harap-harap juara....atau siapa tahu bisa juara.....hehehe....

Rumusan tersebut hanya simulasi komposisi yang menjelaskan secara sederhana, agar kita mudah memahami bahwa persoalan juara adalah persoalan interaksi antara faktor internal dan faktor eksternal.

Yang sebenarnya ingin disampaikan adalah mengapa sang jiwa bisa juara....

Kita boleh ber-refleksi bahwa jiwa-jiwa yang juara (boleh diinterpretasikan sesuai dengan pengalaman kita masing-masing), sepertinya dipengaruhi sedikit sekali oleh situasi dan kondisi (sikon). Walaupun sikon tidak memungkinkan, walaupun sikon sangat minim, tetap saja jiwa yang juara bertekun dalam latihan atau dalam pembelajarannya

Pepatah yang mengatakan "di mana ada kemauan, di situ ada jalan", mendukung rumusan di atas....  Arti tersirat dari pepatah tersebut adalah "modal yang paling penting adalah faktor internal, faktor eksternal nomor sekian (atau secara ekstrem, faktor eksternal kurang berpengaruh)" 

Apakah rumusan di atas, boleh kita masukkan sebagai salah satu buah pikiran (mental) sang Juara?

Thursday, May 3, 2012

08. Berhubungan Intim dengan Orang Tua

Tulisan ini memposisikan kita sebagai anak. Mengapa?

Di antara kita, mungkin saja ada yang bukan sebagai orang tua; tetapi, di antara kita, tidak ada yang bukan sebagai anak. Di antara kita pasti sedang/pernah pada posisi sebagai anak.
iya kan... :) 

Bentuk hubungan antara anak terhadap orang tua ada lima jenis.

Jenis pertama, hubungan yang diwarnai permintaan. Hubungan jenis pertama ini adalah hubungan yang paling umum dilakukan oleh kita sebagai anak terhadap orang tua. Khususnya saat kita masih kecil-kecil, mungkin kita mengatakan "Pa/Ma minta .... ", "Pa/Ma beliin .... ", "Ma/Pa, saya mau...", dst., dst. dengan sederet permintaan... Mudah-mudahan saat kita sudah besar (nanti), warna hubungan ini mulai memudar atau bahkan tidak ada sama sekali...

Jenis kedua, hubungan yang diwarnai keluhan. Hubungan jenis kedua ini sama banyaknya dengan hubungan jenis pertama. Jika permintaan tidak dipenuhi, biasanya anak kemudian mengeluh. "yahh Mama... yahh Papa...", "Mengapa harus begini Pa/Ma...?" hehehe...jadi inget judul rubrik di Majalah Kartini sekitar tahun 80an... "Oh Mama... Oh Papa..." Keluhan sama dengan "curhat" nggak ya?

Jenis ketiga, hubungan yang diwarnai harapan. Harapan sekilas sama dengan permintaan dan keluhan. Perbedaan harapan dan permintaan: besarnya keinginan untuk dipenuhi; saat kita berharap, keinginan untuk dipenuhi tidak sebesar pada saat kita meminta. Perbedaan harapan dan keluhan: valensi/muatan; saat kita berharap, valensi/muatan lebih positif dibandingkan pada saat kita mengeluh. Risiko dari harapan (berharap) yaitu kadang kita diliputi oleh perasaan cemas.

Jenis keempat, hubungan yang diwarnai pertanyaan (ingin mendapatkan jawaban). Sebagai anak, kita mungkin masih ingat, kita sering bertanya kepada orang tua "itu fenomena apa ya Pa/Ma... ?", "Pa/Ma... bagaimana kalau ....?", "Ma/Pa... setelah tamat SMA nanti, bagusnya masuk jurusan apa ya...?" Jenis hubungan ini mulai netral (tidak diwarnai tuntutan/permintaan, tidak bersifat mengeluh, dan juga tidak berharap banyak kepada orang tua). Orang tua dianggap sebagai konselor niih? Tapi kita perlu hati-hati... hubungan jenis ini (yang diwarnai pertanyaan) kadang terpeleset menjadi hubungan jenis kedua (keluhan) atau jenis ketiga (harapan). (maksudnya netral, mau berdiskusi/tukar pikiran, ehhh... malah mengeluh atau berharap...)
 
Jenis kelima, hubungan yang sama sekali tidak diwarnai permintaan, keluhan, harapan, ataupun pertanyaan. Hubungan jenis kelima diwarnai oleh perasaan kasih (terima kasih) dan keinginan untuk membalas budi baik orang tua. (walaupun kebanyakan orang tua sangat tulus dan tidak tega meminta, mengeluh, bertanya, ataupun berharap kepada kita untuk membalas budi) 

Hubungan jenis kelima, biasanya diwujudkan dengan kebalikan dari keempat jenis hubungan yang pertama.
  1. Bukan meminta kepada orang tua, tetapi memberi kepada orang tua.
  2. Bukan mengeluh (membagi/memberi kesedihan) kepada orang tua, tetapi membagi kebahagiaan kepada orang tua.
  3. Bukan mengharap sesuatu dari orang tua. Tetapi memenuhi harapan orang tua.  
  4. Bukan bertanya mengenai jawaban soal ujian kepada orang tua, tetapi berusaha menjawab soal ujian (bukan ujian nasional lho ya... tapi ujian kehidupan). Mudah-mudahan orang tua senang melihat kita mau berusaha, apalagi mampu berusaha.

Pertanyaan untuk penelitian lebih lanjut (walaupun tidak ada latar belakangnya...) hehehe...
  • Faktor-faktor apa yang memengaruhi jenis hubungan kita dengan orang tua?
  • Apakah tingkat perkembangan moral, memengaruhi jenis hubungan kita dengan orang tua?
  • Siapa yang benar-benar kita anggap sebagai orang tua? (eehhh...emangnya ada, research question dimulai dengan kata-kata siapa...hehehe... ya ada donk... contoh ya itu tadi... coba saja kita lakukan survey kepada seluruh (populasi) umat manusia....siapa yang benar-benar kita anggap sebagai orang tua?)

Thursday, April 19, 2012

08. Waktu Terus Berjalan (di Tempat)

Ada pengetahuan yang sangat sederhana, namun kadang kita abaikan. Pengetahuan mengenai apa? 

Pengetahuan mengenai siklus...

Siklus berasal dari kata cycles (cycle= lingkaran) yang berarti proses yang berulang dengan pola yang sama. 

Hakikat dari siklus adalah "tidak ada awal, tidak ada akhir", "titik akhir siklus sekaligus menjadi titik awal siklus", "apa yang berakhir akan dimulai, apa yang dimulai akan berakhir", jadi "tidak ada awal, tidak ada akhir". Kalau digambarkan, siklus seperti sebuah lingkaran. Lingkaran yang tidak bisa kita lihat, tetapi bisa kita imajinasikan. 

Pengetahuan mengenai siklus yang paling sederhana, yang pernah kita pelajari di SD, adalah pengetahuan mengenai siklus air. Air dari pemukiman penduduk  mengalir ke sungai; dari sungai, air kemudian mengalir ke laut; setelah sampai di laut, air menguap menjadi awan; awan turun menjadi hujan; air hujan sebagian masuk ke dalam tanah/sumur (sebagian langsung masuk ke aliran sungai); dari tanah/sumur, air dimanfaatkan oleh penduduk di pemukiman;  air dari pemukiman penduduk mengalir kembali ke sungai; dari sungai, air kemudian mengalir kembali ke laut; dan seterusnya.... tidak ada awal, tidak ada akhir... 

Sepertinya, setiap benda di muka bumi ini memiliki/mengalami siklus; termasuk badan manusia. Konon, kabarnya badan manusia dibuat dari tanah; dan  akan kembali menjadi tanah (setelah jiwa meninggalkan badan). Secara rasional, melalui proses alam, tanah (setelah berinteraksi dengan air & energi matahari) diproses untuk menjadi bahan dasar badan manusia. Badan manusia, kelak suatu saat, akan diurai kembali menjadi tanah. Setelah itu, tanah diproses kembali untuk menjadi makanan (bahan dasar) badan manusia. Begitu seterusnya.... badan manusia memiliki/mengalami siklus... tidak ada awal, tidak ada akhir...

Nah, bagaimana dengan jiwa? Apakah jiwa juga mengalami siklus?

Berdasarkan teori siklus, sangat beralasan untuk menduga bahwa jiwa juga memiliki/mengalami siklus...Setelah jiwa meninggalkan badan, konon katanya, ada kehidupan lain di "alam sana". Walaupun sebagian dari kita tidak percaya, tetapi sebagian besar dari kita, tentu bisa mengimajinasikan/membayangkannya. 

Pertanyaan bagi kita (terutama setelah meninggalkan badan): Nanti, di "alam sana" jiwa ngapain ya? sibuk atau nganggur? hehehe... kalau nganggur, berarti di "alam sana" kurang banyak lowongan pekerjaan, atau iklimnya kurang mendukung jiwa untuk membuka lapangan pekerjaan :) 

Kalau saja jiwa memiliki/mengalami siklus... kemungkinan besar jiwa tidak nganggur....jiwa akan memasuki tahap berikutnya, berikutnya, dan berikutnya...Dengan kata lain, jiwa tidak akan stag/terdiam di satu titik akhir.... prinsipnya.... titik akhir jiwa adalah titik awalnya (untuk kehidupan lain).... tidak ada awal, tidak ada akhir...

Siklus identik dengan waktu yang terus berjalan....sehingga jika boleh dibuat persamaan, maka persamaanya akan menjadi: Siklus = Waktu

Walaupun kita memiliki batas waktu, tetapi waktu sendiri tidak memiliki batas; waktu tidak mengenal awal dan tidak mengenal akhir...


Pernyataan dan pertanyaan untuk direnungkan:

Jika, ....
waktu bukan siklus, waktu memiliki batas, waktu akan berhenti di suatu saat nanti....?

Teman saya, kak Adoi, pernah berandai-andai.... kalau waktu berhenti selama "sekian detik"....  nahhh... yang "sekian detik" itu kan juga waktu... 

Sulit membayangkan waktu memiliki batas, waktu memiliki titik henti, atau waktu akan berhenti di suatu saat nanti...

Pertanyaan alternatif

Kapan waktu dimulai, kapan waktu berakhir?

Sebelum hari Sabtu adalah hari Jumat; Sebelum bulan Desember adalah bulan November; Sebelum Tahun 0000, tahun berapa ya? Kalau jawabannya adalah tahun -0001, lalu pertanyaannya: sebelum tahun -5000, tahun berapa? (hehehe... tahun -1000 saja ngga' kebayang ??!?)

Nama hari, nama bulan, nama tahun bukanlah prinsip. Setiap budaya bisa saja memberikan nama hari, nama bulan, dan nama tahun yang berbeda-beda.... yang prinsip adalah waktu... waktu akan terus berjalan, dan kita semua ada dalam dimensi waktu yang identik dengan siklus... tidak ada awal, tidak ada akhir...

Pengetahuan mengenai siklus menjadi modal kita memahami skenario kehidupan (dan kematian).

Setiap peristiwa merupakan bagian dari siklus sebelumnya dan merupakan bagian dari siklus yang akan datang :-)

Setiap peristiwa yang kita alami, merupakan skenario yang terbaik dan sempurna (bagi siklus yang akan datang).

Monday, April 9, 2012

03. Jauh di Mata, Dekat di Hati

Ketinggian/kerendahan hati bukan diukur dari permukaan laut. 


Jarak ketinggian/kerendahan hati dari permukaan laut, kurang lebih sama bagi semua orang. 


Kriteria yang membedakan  ketinggian/kerendahan hati, adalah seberapa jauh jarak hati kita dari jarak hati-Nya (Sang Sumber Kehidupan)

Kita asumsikan saja bahwa letak hati Sang Sumber Kehidupan, berada di lubuk hati kita yang paling dalam....

Orang yang rendah hati, kadang mengucapkan permohonan maaf, dengan disertai kata-kata puitis seperti ini, "sudilah menerima permohonan maaf dari lubuk hatiku yang paling dalam"

Pertanyaannya, dimanakah letak "lubuk hati yang paling dalam" ???


Walaupun namanya lubuk hati yang paling dalam, tetapi tempatnya jelas bukan di dalam dada atau di dalam kepala kita. (jangan coba-coba dibuktikan dengan membelah dada atau membelah kepala dengan pisau lho ya :)



Tempat  "lubuk hati yang paling dalam" ada di suatu lokasi yang hanya bisa dibayangkan, dipikirkan, dan diingat. 


Secara fisik, lokasi tersebut sulit dijangkau. Kalaupun dapat dijangkau (dengan bantuan teknologi terkini), untuk mencapainya kita membutuhkan waktu beribu/berjuta tahun cahaya....hehehe.... laama sekaleee :)


Secara non-fisik, dengan pikiran dan ingatan, lokasi tersebut dapat dijangkau hanya dalam waktu 1 detik....

wauw...pikiran kita sepertinya jauh lebih hebat yak dari teknologi NASA :)
bayangkan....mencapai tempat yang sulit terjangkau, hanya membutuhkan waktu 1 detik saja....

yahh, supaya lebih konkret, kita bisa menganalogikannya dengan pepatah yang mengatakan... 
"jauh di mata, dekat di hati...  (di lubuk hati)" hehehe.... 


bagaimana?? seperti orang pacaran jarak jauh ya...., disertai adanya kontak batin...hehehe...


Kembali ke lubuk hati yang paling dalam....

Kalau ibarat ruangan, kondisi ruang/lubuk hati yang paling dalam, boleh jadi sama, atau bahkan melebihi ruangan VVIP. Pernah melihat/mengunjungi ruangan VVIP?


Ibarat ruangan super VVIP, semua fasilitas yang dibutuhkan, sudah tersedia secara lengkap... super lengkap. 
Nah...sebagai konsekuensinya, kita tidak perlu membawa milik kita, ke ruang/lubuk hati yang paling dalam tersebut.


Lho kok tidak perlu...?
yah karena semua yang ada di ruang/lubuk hati yang paling dalam, sudah tersedia dengan lengkap;  
jadi tidak perlu membawa segala sesuatu dari luar yang bersifat milik-ku...


milik-ku tidak ada "artinya" di ruangan/lubuk hati yang paling dalam tersebut...

Hehehe... terkadang sekalipun kita tahu bahwa untuk masuk ke ruang/lubuk hati yang paling dalam tidak perlu membawa apapun milik-ku, tetapi kita masih khawatir menanggalkan milik-ku...

Begini saja....pokoknya, tidak usah cemas, tidak usah khawatir....tenang saja.... relax....
di dalam ruang tersebut, semuanya sudah tersedia... prinsipnya, kalau kita masih membawa milik-ku, justru kita tidak diperbolehkan masuk :)

Jika kita ingin bermain-main atau masuk ke ruang/lubuk hati yang paling dalam, tanggalkan dahulu seluruh milik-ku :) atau sementara serahkan dahulu seluruh milik-ku, untuk ditransformasikan menjadi milik-Mu...

Saat kita menanggalkan semua milik-ku,
Saat semua menjadi milik-Mu,

Saat kita boleh masuk ke dalam lubuk hati yang paling dalam,
Saat kita menjadi rendah hati,
Saat kita mengalami kedekatan hati dengan-Nya :)

Thursday, April 5, 2012

02 & 05. Kain Kafan... atau Kain Kapan...?


Salah satu tujuan kita ada di planet Bumi ini adalah untuk berbuat/melakukan sesuatu bagi orang lain.

Nah, untuk berbuat/melakukan sesuatu bagi orang lain, ada sedikit paradoks yang menggelitik pikiran kita. 

1. Di satu pihak, kita diharapkan untuk peduli kepada orang lain. Peduli artinya memberi perhatian kepada orang lain. Dengan memberi perhatian, artinya kita memiliki kontak/hubungan batin dengan orang lain; dengan adanya hubungan batin, artinya kita paling tidak memiliki sedikit ikatan batin, sehingga tergerak untuk berbuat/melakukan sesuatu bagi orang lain. 

2. Di lain pihak, kita diharapkan tidak terikat dengan orang lain. Tidak terikat dengan orang lain artinya tidak ada ikatan batintidak memikirkan orang lain, ekstremnya tidak memberi perhatian atau tidak peduli kepada orang lain. Lebih ekstrem lagi, tidak tergerak untuk berbuat/melakukan sesuatu bagi orang lain. (karena tidak ada hubungan / sedikit pun tidak ada ikatan)

Jadi yang mana yang kita pilih: peduli kepada orang lain atau tidak terikat (tidak memberi perhatian) kepada orang lain?

Dengan gampang kita sering katakan, yahhh... kita boleh peduli kepada orang lain, tetapi jangan sampai terikat.... 

Kalau saja konsep "terikat" bisa diukur (misalnya, skala 1 - 10), pada skala berapa kita menyatakan "sudah terikat" atau "belum terikat"? 

Menurut penulis, skala 1 pun, sudah menunjukkan ada ikatan, walaupun sedikit.... sedikit banget... :) 

Jadi, sekali lagi, yang mana yang kita pilih: peduli kepada orang lain atau tidak terikat (tidak memberi perhatian) kepada orang lain?

Untuk menjawab mana yang kita pilih, mungkin kita perlu melihat variabel waktu. Ada kala-nya, kita tidak peduli/tidak memberi perhatian kepada orang lain (sedikit pun tidak memberikan perhatian), dan ada kala-nya kita perlu peduli/memberi perhatian kepada orang lain...

Pertanyaan berikutnya adalah, KAPAN...

KAPAN kita tidak peduli (sama sekali tidak terikat) kepada orang lain, dan KAPAN kita perlu memberi perhatian (sedikit terikat) kepada orang lain...

Kapan...?