Saturday, February 22, 2014

05. TIDAK ada BEDA..., TAPI kok ber-BEDA?


Beberapa rekan saya bertanya, apa sih bedanya orang yang makan-daging dan tidak-makan-daging? (apakah buah pikirannya, kata-katanya, perbuatannya, kesehatannya, nasibnya berbeda, atau apanya yang berbeda?)

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, lebih baik kita pahami bahwa sebenarnya rekan-rekan tersebut ingin bertanya mengenai hal yang lebih mendasar, yaitu: “Apakah tidak-makan-daging memberikan efek/pengaruh terhadap buah pikiran, kata-kata, perbuatan, kesehatan, atau nasib individu?”

Pertanyaan, “Apa bedanya orang yang makan-daging dan tidak-makan-daging?” boleh-boleh saja kita jawab.

Namun, ketika kita sampai pada jawaban, bisa saja jawaban kita terbentur pada hasil analisis bahwa TIDAK ADA BEDA antara orang yang makan-daging dan tidak-makan-daging.

Orang yang makan-daging dan orang yang tidak-makan-daging, sama-sama bisa memiliki buah pikiran yang baik; sama-sama bisa mengucapkan kata-kata yang baik, sama-sama bisa melakukan perbuatan yang baik, sama-sama memiliki kesehatan yang baik, dan sama-sama memiliki nasib yang baik; pokoknya TIDAK ADA BEDA...

Tapi... dalam proses memperoleh jawaban (dalam proses menganalisis data), ada kalanya kita melupakan berbagai variasi internal-individu dan variasi external-individu dari para sahabat kita yang mewakili kelompok orang yang makan-daging dan yang mewakili kelompok orang tidak-makan-daging.

Berbagai variasi internal-individu, misalnya: kecerdasan, riwayat kesehatan, berat-badan, usia, dsb.; sedangkan berbagai variasi external-individu, misalnya: kesempatan sekolah, kondisi keuangan, pendampingan orang tua, kondisi tempat tinggal, dsb.

Sulit sekali bagi kita untuk menemukan sekelompok sahabat yang makan-daging setara (equal) dengan para sahabat yang tidak-makan-daging...baik setara pada variasi internal-individu maupun setara pada variasi external-individu.

Menemukan dua orang yang memiliki variasi setara saja sulit, APALAGI menemukan sekelompok orang yang memiliki variasi yang setara. wauww...

Kesulitan tersebut sebenarnya membuat kita TIDAK BOLEH membandingkan (buah pikiran, kata-kata, perbuatan, kesehatan, atau nasib) antara para sahabat yang makan-daging dan para sahabat yang tidak-makan-daging.

Nah kalau begitu Bro..., kita perlu hati-hati sekali dalam usaha menjawab pertanyaan "Apakah tidak-makan-daging memberikan efek/pengaruh terhadap buah pikiran, kata-kata, perbuatan, kesehatan, atau nasib individu?"

Dan ingat....jangan terlalu berani berpikir: “Jadi kesimpulannya... wah kalau begitu sia-sia ya kalau tidak-makan-daging, toh... ternyata sama saja tuh orang yang makan-daging dan orang yang tidak-makan-daging.”

Menghadapi kesulitan untuk menyetarakan (membuat equal) dua kelompok orang, sangat dianjurkan bagi kita untuk memodifikasi pertanyaan di atas, menjadi:
  • “Apakah ada perbedaan (buah pikiran, kata-kata, perbuatan, kesehatan, atau nasib individu) pada saat makan-daging dan pada saat tidak-makan-daging?”
  • atau, “Apakah ada perubahan buah pikiran, kata-kata, perbuatan, kesehatan, atau nasib individu, sebelum tidak-makan-daging dan setelah tidak-makan-daging?

Lalu apa/bagaimana jawabannya?

Nah.., mohon izin dan perkenan Bapak/Ibu/Mba’/Mas, secara langsung meminta jawabannya dari sahabat yang dahulu (12 tahun yang lalu) makan-daging, namun saat ini (sekarang) tidak-makan-daging... hehehe...

Kalau saya boleh ber-hipotesis, maka beberapa jawaban yang akan kita peroleh dari sahabat kita adalah sebagai berikut:

bahwa setelah tidak-makan-daging, maka...
  • buah pikiran menjadi lebih bersih atau lebih sederhana;
  • kata-kata menjadi lebih banyak dipertimbangkan/diseleksi, sebelum diutarakan kepada orang lain;
  • perbuatan menjadi lebih ekspresif (ringan/tidak merasa sebagai beban dalam melakukannya);
  • kesehatan menjadi lebih prima, banyak rekan yang memberi komentar awet muda;
  • dalam hal nasib, menjadi lebih sering merasa bahagia/gembira.
dibandingkan dengan sebelum tidak-makan-daging.

hehehe... hayo...sekarang waktunya kita ambil data, kita tanyakan langsung kepada para sahabat yang saat ini tidak-makan-daging, namun dahulu (12 tahun lalu) masih makan-daging.

ciie... sudah Bab III ya Bro...ambil (kumpulin) data ya Bro... bukan nyebar data lho ya... kalau nyebar data... nanti data-nya tersebar-sebar, ngga’ balik-balik... hehehe...

Wednesday, February 12, 2014

04. Beruntung Jutaan Kali



Waktu kelas 3 SD, saya pernah ditegur oleh Ibu Guru, gara-gara saya mengucapkan kata “sialan”

Waktu itu, saya kurang paham makna yang sebenarnya dari kata “sialan”, namun setelah saya ditegur, saya mulai paham, bahwa kata “sialan” ternyata masuk kategori “kata-kata yang terlarang” atau pantang diucapkan... Terima kasih Ibu Rini :-)

Waktu berlalu, hingga entah mulai kapan, saya menjadi mengerti dan suka dengan makna kata “Untung...”; saya belajar dari stereotype orang Jawa yang katanya sering mengucapkan kata “Untung...”, apapun kondisinya...

Contohnya:
·         Untung... hujannya hanya sebentar.
·         Untung... tetap bisa sampai tujuan, walaupun kehujanan di jalan.
·         Untung... banjirnya hanya di jalan, nggak sampai masuk ke dalam rumah.
·         Untung... ngga’ ada perabot elektronik yang kena.
·         Untung... airnya cepat surut.
·         Untung... ada yang bantuin ngangkat perabot.
·         Untung... punya sahabat yang selalu mau mendengarkan.
·         Untung... bahwa saya mengetahui hal ini sejak awal.
·         Untung... ada tugas kuliah yang membuat pikiran saya tidak sempat memikirkan hal negatif.
·         Untung... masih ada waktu, buat menyelesaikan satu / dua rencana.
·         Untung... pokoknya selalu beruntung...

Apapun kondisinya, ternyata masih beruntung ya...

Untung... ada Ibu Guru yang menegur saya :-) Terima kasih Ibu Rini :-)