Wednesday, October 6, 2010

02. Narcissism: Tidak untuk di-Sublimasi pada Orang Lain

Di dalam berbagai filosofi (Yunani Kuno, Buddhism, Christianity, Confucianism, Hinduism, Humanism, Islam, Taoism, dll.) dikenal istilah the golden rule (hukum kasih/hukum tingkat tinggi/hukum dewa-dewi) yang artinya hampir sama, yaitu: “Perlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan” atau secara lebih spesifik, “Cintai sesamamu manusia seperti engkau mencintai dirimu sendiri”. Ini artinya kita perlu mencintai diri sendiri.

Di dalam perkuliahan psikologi, ada istilah narcissism. Orang awam sering menyamakan istilah ini dengan “mencintai diri sendiri”.

Hal yang agak berbahaya, saat kita membuat program/syntax di dalam pikiran, kita menyamakan antara istilah “mencintai diri sendiri” dan “narcissism.  Di dalam pergaulan sebagai akademisi maupun praktisi psikologi, istilah “narcissism” cenderung dihindari. Paling umum digunakan untuk lelucon (meledek) teman yang hobi berfoto…. hehehe… “dasar narsis lo… :)” … terus temannya menjawab, “enak aja… :)”

Intinya, jarang ada rekan kita yang ingin disebut dirinya narcissist (someone in love with themselves).

Jika kejadiannya seperti ini, program di kepala kita bisa memunculkan pesan syntax error; di satu pihak kita diminta untuk mencintai diri sendiri (agar kita dapat menghayati atau mampu berempati bagaimana orang lain ingin diperlakukan), sedangkan di lain pihak, kita diminta untuk menghindari untuk mencintai diri sendiri…piye toh?!?

…yang mana yang benar dan dapat kita pilih??

Sebelum kita memilih, kita perlu memperjelas arti narcissism, yaitu dengan mencari persamaan/perbedaan antara istilah “mencintai diri sendiri” dan istilah narcissism. Istilah narcissism dan istilah “mencintai diri sendiri” memiliki persamaan, yaitu perasaan yang dialami. Dalam kedua konsep tersebut, perasaan yang dialami adalah perasaan sayang/kasih. Perasaan sayang/kasih adalah sesuatu yang baik.

Perbedaan yang mendasar, yaitu pada objek yang dicintai. Narcissism mencintai diri (self) secara fisik; sedangkan mencintai diri sendiri (dalam istilah golden rule), objek yang dicintai tampaknya lebih diarahkan kepada batin/personality/psikis (soul).

Dengan kata lain, kita boleh mencintai kepribadian/sifat-sifat kita (sifat-sifat yang baik lho ya…:), tetapi jangan mencintai “badan/fisik” kita, apalagi secara berlebihan. Kalau merawat “badan/fisik” gimana??? yah.. boleh-boleh sajalah…masak nggak boleh sih…. itukan masih batas wajar/perlu… (kata kuncinya butuh/perlu, bukan ingin)…

Dengan logika yang sama, sebetulnya secara implisit, tersirat bahwa dalam berhubungan dengan orang lain, yang boleh kita cintai adalah kepribadian/sifat-sifatnya, bukan badan/fisiknya. Dengan tidak mencintai badan/fisik orang lain (secara berlebihan)… mudah-mudahan kita dapat memberikan dan merasakan cinta yang tulus…:)