Wednesday, May 18, 2011

07. Pilih mana? Menjadi Penonton (Pembayar) atau Menjadi Pemeran/Pemain/Aktor (yang Dibayar)

Salah satu hal yang kita anggap normal adalah bahwa kita akan memperlakukan orang lain dengan baik, jika orang lain tersebut memperlakukan kita dengan baik; dan kemudian, secara normal juga kita menganggap bahwa jika orang lain tidak memperlakukan kita dengan baik, mengapa kita harus memperlakukannya dengan baik. Kok gitu ya? Ini kondisi normal menurut siapa?
Secara teoretis mungkin kita juga sudah tahu, bahwa idealnya kita tetap memperlakukan orang lain dengan baik, walaupun orang lain berlaku tidak baik kepada kita.  Namun pada kenyataannya, praktik di lapangan, tampaknya agak sulit untuk diterapkan. Mengapa ya?
Apakah ini karena kelebihan teori (kurang praktik) atau karena kekurangan teori pendukung; atau, teori yang saat ini ada belum mumpuni untuk menjelaskan fenomena ini? Begini saja…, tidak ada ruginya berasumsi bahwa kondisi yang ada saat ini, masih membutuhkan teori pendukung lebih lanjut.
Oleh karena itu, bagaimana kalau kita tambahkan sedikit teori… namanya, Teori Penonton dan Pemeran/Pemain/Aktor :)
Salah satu penjelasan mengapa kita sulit untuk tetap memperlakukan orang lain dengan baik, walaupun orang lain berlaku tidak baik kepada kita adalah karena kita masih menganggap diri kita sebagai “penonton”, bukan sebagai aktor.
Kemampuan penonton dalam mengendalikan emosi, kadang tidak sehebat kemampuan aktor dalam mengendalikan emosi. Kadang kala, penonton tanpa sadar telah merelakan emosinya untuk dibawa hanyut oleh adegan film yang sedang ditonton. Bandingkan dengan aktor ; aktor dengan sukses mampu mengatur emosinya, bahkan mampu memengaruhi (mengatur) emosi si penonton.
Mengatur emosi (dirinya maupun orang lain) diduga adalah salah satu kompetensi yang dimiliki oleh sang aktor (maksudnya aktor yang sukses lho ya…hehehe…). Bayangkan jika emosi sang aktor yang sedang memainkan film terpengaruh oleh emosi si penonton….lha..bisa jadi aneh dan lucu itu film...  
Jika dianalogikan dengan kondisi atlit yang sedang bertanding (go show), walaupun si penonton pro/kontra terhadap kondisi pertandingan, atlit yang sukses tetap harus focus dengan event yang sedang dijalaninya; tidak terpengaruh emosi penonton. cool.. bo’
Jadi, berdasarkan ukuran aktor/atlit  (yang sukses lho ya…), kondisi yang normal adalah kondisi di mana emosinya tidak tergantung (tidak terpengaruh) oleh respons orang lain. Jika ia (si aktor) masih terpengaruh oleh kondisi  orang lain, maka si aktor sedang memilih untuk menurunkan statusnya; bukan lagi sebagai aktor, tetapi sebagai penonton (yang sedang dipermainkan emosinya).
Apakah kita setuju bahwa kita semua adalah aktor… yang kadang-kadang, tanpa sadar menjelma sebagai penonton :) Penonton harus membayar (setidaknya dengan waktu yang dimilikinya) untuk menonton hal yang telah memengaruhi emosinya :)
Supaya tidak tekor (karena terus membayar), bagaimana kalau kita sekali-sekali atau sering kali jadi aktor :)

Monday, May 16, 2011

09. Mengatakan “Hal yang Sebenarnya” kepada Orang Lain

Manisnya pengalaman akan dialami saat kita mengatakan “hal yang sebenarnya” kepada orang lain. “Hal yang sebenarnya” seringkali dipersepsikan sebagai sesuatu yang menyakitkan.
Se-benar-nya, penyampaian “hal yang sebenarnya” kepada orang lain, akan dirasakan sebagai suatu pengalaman yang manis, bukan pengalaman yang menyakitkan.
Secara sederhana, ada dua kondisi, agar penyampaian “hal yang sebenarnya” tidak dipersepsikan sebagai pengalaman yang menyakitkan.
Pertama. Untuk menyampaikan “hal yang sebenarnya” kepada orang lain, tanpa dipersepsikan sebagai sesuatu yang menyakitkan, mungkin kita memerlukan waktu sejenak untuk hening (barang 5, 10, 30 menit, atau bahkan seharian) untuk memikirkan isi dan cara menyampaikannya.
Kedua. “Hal yang sebenarnya” yang kita sampaikan kepada orang lain, bukan hanya hal-hal yang bersifat perlu diperbaiki, tetapi juga hal-hal yang bersifat sudah baik. Jika kita hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat perlu diperbaiki, kita hanya menyampaikan sebagian kebenaran, bukan kebenaran secara utuh.
Seberapa percayakah kita bahwa di dalam setiap jiwa sebenarnya selalu ada kebaikan atau hal positif…?
Banyaknya kebaikan atau hal positif yang kita jumpai pada orang lain, dimulai dari penemuan terhadap satu kebaikan yang dimiliki oleh orang tersebut….semakin banyak kita temukan kebaikan pada diri orang lain, semakin utuh kebenaran yang tampak.
Kata-kata kita akan memiliki kekuatan, saat kita menyampaikan “hal-hal yang sebenarnya” ada pada orang lain. Orang lain akan merasakan bahwa kata-kata kita adalah suatu kebenaran (sifat asli) tentang dirinya, saat kata-kata kita diterima sebagai sesuatu yang tidak menyakitkan…

Sunday, May 1, 2011

02, 05, 06. Lagu Chaiya-Chaiya Enak juga ya...

Kemungkinan besar, salah satu faktor yang membuat Briptu Norman sangat ekspresif saat membawakan lagu Chaiya-Chaiya adalah penghayatan beliau terhadap lagu tersebut. Lihat saja gayanya beliau...sudah mirip dengan Shahrukh Khan

Apa sih makna lagu tersebut?

Lagu tersebut mengisahkan makna hidup seseorang yang berjalan di bawah bayangan cinta.

Menurut hasil diskusi penulis dengan Sdri. Ayu (Mamanya Rasa dan Gayatri), kira-kira makna lagu Chaiya-Chaiya (Chhaiya Chhaiya) tersebut adalah seperti di bawah ini…

jinke sar ho ishq ki chhaanv
(those who have all-encompassing shadow of love over their head…)
paanv ke neeche jannat hogi
(heavens will be below their feet)

Saat kita memiliki perasaan mencintai dan perasaan dicintai, walaupun kita berada dalam kondisi/realitas yang sangat sulit, perasaan cinta tersebut akan meneduhi kita, bagaikan payung di tengah terik panas matahari. Perasaan mencintai dan dicintai adalah bagaikan payung, yang membuat kita merasa nyaman (seperti menginjakkan kaki di surga).  

sar ishq ki chhaanv chal chhaiyaan chhaiyaan
(your head is covered by the shadow of love, walk underneath this shadow)
paanv jannat chale chal chhaiyaan chhaiyaan
 (you will feel as if your feet are walking on the land of heaven, walk underneath this shadow)

Di bawah bayangan payung-cinta (bayangkan ukuran payung-cinta adalah puluhan kali lebih besar daripada payung yang biasa kita gunakan atau payung yang biasa ditawarkan oleh petugas ojek payung…),  langkah/perjalanan kita dalam mengarungi kehidupan ini, akan terasa seperti di surga.

Jangankan di surga…, bayangkan saat di siang hari (di tengah terik matahari) kita berada di bawah pohon beringin; atau di bawah atap kendaraan/bus ber-AC; rasanya sudah nyaman sekali. Nah... apalagi seperti  di surga.

Coba, bagaimana tuh rasanya…??

Ada penjelasan, mengapa perasaan cinta yang kita miliki, membuat kita merasakan teduh dan nyaman. Keteduhan adalah istilah yang kita gunakan untuk mewakili perasaan nyaman, saat kita berada di tengah kondisi yang panas. Saat kondisi demikian panasnya, kita membutuhkan tempat berteduh, entah di bawah pohon, di halte, di rumah, di warung, di tenda, atau di bawah payung…

Atap/payung yang meneduhi kita adalah lapisan yang melindungi kita dari panas yang sedemikian terik. Semakin luas, semakin tebal, dan semakin tinggi letak lapisan tersebut, maka akan semakin terasa nyaman kondisi kita yang sedang berteduh di bawahnya. Lapisan tersebut sangat cocok sebagai analogi perasaan cinta yang ada pada kita. Perasaan cinta tersebut adalah payung/atap/lapisan alami, yang melindungi kita dari teriknya berbagai permasalahan yang ada. Payung cinta sulit dilihat, namun dapat dirasakan.

Untuk dapat mengkonkretkan kualitas cinta yang kita miliki, mungkin analogi payung dalam chaiya-chaiya adalah sangat cocok.

Sehubungan dengan kualitas keteduhan payung, penulis mengajukan hipotesis sederhana, bahwa agar payung/atap dirasakan teduh dan nyaman, setidak ada tiga karakteristik yang perlu dipertimbangkan: (a) luas/sempitnya payung/atap, (b) ketebalan payung/atap, (c) jarak dari payung ke objek yang dipayungi. Ketiga karakteristik tersebut sangat dekat kaitannya dengan kualitas cinta.

Karakterstik pertama, luas/sempitnya payung/atap. Luas/sempitnya payung/atap, dapat dianalogikan dengan jangkauan perasaan mencintai dan dicintai yang kita miliki. Semakin luas jangkauan perasaan mencintai dan dicintai yang kita miliki, semakin mudah kita berhubungan dengan banyak orang lain. Dengan berbagai kemudahan yang kita peroleh dari banyak orang, kemungkinan “panas teriknya” masalah kehidupan ini akan lebih teratasi (terasa teduh). Bayangkan kalau kita hanya mencintai dan dicintai oleh orang-orang tertentu?

Karakterstik ke dua, ketebalan payung/atap. Ketebalan lapisan payung/atap, ibarat kedalaman perasaan cinta yang kita miliki. Perasaan cinta yang kita miliki, memiliki rentang ketebalan mulai dari hal-hal yang bersifat permukaan (berdasarkan penampilan) atau hingga pada hal-hal yang bersifat mendalam (berdasarkan sifat/kepribadian). Semakin tebal/mendalam perasaan cinta yang kita miliki, artinya semakin tebal lapisan payung/atap yang memayungi kita. Cinta yang tebal berarti perasaan cinta kita tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat permukaan, tetapi juga pada hal-hal yang bersifat mendalam/kepribadian. Masalah dalam kehidupan, muncul pada saat cinta yang kita miliki hanya bersifat permukaan (objek cinta adalah tingkah laku yang tampak, fisik, atau penampilan); ibaratnya, lapisan atap/payung yang melindungi kita adalah tipis dan mudah sobek. Sebaliknya, saat lapisan atap/payung yang melindungi kita tebal dan tidak mudah sobek, maka terik di siang hari sulit menembus payung/atap yang melindungi kita; kondisi ini membuat kita merasa tetap terlindungi, teduh, dan nyaman.

Karakterstik ke tiga, jarak lapisan payung/atap ke objek yang dilindungi. Karakteristik ketiga ini adalah anologi kebebasan yang kita-berikan-kepada dan yang kita-dapatkan-dari orang-orang yang mencintai dan dicintai oleh kita. Semakin jauh jarak payung/atap ke objek, maka semakin besar kebebasan yang kita-berikan-kepada dan yang kita-dapatkan-dari orang-orang yang mencintai dan dicintai oleh kita. Atap yang jaraknya jauh/tinggi, akan lebih memberikan kesejukan daripada atap yang jaraknya dekat/pendek. Atap yang jaraknya jauh/tinggi memberikan kesempatan kepada berbagai hal (udara, tanah, dll.) di bawahnya menjadi sejuk. Kesejukan hawa di rumah/gedung jaman dahulu (seperti di musem Fatahillah), walaupun suasana di luar gedung sangat terik, adalah contoh nyata yang langsung bisa kita rasakan.  Besarnya kebebasan yang kita-berikan-kepada dan yang kita-dapatkan-dari orang-orang yang mencintai dan dicintai oleh kita, membuat kita tetap memberikan (support) ruang gerak baik kepada diri sendiri maupun orang lain untuk berkreasi. Karakteristik payung/atap yang seperti ini membuat kita senantiasa merasa teduh dan sejuk.

Seberapa luas jangkauan, ketebalan, dan kebebasan rasa cinta yang kita terima/berikan?
=
Seberapa teduh, sejuk, dan nyaman kita berjalan di bawah bayangan cinta?


Salam Kasih selalu :)

====

Reference (Acuan):