Friday, December 30, 2011

08. Selesai / Tidak Selesai, Kumpulkan !!!


Untuk menciptakan persatuan, diperlukan persepsi yang sama antara diri kita dan orang lain. Ada dua pilihan untuk menciptakan persepsi yang sama, yaitu: (a) kita memahami gagasan/ide orang lain atau (b) kita meyakinkan orang lain untuk memahami ide/gagasan kita.

Pertanyaan: mana yang lebih sulit, memahami gagasan orang lain, atau meyakinkan orang lain tentang gagasan kita?

Kedua kegiatan tersebut jelas membutuhkan kekuatan/power. Nah… permasalahannya bukan mana yang lebih sulit, tetapi menjadi mana yang lebih banyak membutuhkan kekuatan/power?

Kekuatan/power yang dibutuhkan untuk kedua kegiatan di atas, dapat diibaratkan dengan metafor seberapa banyak energi yang kita butuhkan untuk mendidihkan sejumlah air (a) dalam ukuran 1 liter dan (b) dalam ukuran 2 liter.

Energi yang dibutuhkan untuk mendidihkan air dalam ukuran 2 liter, tentu lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk mendidihkan air dalam ukuran 1 liter. (asumsi: suhu dan tekanan udara sama lho ya…)

Sehubungan dengan kegiatan memahami gagasan orang lain dan kegiatan meyakinkan orang lain; kegiatan mana yang analog dengan air dalam ukuran 2 liter, dan kegiatan mana yang analog dengan air dalam ukuran 1 liter?

Penulis berpikir bahwa kegiatan meyakinkan orang lain, analog dengan air dalam ukuran 2 liter. Artinya, kegiatan meyakinkan orang lain membutuhkan energi yang lebih besar daripada kegiatan memahami gagasan orang lain.

Gambaran perbedaan antara kedua kegiatan tersebut dijabarkan dalam tabel di bawah ini.

Perbedaan
Jenis Kegiatan
Memahami Gagasan
Orang Lain
Meyakinkan Orang Lain
tentang suatu Gagasan
Jumlah energi untuk menjelaskan.
Untuk memahami gagasan orang lain, tidak perlu banyak energi untuk menjelaskan/berbicara.

hehehe… kalau banyak bicara malah kita akan kesulitan untuk memahami gagasan orang lain.
Untuk meyakinkan orang lain, terkadang kita memerlukan lebih banyak energi, setidaknya untuk menjelaskan secara lisan (bicara) atau secara tulisan
Jumlah energi untuk mencari/
menjadi  contoh.
Dalam memahami gagasan orang lain, kita tidak perlu sibuk/sulit mencari contoh; untuk memahami gagasan orang lain, kita cukup memintanya kepada orang lain.
Dalam usaha meyakinkan orang lain mengenai suatu gagasan, tidak jarang kita membutuhkan contoh; kita sibuk mencari atau bahkan berusaha menjadi contoh konkret melalui perbuatan/karya nyata.
Letak/jarak objek yang menjadi sasaran energi
Saat kita berusaha memahami gagasan orang lain, objek yang menjadi sasaran energi terletak di dalam diri, yaitu pikiran kita sendiri.

Dengan demikian jaraknya sangat dekat. Tentu, energi yang dibutuhkan untuk mencapai letak objek yang sangat dekat tersebut, akan lebih sedikit.
Saat kita berusaha meyakinkan orang lain tentang suatu gagasan, objek yang menjadi sasaran energi terletak di luar diri kita, yaitu pikiran orang lain.

Dengan demikian jaraknya lebih jauh. Energi yang dibutuhkan untuk mencapai letak objek yang lebih jauh, tentu lebih banyak.
Waktu untuk mempersiapkan diri
Idealnya untuk memahami orang lain kita membutuhkan persiapan (misalnya mempelajari latar belakang, dll.)

Namun dalam kenyataan, sering kali untuk memahami gagasan orang lain, tidak banyak waktu yang diluangkan untuk persiapan.

Memahami gagasan orang lain, dapat dilakukan secara spontan, dalam  waktu yang singkat.
Untuk menyakinkan orang lain dengan baik, kita perlu mempersiapkan diri. Persiapan diri yang baik, tidak dapat dilakukan secara mendadak/spontan dalam waktu yang singkat lho

Meyakinkan diri sendiri saja membutuhkan cukup waktu, apalagi meyakinkan orang lain…hehe…

(ada prinsip bahwa orang lain akan yakin, jika kita sendiri sudah yakin) – hehe…lama toh prosesnya….

Berdasarkan tabel di atas, tampak jelas bahwa memahami gagasan orang lain lebih mudah daripada meyakinkan orang lain tentang suatu gagasan. Walaupun lebih mudah, memang tetap dibutuhkan usaha/energi…

Tipsnya begini saja…Seperti prinsip dalam mengerjakan ujian, kerjakan dahulu yang lebih mudah, baru kerjakan yang lebih sulit. Manfaatkan waktu secara lebih efisien; kegiatan meyakinkan orang lain (yang bersifat lebih sulit), lebih baik dikerjakan setelah kita sudah menyelesaikan kegiatan memahami gagasan orang lain (yang bersifat lebih mudah). Karena apa?

Karena…, selesai tidak selesai, kumpulkan !!!

Monday, November 7, 2011

09 & 12. Yang Galak yang TAKUT Berubah


Kemampuan untuk berubah memerlukan keberanian!

Apa maksudnya keberanian?

Keberanian atau Berani seringkali diidentikkan sebagai kondisi saat individu menampilkan sikap galak/agresif/terus-terang. Namun, kalau dipikir-pikir, kok agak kebalik ya... Sepertinya kok tidak cocok jika kita mengidentikkan keberanian dengan sifat galak atau agresif.

Saya lebih setuju jika berani diidentikkan dengan kemampuan menghadapi situasi dalam keadaan tenang.

Saat kita memiliki keberanian, dalam keadaan yang sulit, menantang, atau bayangkan saja kita dalam medan pertempuran, kita akan cenderung diliputi oleh ketenangan. Semakin banyak keberanian dalam diri kita, maka semakin tenang kita menghadapi kondisi yang sulit dan menantang.

Bandingkan dengan saat kita kurang memiliki keberanian. Bagaimana reaksi kita? Belum sampai di medan pertempuran (situasi yang sulit), kita sudah diliputi kegelisahan, keluhan, atau ekspresi-ekspresi, yang pada dasarnya menandakan kita takut atau merasa kurang mampu menghadapi situasi sulit dalam keadaan tenang.

Jadi, mana yang identik dengan berani: yang berlaku tenang atau yang berlaku galak?

Situasi sulit/negatif yang  kita hadapi dengan keberanian, akan membawa perubahan ke arah yang positif (perubahan dari area/bilangan negatif menuju area/bilangan positif).

Jadilah BERANI,
berani bukan berarti galak,
BERANI berarti mampu menghadapi situasi sulit/negatif dalam keadaan tenang J

Dengan keberanian, situasi sulit/negatif akan berubah menjadi positif J

Sunday, November 6, 2011

11. Hakim yang Cerdas


Hakim adalah sosok yang memiliki kecerdasan dalam menilai. Demikian pula kita, kita memiliki kecerdasan dalam menilai. Oleh karena itu, kemungkinan besar kadang kita berfungsi sebagai hakim. Hakim bagi siapa? Hakim bagi diri kita sendiri tentunya.

Sebagai hakim, umumnya objek  yang dinilai adalah perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Namun, ada kalanya dalam kasus pencemaran nama baik, yang dinilai juga kata-kata dari terdakwa. Apakah ada objek lain selain perbuatan dan kata-kata?

Jawabannya ada, yaitu buah pikiran atau sering dioperasionalisasikan sebagai niat/intensi/itikad.

Objek yang jarang dinilai oleh hakim adalah buah pikiran. Bisa karena sulit, bisa juga karena luput. Kita anggap saja jarang dinilai, karena memang sulit, sulit memvalidasi penilaian terhadap buah pikiran. Jangankan validasi penilaian buah pikiran, validasi penilaian kata-kata dan perbuatan saja sangat sulit dilakukan.   

Walaupun sulit, bagaimanapun kita kadang tetap harus menilai, dan yang paling penting mengambil keputusan berdasarkan hasil penilaian....

Untuk meningkatkan kecerdasan dalam melakukan penilaian, agar tidak salah mengambil keputusan, penulis mengajukan empat kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh kita saat melakukan penilaian, yaitu:

(a) Penilai dalam keadaan tenang/hening pada detik2, menit2, jam2, hari2, atau minggu2 menjelang keputusan diambil;
(b) Penilai bebas dari keinginan yang bersifat pribadi;
(c) Seberapa besar objek penilaian (buah pikiran, kata-kata, atau perbuatan) yang akan dinilai, memiliki muatan/nilai tanggung-jawab;
(d) Seberapa besar objek penilaian (buah pikiran, kata-kata, atau perbuatan) yang akan dinilai, memiliki muatan/nilai cinta-kasih.

Jika keempat kriteria tersebut sudah dipertimbangkan, boleh diperkirakan hasil penilaian dan keputusan yang diambil berdasarkan penilaian tersebut, adalah benar...

Selamat menjadi Hakim, selamat melakukan penilaian… J

Saturday, September 3, 2011

11. Mengapa kita sulit untuk melupakan…?

Saat kita memikirkan suatu hal yang merugikan secara terus menerus, atau ketika kita berpikir tentang suatu hal (yang merugikan) lagi dan lagi, maka kita telah terjebak dalam rasa sakit, penyesalan, atau ketidakbahagiaan.

Apakah kita ingin benar-benar terbebas dari rasa sakit? Orang normal, pada umumnya, menginginkan kebebasan dari rasa sakit atau sembuh dari luka (luka psikologis). Ada lho… orang-orang tertentu, justru mencari dan menikmati rasa sakit…wadoo

Bagi kita yang ingin benar-benar terbebas dari rasa sakit, boleh mencoba resep berpikir (yang sederhana). Ketika kita bisa berpikir (yang sederhana), maka kita bisa bebas dari rasa sakit atau bebas dari luka (psikologis).

Bagaimana caranya berpikir (yang sederhana)?

Caranya…, ya…. berpikir (yang sederhana). Orang awam umumnya mengatakan, untuk bebas dari rasa sakit, kita harus melupakan peristiwa/pengalaman yang merugikan/menyakitkan tersebut. Namun demikian, setelah kita coba untuk melupakan, ternyata sangat sulit. Mengapa?

Mengapa kita sulit untuk melupakan? Pada hakikatnya, tugas pikiran adalah untuk berpikir. Pikiran adalah ibarat mesin yang patuh terhadap tugasnya, yaitu “berpikir”. Oleh karena itu pikiran kita akan bersifat aktif, aktif, dan aktif; bahkan pada saat tidur, pikiran kita aktif (kita sebut sebagai mimpi).

Dengan demikian, akan sangat sulit bagi pikiran, jika kita memintanya untuk berhenti mengingat (melupakan) suatu kejadian. Bukannya lupa, malah justru semakin diingat…hehehe…(hukum paradoks berlaku di sini)

Untuk melupakan sesuatu, kita perlu memberi tugas (yang sederhana) kepada pikiran. Hanya dengan cara memberikan tugas (yang sederhana) kepada pikiran, peristiwa/pengalaman yang merugikan/menyakitkan dapat kita lupakan. Tugas (yang sederhana) kepada pikiran, bisa dalam bentuk bacaan spiritual, memaknai lagu spiritual, menonton film spiritual, atau melakukan apapun, yang pada prinsipnya spiritual.

Lhoo kok spiritual???

Percaya tidak percaya… seharusnya percaya…ya sudah percaya saja… bahwa sesuatu yang bersifat spiritual membuat kita menemukan esensi/inti rahasia kehidupan. Penemuan esensi/inti kehidupan membuat kita dapat memahami setiap peristiwa (yang menyenangkan, yang merugikan, yang menyakitkan, yang membahagiakan, dll.). Spiritualitas merujuk pada akhir kehidupan, pada sesuatu yang bersifat tidak material, pada makna/nilai-nilai universal, yang ada sejak kita (manusia) turun ke bumi. (tahun berapa tuhh???)

Dengan memberi tugas (yang sederhana) kepada pikiran (berupa bacaan spiritual, memaknai lagu spiritual, menonton film spiritual, atau melakukan wisata spiritual), kita bisa mengambil manfaat dari peristiwa/pengalaman dari masa lalu, tanpa merasa sakit. Peristiwa/pengalaman masa lalu justru akan membuat kita merasa kaya; membuat kita merasa bahwa suatu saat dibutuhkan, kita bisa sharing tentang pengalaman yang berharga kepada orang lain.

Dengan tugas (yang sederhana), pikiran kita menjadi LUPA…. (lupa tanpa disadari…)

Sunday, August 21, 2011

04. Orang yang Fokus = Orang yang Puas

Arti kepuasan, erat kaitannya dengan BERHENTI berpikir mengenai hal lain; atau, saat kita ada berpikir mengenai hal lain, berarti ada unsur/cikal-bakal pikiran kita untuk menjadi tidak puas.
Namun bagaimana prosesnya, mana yang lebih dahulu?
1.       Puas dahulu, lalu berhenti berpikir mengenai hal lain; atau…
2.       Berhenti berpikir mengenai hal lain, lalu puas.
Kalau kita memilih alternatif yang pertama, sepertinya kok kemungkinan pemahamannya menjadi agak abstrak dan sulit. Mengapa abstrak dan sulit? Jawabannya karena definisi waktu untuk menjadi "puas dahulu" tidak/kurang jelas. Artinya, kita menjadi bertanya, kapan persisnya kita akan tiba pada kondisi "puas dahulu"; apakah hari ini, esok hari, esok lusa, minggu depan, atau kapan?  Semakin kurang terdefinisi, semakin sulit prosesnya; semakin lebih terdefinisi, semakin mudah prosesnya.
Lalu, bagaimana dengan alternatif kedua?
Alternatif kedua, yaitu berhenti berpikir mengenai hal lain, ...lalu kita menjadi puas. Bagaimana logikanya? (Penulis mencoba menjawab berdasarkan logika penulis lho ya…)
Logikanya kurang lebih seperti ini…. Pada saat kita berhenti berpikir mengenai hal/alternatif lain, artinya ya berhenti…. berhenti…stop…kita hanya fokus pada satu pilihan. Fokus pada satu pilihan, memungkinkan kita melihat keistimewaan sekaligus kekurangan yang ada pada pilihan yang dimaksud. Individu pada umumnya, akan membuat perbandingan di antara berbagai keistimewaan dan berbagai kekurangan yang dijumpainya. Penulis percaya, saat tidak terpikir alternatif lain, maka akal sehat kita atau kita sebagai individu yang bijak, cenderung memenangkan berbagai keistimewaan yang ada dibandingkan dengan berbagai kekurangan yang ada dalam pikiran kita…  Bahkan, kita berpikir bahwa satu pilihan yang ada di hadapan kita, sungguh sangat istimewa, tidak ada kekurangan, tidak ada tandingan, bahkan tidak ada penggantinya… hehehe…
Mau contoh?
1.    Puas terhadap orang. Berapa banyak orang jatuh cinta kepada seseorang, karena hampir setiap hari, ia hanya menjumpai seseorang tersebut… :) artinya, seseorang tersebut merupakan satu-satunya pilihan/alternatif… yang sering dijumpainya… (ingat…! satu-satunya pilihan, artinya benar-benar tidak ada alternatif lain lho ya…). Tidak ada alternatif (berhenti/tidak berpikir alternatif lain) membuat kita puas.
2.    Puas terhadap lingkungan fisik. Hal ini khususnya terjadi terhadap kamar tidur pribadi kita. Saat kita diminta berpikir mengenai tempat yang paling nyaman, mungkin sebagian (besar) dari kita akan menjawabnya kamar tidur. Ya, kamar tidur khususnya kamar tidur pribadi… mengapa kamar tidur? Karena selama bertahun-tahun, fokus kita pada tempat beristirahat… ya hanya pada yang satu itu, kamar tidur pribadi. Bandingkan dengan diri kita sendiri, saat kita sudah mengenal berbagai tempat untuk beristiharat; mungkin (mungkin lho ya), kita akan membanding-bandingkan tingkat kepuasan tidur di kamar tidur pribadi dan tidur di tempat lain. Saat tidak ada alternatif (berhenti/tidak berpikir alternatif lain) membuat kita puas tidur di kamar pribadi.
3.    Puas terhadap benda. Ok… benda yang dimaksud di sini, adalah benda yang menjadi fokus perhatian kita; satu-satunya fokus perhatian kita. Suatu benda, menjadi fokus perhatian kita, selain karena benda tersebut punya nilai/makna historis, ya karena benda tersebut , pada jamannya, tidak ada pembandingnya (hanya satu-satunya yang ada pada kita). Saat suatu benda bersifat hanya satu, atau pada saat itu kita hanya memiliki satu-satunya benda tertentu, kemungkinkan besar benda tersebut akan masuk dalam alam bawah sadar (wuss… sudah seperti pakar psikoanalis aja neeh…), dan punya nilai/makna historis. Benda tersebut menjadi fokus kita dan tidak ada banda lain yang dapat menjadi pembandingnya. Sebutlah benda tersebut adalah boneka... Boneka yang sering atau terus menerus kita mainkan, mulai dari masa kecil kita, boleh jadi menjadi teman tidur yang paling setia dan membuat tidur kita pu(l)as… apakah masing-masing kita pernah mengalami hal yang serupa?
Kembali kepada permasalahan, mengapa kita puas terhadap boneka, kamar tidur, dan kepada orang tertentu? Ya karena, pada saat itu, boneka, kamar tidur, dan orang tertentu bersifat hanya satu, tidak ada pembanding. (kita berhenti berpikir mengenai hal lain/pembanding)
Jadi kembali pada pilihan alternatif kedua, kondisi tidak ada pembanding (berhenti berpikir mengenai hal lain dahulu)… membuat kita menjadi puas…
Fenomena ini terjadi juga pada saat seorang pegawai ingin berhenti/tetap bekerja di suatu instansi…saat tidak ada pembanding, timbulah kecenderungan untuk suka/puas/jatuh cinta… saat puas, timbulah pikiran untuk tetap bekerja di suatu instansi. Saat ada pembanding, mulailah timbul potensi ketidakpuasan, yang berujung pada pikiran untuk pindah kerja.
Sekalipun sudah mendapatkan pekerjaan yang baik, saat melihat bahwa ada peluang/alternatif pekerjaan lain (yang dikira lebih baik), maka sedikit-banyak timbul niat dalam diri individu untuk meninggalkan pekerjaannya saat ini.

Seperti yang dinyatakan oleh Cakmak, Hocevar, dan Kocher (2004) dalam hasil penelitian mengenai fenomena yang terjadi pada marinir. Pekerjaan sebagai marinir sebenarnya merupakan salah satu pekerjaan yang menjanjikan (pekerjaan yang baik, bahkan terbaik). Namun, saat seorang marinir melihat bahwa ada peluang/alternatif pekerjaan lain sebagai pegawai negeri sipil, maka ia tergoda untuk resign.
Di lain pihak, intensi untuk meninggalkan pekerjaan sebagai marinir, kecil kemungkinannya terjadi pada individu yang puas, puas terhadap berbagai aspek pekerjaannya saat ini (Cakmak et al., 2004).

Menurut penulis, marinir yang fokus pada satu pilihan (yang ada pada saat ini), mampu melihat jauh ke depan bahwa banyak keistimewaan yang telah dan akan ia dapatkan dari pekerjaannya saat ini. Kemampuan melihat keistimewaan yang telah dan akan ia dapatkan, membuatnya merasa puas, dan pada akhirnya membuat ia cenderung ingin bertahan/tetap bekerja sebagai marinir.
Refleksi: Apakah kita bisa fokus pada pekerjaan saat ini, sehingga kita mampu melihat keistimewaan yang telah dan akan kita dapatkan?
Penampakan/penglihatan mengenai keistimewaan yang telah dan akan kita dapatkan, membuat kita puas…

Berhenti Berpikir Mengenai Hal Lain --> Fokus --> Mampu Melihat --> Puas --> Setia
Sumber Pustaka:
Cakmak, Y. , Hocevar, S. P., & Kocher, K. M. (2004). The value of the 1999 USMC retention survey in explaining the factors that influence marines’ subsequent stay/leave behavior. Naval Postgraduate School, Monterey, California.

Wednesday, August 17, 2011

66. Manfaat "Kita" untuk ke-Merdeka-an

Tujuh belas agustus tahun empat lima…
Itulah hari kemerdekaan kita… (weitstop dulu)

Di situ ada kata “kita”…

Mengapa di blog ini, penulis sepertinya banyak menggunakan kata “kita”?

Pada hari ulang tahun Indonesia yang ke 66 ini, tampaknya merupakan saat yang paling tepat untuk mengungkapkannya…(Enam = 6 = Cooperation; 66 = Double Cooperation; atau 66 = Kerjasama yang Sangat Baik)

Kita…
Sipil dan Militer
Tua dan Muda
Murid dan Guru
Orang Tua dan Anak
Laki-laki dan Perempuan
Buruh dan Majikan
Rakyat dan Pemerintah
Supir dan Penumpang
Mahasiswa dan Dosen
… dan …
… dan …
… dan …

Kita…
adalah kata yang mewakili kondisi, dimana terdapat dua (atau lebih) unsur yang bekerjasama
Saat dua (atau lebih) unsur tersebut bekerja sama, maka akan menjadi
Kita…

Untuk mengungkapkan ke-kita-an, sebenarnya banyak sumber yang dapat menjadi bahan acuan bagi kita; namun untuk kemudahan bagi penulis, kita ambil saja contoh dari militer, yang tampak sering menerapkan nilai kerjasama (cooperation).

Tentara adalah contoh nyata dari para jiwa yang mampu menerapkan nilai kerjasama. Lihat saja bagaimana tentara membersihkan lingkungannya, bagaimana tentara mendirikan basecamp, bagaimana tentara membangun sarana/prasarana, bagaimana tentara merencanakan latihan gabungan, bagaimana tentara mempersiapkan dapur umum, bagaimana tentara menuntaskan operasi militer, bagaimana tentara membebaskan gedung/pesawat/kapal yang sedang dibajak, atau bagaimana tentara menolong korban bencana alam; semuanya dilakukan dengan nilai kerjasama.  

Nilai kerjasama adalah sumber dan akibat dari kondisi “kita”. Dengan sering-sering bekerjasama, kita mampu membentuk kondisi “kita” yang sungguh-sungguh, bukan yang pura-pura. Selanjutnya, kondisi “kita” yang ada saat ini, adalah modal (yang sangat bernilai) untuk mencapai impian/tujuan kita di masa mendatang.

Kondisi “kita” adalah ciri utama dari social resilience.

Apa sih yang dimaksud dengan social resilience?

Dalam artikelnya, Cacioppo, Reis, dan Zautra (2011) memperkenalkan konsep social resilience. Menurut Cacioppo et al. (2011), konsep social resilience terbentuk pada saat individu berkenan mempersepsi perannya sebagai bagian dari tim/kelompok, dan mengubah konsep “saya” menjadi “kita”.

Lebih lanjut Cacioppo et al. menjelaskan social resilience sebagai berikut:

“…social resilience is the capacity to foster, engage in, and sustain positive relationships and to endure and recover from life stressors…  social resilience emphasizes the role of connections with other individuals, groups, and large collectives… What is unique about social resilience is an appreciation for the key contributions to human welfare of coordinated social activity and feelings of connectedness and “we-ness.” (Cacioppo et al., 2011, p. 44)

Berdasarkan kutipan di atas, konsep “kita” banyak manfaatnya, atau tidak ada ruginya untuk diterapkan. Banyak manfaat, terutama untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan (life stressors) dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia (human welfare).

Dalam kehidupan militer (di negara/budaya yang menganut faham individualis sekalipun), para tentara diajarkan untuk senantiasa mampu menerapkan nilai kebersamaan. Nilai kebersamaan seolah-olah menjadi sistem/aturan di dalam kehidupan militer.

Bagaimana dengan kehidupan di luar militer? Apakah masih dimungkinkan untuk menerapkan nilai kebersamaan?  Jawabannya masih…, namun ada tantangan.

Cacioppo et al. menyatakan bahwa hambatan untuk mewujudkan kebersamaan, ke-kita-an, atau konsep social resilience adalah cara pandang kita terhadap orang lain; seperti yang terkutip dalam artikelnya sebagai berikut: “…one obstacle to social resilience is viewing others as different from oneself and, therefore, as outgroup members who represent a threat rather than a resource...” (p. 49)

Berdasarkan kutipan tersebut, jelas hambatannya bukan pada kondisi di luar diri kita atau pada orang lain, tetapi hambatannya sangat dekat dengan kita, bahkan di dalam diri kita, yaitu pikiran kita sendiri yang mempersepsi/memandang bahwa orang lain memiliki sifat-sifat/tujuan/karakter yang berbeda dengan kita, serta memandang bahwa orang lain adalah ancaman, bukan sumber manfaat.

Lalu bagaimana solusinya?

Solusinya...adalah dengan mengajukan pertanyaan

Pertanyaannya adalah: Bagaimana, agar kita bisa mengubah setiap pandangan yang bersifat ancaman menjadi pandangan yang bersifat manfaat

Bagaimana caranya… ?

Caranya ya dengan bertanya…

Contoh pertanyaan:

Bagaimana saya sebagai Orang yang lebih Tua, bermanfaat bagi Orang yang lebih Muda?
Bagaimana saya sebagai Orang yang lebih Muda, bermanfaat bagi Orang yang lebih Tua?

Bagaimana saya sebagai Supir bermanfaat bagi Penumpang?
Bagaimana saya sebagai Penumpang bermanfaat bagi Supir?

Bagaimana saya sebagai Mahasiswa bermanfaat bagi Dosen?
Bagaimana saya sebagai Dosen bermanfaat bagi Mahasiswa?

Bagaimana saya sebagai Murid bermanfaat bagi Guru?
Bagaimana saya sebagai Guru bermanfaat bagi Murid?

Bagaimana saya sebagai Sipil bermanfaat bagi Militer?
Bagaimana saya sebagai Militer bermanfaat bagi Sipil?

Bagaimana saya sebagai Orang Tua bermanfaat bagi Anak?
Bagaimana saya sebagai Anak bermanfaat bagi Orang Tua?

Bagaimana saya sebagai Laki-laki bermanfaat bagi Perempuan?
Bagaimana saya sebagai Perempuan bermanfaat bagi Laki-laki?

Bagaimana saya sebagai Buruh bermanfaat bagi Majikan?
Bagaimana saya sebagai Majikan bermanfaat bagi Buruh?

Bagaimana saya sebagai Rakyat bermanfaat bagi Pemerintah?
Bagaimana saya sebagai Pemerintah bermanfaat bagi Rakyat?

dst.

Ingat…
Bagaimana saya sebagai … bermanfaat bagi…


Sumber Pustaka:
Cacioppo, J. T., Reis, H. T., & Zautra, A. J. (2011). Social resilience. The value of social fitness with an application to the military. American Psychologist, 66(1), 43–51.


Yuk kita lanjutkan nyanyian Hari Merdeka (Cipt: H. Mutahar)


Tujuh belas agustus tahun empat lima…
Itulah hari kemerdekaan kita… (lanjutkan…)

Hari merdeka.., nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia…
Mer…de…ka…

Sekali merdeka tetap merdeka…
Selama hayat masih di kandung badan…

Kita tetap… setia…tetap... sedia…
Mempertahankan Indonesia

Kita tetap… setia…tetap... sedia…
Membela negara kita

Wednesday, August 10, 2011

07. Sengaja Berolahraga Yuk... 7 Meniiit Saja…

Bagi para prajurit, manfaat/fungsi/nilai terpenting dari latihan fisik  adalah untuk kesehatan. Sedangkan karakter psikologis lainnya, bersifat secondary. Seperti yang tertera dalam artikel hasil penelitian Achilles dan Achilles (1917, p. 311).
A major to whom thousands of officers are indebted for their conception of the value of physical training places Health first, and the other qualities as follows: (09) Integrity, (11) Judgment, (06) Organizing Ability, (07) Initiative, (07) Perseverance, (11) Appearance, (09) Aggressiveness, (06) Cooperativeness, (07) Competitiveness, (01) Refinement, (04) Control of Emotions, (01) Open-mindedness, and (04) Sense of Humor.
Berdasarkan manfaat/nilai dari latihan fisik adalah sesuatu yang bersifat fisik (kesehatan fisik), setidaknya ada empat poin yang menarik untuk kita diskusikan/perbincangkan, yaitu:
1.    Pertanyaan untuk peneliti (kepada yang terhormat Achilles & Achilles): Mengapa pada pengukuran (alat ukur) berbagai kualitas karakter keprajuritan, lebih banyak item yang bersifat psikologis daripada yang bersifat fisik?
·         yang bersifat fisik hanya berjumlah dua, yaitu: (a) kesehatan/health (bodily vigor, good sight, hearing, etc.), dan (b) penampilan/appearance (well groomed appearance, good carriage, pleasing facial expression, voice, etc.);
·         sedangkan yang bersifat non-fisik/psikologis, berjumlah 12 à waduhhh… 12 bo’…. seperti jumlah nilai dalam konsep living values J
2.    Dari sekian banyak item pada alat ukur kualitas karakter keprajuritan, mengapa para prajurit lebih merespons dan memberikan ranking paling utama pada aspek fisik (health/kesehatan fisik) dibandingkan dengan aspek/karakter yang bersifat psikologis?
3.    Apakah para prajurit menyadari bahwa kondisi-kondisi yang mengawali (yang menjadi antecedent) dari latihan fisik, bersifat psikologis (seperti motivasi/semangat, inisiatif, kepatuhan, dll.)?
4.    Apakah para prajurit menyadari bahwa kondisi kesehatan fisik di medan tempur boleh jadi sama kuat, tapi ingat…. pada saat itu, kemungkinan besar aspek yang lebih berperan adalah faktor psikologis (responsibility, brave, control of emotion, cooperativeness, dll.)?
Apapun jawaban dari poin diskusi di atas, aspek fisik memang tidak boleh kita abaikan/lupakan. Bagaimanapun…, ada benarnya juga tuh pandapat para prajurit, bahwa aspek paling penting adalah aspek fisik.  
Walaupun lebih banyak aspek psikologis yang berperan, walaupun kita adalah makhluk spiritual (jiwa/psyche) yang tinggal di bumi, tanpa fisik yang sehat, mungkin akan sulit juga kita…
Apakah kita sudah berolahraga hari ini? 7 meniiit saja… J

Sumber Pustaka:
Achilles, P. S., & Achilles, E. M. (1917). Estimates of the military value of certain character qualities. The Journal of Applied Psychology, 4(1), 305-316.

07. Kursus Mengemudi Pikiran (GRATIS bagi peserta yang mendaftar pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya hingga terakhir)

Kita dapat menyadari apakah kita sedang mengendalikan pikiran atau pikiran yang sedang mengendalikan kita. Tandanya gampang saja, yaitu dengan memeriksa buah-buah pikiran yang ada pada benak kita “pada detik ini”. Contoh beberapa buah pikiran, yang ada pada kondisi saat kita sedang mengendalikan pikiran, misalnya: “Saya adalah sosok yang sangat beruntung”, “Saya mampu mengendalikan keinginan/tubuh ini”, “Saya berguna bagi orang lain”, “Saya dapat mengambil manfaat/hikmah/nilai/makna dari setiap moment yang saya alami”, “Orang lain pada dasarnya baik dan selalu dapat menjadi baik”, atau “Hari ini saya sudah/akan menyelesaikan tugas …, …., ….”, dst.
Mudah-mudahan kita cukup sepaham mengenai efek dari kondisi bahwa kita sedang mengendalikan pikiran…
Mengendalikan pikiran artinya kita berpikir atas program (kata/kalimat/syntax) yang sengaja kita susun dan sengaja kita jalankan. Dengan kata lain, kondisi bahwa kita sedang mengendalikan pikiran, adalah sama dengan kondisi bahwa kita sedang memprogram benak/pikiran kita dengan kata/kalimat/syntax yang lembut, manis, namun berani, jujur, dan penuh kekuatan.  
Lalu, apa efeknya?
Efek bagi diri sendiri. Saat kita memprogramkan/menjalankan kata/kalimat/syntax seperti di atas, pada benak kita, maka kita telah membuat persepsi tentang diri menjadi lebih positif; atau bahwa kita berhasil mengubah persepsi negatif menjadi persepsi positif. (persepsi positif terhadap diri sendiri akan lebih stabil jika dilakukan secara berulang dengan konsisten)
Persepsi yang positif membuat kita menjadi “waspada/alert/sadar” secara psikologis, dan membuat kita mampu mempercayai bahwa diri kita adalah sosok yang memiliki sifat-sifat istimewa; kita umumnya menyebut kondisi ini, sebagai kondisi percaya diri. Sebaliknya, kita menyebut kondisi kurang percaya diri, saat kita tidak percaya bahwa kita bukanlah siapa-siapa, yang tidak memiliki sifat-sifat istimewa.
Mudah-mudahan Bapak/Ibu/Saudara percaya bahwa kita adalah sosok yang sangat beruntung; sosok yang mampu mengendalikan keinginan/tubuh ini;  sosok yang berguna bagi orang lain;  sosok yang dapat mengambil manfaat/hikmah/nilai/makna dari setiap moment yang kita alami; dan percaya bahwa kita adalah sosok yang mampu membuat rencana tugas yang akan kita selesaikan atau membuat checklist dari hal-hal yang sudah kita kerjakan…
Efek bagi orang lain. Orang lain akan mempercayai kita, jika kita menghargai/mempercayai diri sendiri. Sebaliknya, jika kita salah memprogramkan kata/kalimat/syntax dalam benak kita, misalnya dengan kata/kalimat/syntax: “Banyak keinginan saya yang tidak terkabul (karena yang bersangkutan kurang mampu mengendalikan berbagai keinginan/tubuh ini)”, “Kehadiran saya tidak dibutuhkan oleh orang lain”, “Hidup ini sia-sia, mengecewakan”, “Berbagai kegiatan yang saya ikuti kurang bermanfaat”, dan lain sebagainya…. maka kita harus sangat berhati-hati selama berhari-hari!
Cepat atau lambat, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, orang lain akan mengetahui atau setidaknya akan mengendus hal ini. Cepat atau lambat, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, orang lain akan melihat refleksi dari program yang kita jalankan pada benak kita, melalui sikap dan kata-kata kita. Sebelum hal ini terjadi, sadar-lah dan kembalilah ke posisi kemudi, ambil alih kendali, setup koordinat tujuan… dan pastikan bahwa kita sedang mengendalikan pikiran…hingga sampai ke tujuan.  
Kemampuan mengendalikan pikiran, membuat kita dapat sampai ke tujuan dengan cepat, akurat, selamat, secara terhormat… J  (dengan catatan, sebelum dunia kiamat…hehehe…)

Wednesday, May 18, 2011

07. Pilih mana? Menjadi Penonton (Pembayar) atau Menjadi Pemeran/Pemain/Aktor (yang Dibayar)

Salah satu hal yang kita anggap normal adalah bahwa kita akan memperlakukan orang lain dengan baik, jika orang lain tersebut memperlakukan kita dengan baik; dan kemudian, secara normal juga kita menganggap bahwa jika orang lain tidak memperlakukan kita dengan baik, mengapa kita harus memperlakukannya dengan baik. Kok gitu ya? Ini kondisi normal menurut siapa?
Secara teoretis mungkin kita juga sudah tahu, bahwa idealnya kita tetap memperlakukan orang lain dengan baik, walaupun orang lain berlaku tidak baik kepada kita.  Namun pada kenyataannya, praktik di lapangan, tampaknya agak sulit untuk diterapkan. Mengapa ya?
Apakah ini karena kelebihan teori (kurang praktik) atau karena kekurangan teori pendukung; atau, teori yang saat ini ada belum mumpuni untuk menjelaskan fenomena ini? Begini saja…, tidak ada ruginya berasumsi bahwa kondisi yang ada saat ini, masih membutuhkan teori pendukung lebih lanjut.
Oleh karena itu, bagaimana kalau kita tambahkan sedikit teori… namanya, Teori Penonton dan Pemeran/Pemain/Aktor :)
Salah satu penjelasan mengapa kita sulit untuk tetap memperlakukan orang lain dengan baik, walaupun orang lain berlaku tidak baik kepada kita adalah karena kita masih menganggap diri kita sebagai “penonton”, bukan sebagai aktor.
Kemampuan penonton dalam mengendalikan emosi, kadang tidak sehebat kemampuan aktor dalam mengendalikan emosi. Kadang kala, penonton tanpa sadar telah merelakan emosinya untuk dibawa hanyut oleh adegan film yang sedang ditonton. Bandingkan dengan aktor ; aktor dengan sukses mampu mengatur emosinya, bahkan mampu memengaruhi (mengatur) emosi si penonton.
Mengatur emosi (dirinya maupun orang lain) diduga adalah salah satu kompetensi yang dimiliki oleh sang aktor (maksudnya aktor yang sukses lho ya…hehehe…). Bayangkan jika emosi sang aktor yang sedang memainkan film terpengaruh oleh emosi si penonton….lha..bisa jadi aneh dan lucu itu film...  
Jika dianalogikan dengan kondisi atlit yang sedang bertanding (go show), walaupun si penonton pro/kontra terhadap kondisi pertandingan, atlit yang sukses tetap harus focus dengan event yang sedang dijalaninya; tidak terpengaruh emosi penonton. cool.. bo’
Jadi, berdasarkan ukuran aktor/atlit  (yang sukses lho ya…), kondisi yang normal adalah kondisi di mana emosinya tidak tergantung (tidak terpengaruh) oleh respons orang lain. Jika ia (si aktor) masih terpengaruh oleh kondisi  orang lain, maka si aktor sedang memilih untuk menurunkan statusnya; bukan lagi sebagai aktor, tetapi sebagai penonton (yang sedang dipermainkan emosinya).
Apakah kita setuju bahwa kita semua adalah aktor… yang kadang-kadang, tanpa sadar menjelma sebagai penonton :) Penonton harus membayar (setidaknya dengan waktu yang dimilikinya) untuk menonton hal yang telah memengaruhi emosinya :)
Supaya tidak tekor (karena terus membayar), bagaimana kalau kita sekali-sekali atau sering kali jadi aktor :)

Monday, May 16, 2011

09. Mengatakan “Hal yang Sebenarnya” kepada Orang Lain

Manisnya pengalaman akan dialami saat kita mengatakan “hal yang sebenarnya” kepada orang lain. “Hal yang sebenarnya” seringkali dipersepsikan sebagai sesuatu yang menyakitkan.
Se-benar-nya, penyampaian “hal yang sebenarnya” kepada orang lain, akan dirasakan sebagai suatu pengalaman yang manis, bukan pengalaman yang menyakitkan.
Secara sederhana, ada dua kondisi, agar penyampaian “hal yang sebenarnya” tidak dipersepsikan sebagai pengalaman yang menyakitkan.
Pertama. Untuk menyampaikan “hal yang sebenarnya” kepada orang lain, tanpa dipersepsikan sebagai sesuatu yang menyakitkan, mungkin kita memerlukan waktu sejenak untuk hening (barang 5, 10, 30 menit, atau bahkan seharian) untuk memikirkan isi dan cara menyampaikannya.
Kedua. “Hal yang sebenarnya” yang kita sampaikan kepada orang lain, bukan hanya hal-hal yang bersifat perlu diperbaiki, tetapi juga hal-hal yang bersifat sudah baik. Jika kita hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat perlu diperbaiki, kita hanya menyampaikan sebagian kebenaran, bukan kebenaran secara utuh.
Seberapa percayakah kita bahwa di dalam setiap jiwa sebenarnya selalu ada kebaikan atau hal positif…?
Banyaknya kebaikan atau hal positif yang kita jumpai pada orang lain, dimulai dari penemuan terhadap satu kebaikan yang dimiliki oleh orang tersebut….semakin banyak kita temukan kebaikan pada diri orang lain, semakin utuh kebenaran yang tampak.
Kata-kata kita akan memiliki kekuatan, saat kita menyampaikan “hal-hal yang sebenarnya” ada pada orang lain. Orang lain akan merasakan bahwa kata-kata kita adalah suatu kebenaran (sifat asli) tentang dirinya, saat kata-kata kita diterima sebagai sesuatu yang tidak menyakitkan…

Sunday, May 1, 2011

02, 05, 06. Lagu Chaiya-Chaiya Enak juga ya...

Kemungkinan besar, salah satu faktor yang membuat Briptu Norman sangat ekspresif saat membawakan lagu Chaiya-Chaiya adalah penghayatan beliau terhadap lagu tersebut. Lihat saja gayanya beliau...sudah mirip dengan Shahrukh Khan

Apa sih makna lagu tersebut?

Lagu tersebut mengisahkan makna hidup seseorang yang berjalan di bawah bayangan cinta.

Menurut hasil diskusi penulis dengan Sdri. Ayu (Mamanya Rasa dan Gayatri), kira-kira makna lagu Chaiya-Chaiya (Chhaiya Chhaiya) tersebut adalah seperti di bawah ini…

jinke sar ho ishq ki chhaanv
(those who have all-encompassing shadow of love over their head…)
paanv ke neeche jannat hogi
(heavens will be below their feet)

Saat kita memiliki perasaan mencintai dan perasaan dicintai, walaupun kita berada dalam kondisi/realitas yang sangat sulit, perasaan cinta tersebut akan meneduhi kita, bagaikan payung di tengah terik panas matahari. Perasaan mencintai dan dicintai adalah bagaikan payung, yang membuat kita merasa nyaman (seperti menginjakkan kaki di surga).  

sar ishq ki chhaanv chal chhaiyaan chhaiyaan
(your head is covered by the shadow of love, walk underneath this shadow)
paanv jannat chale chal chhaiyaan chhaiyaan
 (you will feel as if your feet are walking on the land of heaven, walk underneath this shadow)

Di bawah bayangan payung-cinta (bayangkan ukuran payung-cinta adalah puluhan kali lebih besar daripada payung yang biasa kita gunakan atau payung yang biasa ditawarkan oleh petugas ojek payung…),  langkah/perjalanan kita dalam mengarungi kehidupan ini, akan terasa seperti di surga.

Jangankan di surga…, bayangkan saat di siang hari (di tengah terik matahari) kita berada di bawah pohon beringin; atau di bawah atap kendaraan/bus ber-AC; rasanya sudah nyaman sekali. Nah... apalagi seperti  di surga.

Coba, bagaimana tuh rasanya…??

Ada penjelasan, mengapa perasaan cinta yang kita miliki, membuat kita merasakan teduh dan nyaman. Keteduhan adalah istilah yang kita gunakan untuk mewakili perasaan nyaman, saat kita berada di tengah kondisi yang panas. Saat kondisi demikian panasnya, kita membutuhkan tempat berteduh, entah di bawah pohon, di halte, di rumah, di warung, di tenda, atau di bawah payung…

Atap/payung yang meneduhi kita adalah lapisan yang melindungi kita dari panas yang sedemikian terik. Semakin luas, semakin tebal, dan semakin tinggi letak lapisan tersebut, maka akan semakin terasa nyaman kondisi kita yang sedang berteduh di bawahnya. Lapisan tersebut sangat cocok sebagai analogi perasaan cinta yang ada pada kita. Perasaan cinta tersebut adalah payung/atap/lapisan alami, yang melindungi kita dari teriknya berbagai permasalahan yang ada. Payung cinta sulit dilihat, namun dapat dirasakan.

Untuk dapat mengkonkretkan kualitas cinta yang kita miliki, mungkin analogi payung dalam chaiya-chaiya adalah sangat cocok.

Sehubungan dengan kualitas keteduhan payung, penulis mengajukan hipotesis sederhana, bahwa agar payung/atap dirasakan teduh dan nyaman, setidak ada tiga karakteristik yang perlu dipertimbangkan: (a) luas/sempitnya payung/atap, (b) ketebalan payung/atap, (c) jarak dari payung ke objek yang dipayungi. Ketiga karakteristik tersebut sangat dekat kaitannya dengan kualitas cinta.

Karakterstik pertama, luas/sempitnya payung/atap. Luas/sempitnya payung/atap, dapat dianalogikan dengan jangkauan perasaan mencintai dan dicintai yang kita miliki. Semakin luas jangkauan perasaan mencintai dan dicintai yang kita miliki, semakin mudah kita berhubungan dengan banyak orang lain. Dengan berbagai kemudahan yang kita peroleh dari banyak orang, kemungkinan “panas teriknya” masalah kehidupan ini akan lebih teratasi (terasa teduh). Bayangkan kalau kita hanya mencintai dan dicintai oleh orang-orang tertentu?

Karakterstik ke dua, ketebalan payung/atap. Ketebalan lapisan payung/atap, ibarat kedalaman perasaan cinta yang kita miliki. Perasaan cinta yang kita miliki, memiliki rentang ketebalan mulai dari hal-hal yang bersifat permukaan (berdasarkan penampilan) atau hingga pada hal-hal yang bersifat mendalam (berdasarkan sifat/kepribadian). Semakin tebal/mendalam perasaan cinta yang kita miliki, artinya semakin tebal lapisan payung/atap yang memayungi kita. Cinta yang tebal berarti perasaan cinta kita tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat permukaan, tetapi juga pada hal-hal yang bersifat mendalam/kepribadian. Masalah dalam kehidupan, muncul pada saat cinta yang kita miliki hanya bersifat permukaan (objek cinta adalah tingkah laku yang tampak, fisik, atau penampilan); ibaratnya, lapisan atap/payung yang melindungi kita adalah tipis dan mudah sobek. Sebaliknya, saat lapisan atap/payung yang melindungi kita tebal dan tidak mudah sobek, maka terik di siang hari sulit menembus payung/atap yang melindungi kita; kondisi ini membuat kita merasa tetap terlindungi, teduh, dan nyaman.

Karakterstik ke tiga, jarak lapisan payung/atap ke objek yang dilindungi. Karakteristik ketiga ini adalah anologi kebebasan yang kita-berikan-kepada dan yang kita-dapatkan-dari orang-orang yang mencintai dan dicintai oleh kita. Semakin jauh jarak payung/atap ke objek, maka semakin besar kebebasan yang kita-berikan-kepada dan yang kita-dapatkan-dari orang-orang yang mencintai dan dicintai oleh kita. Atap yang jaraknya jauh/tinggi, akan lebih memberikan kesejukan daripada atap yang jaraknya dekat/pendek. Atap yang jaraknya jauh/tinggi memberikan kesempatan kepada berbagai hal (udara, tanah, dll.) di bawahnya menjadi sejuk. Kesejukan hawa di rumah/gedung jaman dahulu (seperti di musem Fatahillah), walaupun suasana di luar gedung sangat terik, adalah contoh nyata yang langsung bisa kita rasakan.  Besarnya kebebasan yang kita-berikan-kepada dan yang kita-dapatkan-dari orang-orang yang mencintai dan dicintai oleh kita, membuat kita tetap memberikan (support) ruang gerak baik kepada diri sendiri maupun orang lain untuk berkreasi. Karakteristik payung/atap yang seperti ini membuat kita senantiasa merasa teduh dan sejuk.

Seberapa luas jangkauan, ketebalan, dan kebebasan rasa cinta yang kita terima/berikan?
=
Seberapa teduh, sejuk, dan nyaman kita berjalan di bawah bayangan cinta?


Salam Kasih selalu :)

====

Reference (Acuan):