Sunday, August 21, 2011

04. Orang yang Fokus = Orang yang Puas

Arti kepuasan, erat kaitannya dengan BERHENTI berpikir mengenai hal lain; atau, saat kita ada berpikir mengenai hal lain, berarti ada unsur/cikal-bakal pikiran kita untuk menjadi tidak puas.
Namun bagaimana prosesnya, mana yang lebih dahulu?
1.       Puas dahulu, lalu berhenti berpikir mengenai hal lain; atau…
2.       Berhenti berpikir mengenai hal lain, lalu puas.
Kalau kita memilih alternatif yang pertama, sepertinya kok kemungkinan pemahamannya menjadi agak abstrak dan sulit. Mengapa abstrak dan sulit? Jawabannya karena definisi waktu untuk menjadi "puas dahulu" tidak/kurang jelas. Artinya, kita menjadi bertanya, kapan persisnya kita akan tiba pada kondisi "puas dahulu"; apakah hari ini, esok hari, esok lusa, minggu depan, atau kapan?  Semakin kurang terdefinisi, semakin sulit prosesnya; semakin lebih terdefinisi, semakin mudah prosesnya.
Lalu, bagaimana dengan alternatif kedua?
Alternatif kedua, yaitu berhenti berpikir mengenai hal lain, ...lalu kita menjadi puas. Bagaimana logikanya? (Penulis mencoba menjawab berdasarkan logika penulis lho ya…)
Logikanya kurang lebih seperti ini…. Pada saat kita berhenti berpikir mengenai hal/alternatif lain, artinya ya berhenti…. berhenti…stop…kita hanya fokus pada satu pilihan. Fokus pada satu pilihan, memungkinkan kita melihat keistimewaan sekaligus kekurangan yang ada pada pilihan yang dimaksud. Individu pada umumnya, akan membuat perbandingan di antara berbagai keistimewaan dan berbagai kekurangan yang dijumpainya. Penulis percaya, saat tidak terpikir alternatif lain, maka akal sehat kita atau kita sebagai individu yang bijak, cenderung memenangkan berbagai keistimewaan yang ada dibandingkan dengan berbagai kekurangan yang ada dalam pikiran kita…  Bahkan, kita berpikir bahwa satu pilihan yang ada di hadapan kita, sungguh sangat istimewa, tidak ada kekurangan, tidak ada tandingan, bahkan tidak ada penggantinya… hehehe…
Mau contoh?
1.    Puas terhadap orang. Berapa banyak orang jatuh cinta kepada seseorang, karena hampir setiap hari, ia hanya menjumpai seseorang tersebut… :) artinya, seseorang tersebut merupakan satu-satunya pilihan/alternatif… yang sering dijumpainya… (ingat…! satu-satunya pilihan, artinya benar-benar tidak ada alternatif lain lho ya…). Tidak ada alternatif (berhenti/tidak berpikir alternatif lain) membuat kita puas.
2.    Puas terhadap lingkungan fisik. Hal ini khususnya terjadi terhadap kamar tidur pribadi kita. Saat kita diminta berpikir mengenai tempat yang paling nyaman, mungkin sebagian (besar) dari kita akan menjawabnya kamar tidur. Ya, kamar tidur khususnya kamar tidur pribadi… mengapa kamar tidur? Karena selama bertahun-tahun, fokus kita pada tempat beristirahat… ya hanya pada yang satu itu, kamar tidur pribadi. Bandingkan dengan diri kita sendiri, saat kita sudah mengenal berbagai tempat untuk beristiharat; mungkin (mungkin lho ya), kita akan membanding-bandingkan tingkat kepuasan tidur di kamar tidur pribadi dan tidur di tempat lain. Saat tidak ada alternatif (berhenti/tidak berpikir alternatif lain) membuat kita puas tidur di kamar pribadi.
3.    Puas terhadap benda. Ok… benda yang dimaksud di sini, adalah benda yang menjadi fokus perhatian kita; satu-satunya fokus perhatian kita. Suatu benda, menjadi fokus perhatian kita, selain karena benda tersebut punya nilai/makna historis, ya karena benda tersebut , pada jamannya, tidak ada pembandingnya (hanya satu-satunya yang ada pada kita). Saat suatu benda bersifat hanya satu, atau pada saat itu kita hanya memiliki satu-satunya benda tertentu, kemungkinkan besar benda tersebut akan masuk dalam alam bawah sadar (wuss… sudah seperti pakar psikoanalis aja neeh…), dan punya nilai/makna historis. Benda tersebut menjadi fokus kita dan tidak ada banda lain yang dapat menjadi pembandingnya. Sebutlah benda tersebut adalah boneka... Boneka yang sering atau terus menerus kita mainkan, mulai dari masa kecil kita, boleh jadi menjadi teman tidur yang paling setia dan membuat tidur kita pu(l)as… apakah masing-masing kita pernah mengalami hal yang serupa?
Kembali kepada permasalahan, mengapa kita puas terhadap boneka, kamar tidur, dan kepada orang tertentu? Ya karena, pada saat itu, boneka, kamar tidur, dan orang tertentu bersifat hanya satu, tidak ada pembanding. (kita berhenti berpikir mengenai hal lain/pembanding)
Jadi kembali pada pilihan alternatif kedua, kondisi tidak ada pembanding (berhenti berpikir mengenai hal lain dahulu)… membuat kita menjadi puas…
Fenomena ini terjadi juga pada saat seorang pegawai ingin berhenti/tetap bekerja di suatu instansi…saat tidak ada pembanding, timbulah kecenderungan untuk suka/puas/jatuh cinta… saat puas, timbulah pikiran untuk tetap bekerja di suatu instansi. Saat ada pembanding, mulailah timbul potensi ketidakpuasan, yang berujung pada pikiran untuk pindah kerja.
Sekalipun sudah mendapatkan pekerjaan yang baik, saat melihat bahwa ada peluang/alternatif pekerjaan lain (yang dikira lebih baik), maka sedikit-banyak timbul niat dalam diri individu untuk meninggalkan pekerjaannya saat ini.

Seperti yang dinyatakan oleh Cakmak, Hocevar, dan Kocher (2004) dalam hasil penelitian mengenai fenomena yang terjadi pada marinir. Pekerjaan sebagai marinir sebenarnya merupakan salah satu pekerjaan yang menjanjikan (pekerjaan yang baik, bahkan terbaik). Namun, saat seorang marinir melihat bahwa ada peluang/alternatif pekerjaan lain sebagai pegawai negeri sipil, maka ia tergoda untuk resign.
Di lain pihak, intensi untuk meninggalkan pekerjaan sebagai marinir, kecil kemungkinannya terjadi pada individu yang puas, puas terhadap berbagai aspek pekerjaannya saat ini (Cakmak et al., 2004).

Menurut penulis, marinir yang fokus pada satu pilihan (yang ada pada saat ini), mampu melihat jauh ke depan bahwa banyak keistimewaan yang telah dan akan ia dapatkan dari pekerjaannya saat ini. Kemampuan melihat keistimewaan yang telah dan akan ia dapatkan, membuatnya merasa puas, dan pada akhirnya membuat ia cenderung ingin bertahan/tetap bekerja sebagai marinir.
Refleksi: Apakah kita bisa fokus pada pekerjaan saat ini, sehingga kita mampu melihat keistimewaan yang telah dan akan kita dapatkan?
Penampakan/penglihatan mengenai keistimewaan yang telah dan akan kita dapatkan, membuat kita puas…

Berhenti Berpikir Mengenai Hal Lain --> Fokus --> Mampu Melihat --> Puas --> Setia
Sumber Pustaka:
Cakmak, Y. , Hocevar, S. P., & Kocher, K. M. (2004). The value of the 1999 USMC retention survey in explaining the factors that influence marines’ subsequent stay/leave behavior. Naval Postgraduate School, Monterey, California.

Wednesday, August 17, 2011

66. Manfaat "Kita" untuk ke-Merdeka-an

Tujuh belas agustus tahun empat lima…
Itulah hari kemerdekaan kita… (weitstop dulu)

Di situ ada kata “kita”…

Mengapa di blog ini, penulis sepertinya banyak menggunakan kata “kita”?

Pada hari ulang tahun Indonesia yang ke 66 ini, tampaknya merupakan saat yang paling tepat untuk mengungkapkannya…(Enam = 6 = Cooperation; 66 = Double Cooperation; atau 66 = Kerjasama yang Sangat Baik)

Kita…
Sipil dan Militer
Tua dan Muda
Murid dan Guru
Orang Tua dan Anak
Laki-laki dan Perempuan
Buruh dan Majikan
Rakyat dan Pemerintah
Supir dan Penumpang
Mahasiswa dan Dosen
… dan …
… dan …
… dan …

Kita…
adalah kata yang mewakili kondisi, dimana terdapat dua (atau lebih) unsur yang bekerjasama
Saat dua (atau lebih) unsur tersebut bekerja sama, maka akan menjadi
Kita…

Untuk mengungkapkan ke-kita-an, sebenarnya banyak sumber yang dapat menjadi bahan acuan bagi kita; namun untuk kemudahan bagi penulis, kita ambil saja contoh dari militer, yang tampak sering menerapkan nilai kerjasama (cooperation).

Tentara adalah contoh nyata dari para jiwa yang mampu menerapkan nilai kerjasama. Lihat saja bagaimana tentara membersihkan lingkungannya, bagaimana tentara mendirikan basecamp, bagaimana tentara membangun sarana/prasarana, bagaimana tentara merencanakan latihan gabungan, bagaimana tentara mempersiapkan dapur umum, bagaimana tentara menuntaskan operasi militer, bagaimana tentara membebaskan gedung/pesawat/kapal yang sedang dibajak, atau bagaimana tentara menolong korban bencana alam; semuanya dilakukan dengan nilai kerjasama.  

Nilai kerjasama adalah sumber dan akibat dari kondisi “kita”. Dengan sering-sering bekerjasama, kita mampu membentuk kondisi “kita” yang sungguh-sungguh, bukan yang pura-pura. Selanjutnya, kondisi “kita” yang ada saat ini, adalah modal (yang sangat bernilai) untuk mencapai impian/tujuan kita di masa mendatang.

Kondisi “kita” adalah ciri utama dari social resilience.

Apa sih yang dimaksud dengan social resilience?

Dalam artikelnya, Cacioppo, Reis, dan Zautra (2011) memperkenalkan konsep social resilience. Menurut Cacioppo et al. (2011), konsep social resilience terbentuk pada saat individu berkenan mempersepsi perannya sebagai bagian dari tim/kelompok, dan mengubah konsep “saya” menjadi “kita”.

Lebih lanjut Cacioppo et al. menjelaskan social resilience sebagai berikut:

“…social resilience is the capacity to foster, engage in, and sustain positive relationships and to endure and recover from life stressors…  social resilience emphasizes the role of connections with other individuals, groups, and large collectives… What is unique about social resilience is an appreciation for the key contributions to human welfare of coordinated social activity and feelings of connectedness and “we-ness.” (Cacioppo et al., 2011, p. 44)

Berdasarkan kutipan di atas, konsep “kita” banyak manfaatnya, atau tidak ada ruginya untuk diterapkan. Banyak manfaat, terutama untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan (life stressors) dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia (human welfare).

Dalam kehidupan militer (di negara/budaya yang menganut faham individualis sekalipun), para tentara diajarkan untuk senantiasa mampu menerapkan nilai kebersamaan. Nilai kebersamaan seolah-olah menjadi sistem/aturan di dalam kehidupan militer.

Bagaimana dengan kehidupan di luar militer? Apakah masih dimungkinkan untuk menerapkan nilai kebersamaan?  Jawabannya masih…, namun ada tantangan.

Cacioppo et al. menyatakan bahwa hambatan untuk mewujudkan kebersamaan, ke-kita-an, atau konsep social resilience adalah cara pandang kita terhadap orang lain; seperti yang terkutip dalam artikelnya sebagai berikut: “…one obstacle to social resilience is viewing others as different from oneself and, therefore, as outgroup members who represent a threat rather than a resource...” (p. 49)

Berdasarkan kutipan tersebut, jelas hambatannya bukan pada kondisi di luar diri kita atau pada orang lain, tetapi hambatannya sangat dekat dengan kita, bahkan di dalam diri kita, yaitu pikiran kita sendiri yang mempersepsi/memandang bahwa orang lain memiliki sifat-sifat/tujuan/karakter yang berbeda dengan kita, serta memandang bahwa orang lain adalah ancaman, bukan sumber manfaat.

Lalu bagaimana solusinya?

Solusinya...adalah dengan mengajukan pertanyaan

Pertanyaannya adalah: Bagaimana, agar kita bisa mengubah setiap pandangan yang bersifat ancaman menjadi pandangan yang bersifat manfaat

Bagaimana caranya… ?

Caranya ya dengan bertanya…

Contoh pertanyaan:

Bagaimana saya sebagai Orang yang lebih Tua, bermanfaat bagi Orang yang lebih Muda?
Bagaimana saya sebagai Orang yang lebih Muda, bermanfaat bagi Orang yang lebih Tua?

Bagaimana saya sebagai Supir bermanfaat bagi Penumpang?
Bagaimana saya sebagai Penumpang bermanfaat bagi Supir?

Bagaimana saya sebagai Mahasiswa bermanfaat bagi Dosen?
Bagaimana saya sebagai Dosen bermanfaat bagi Mahasiswa?

Bagaimana saya sebagai Murid bermanfaat bagi Guru?
Bagaimana saya sebagai Guru bermanfaat bagi Murid?

Bagaimana saya sebagai Sipil bermanfaat bagi Militer?
Bagaimana saya sebagai Militer bermanfaat bagi Sipil?

Bagaimana saya sebagai Orang Tua bermanfaat bagi Anak?
Bagaimana saya sebagai Anak bermanfaat bagi Orang Tua?

Bagaimana saya sebagai Laki-laki bermanfaat bagi Perempuan?
Bagaimana saya sebagai Perempuan bermanfaat bagi Laki-laki?

Bagaimana saya sebagai Buruh bermanfaat bagi Majikan?
Bagaimana saya sebagai Majikan bermanfaat bagi Buruh?

Bagaimana saya sebagai Rakyat bermanfaat bagi Pemerintah?
Bagaimana saya sebagai Pemerintah bermanfaat bagi Rakyat?

dst.

Ingat…
Bagaimana saya sebagai … bermanfaat bagi…


Sumber Pustaka:
Cacioppo, J. T., Reis, H. T., & Zautra, A. J. (2011). Social resilience. The value of social fitness with an application to the military. American Psychologist, 66(1), 43–51.


Yuk kita lanjutkan nyanyian Hari Merdeka (Cipt: H. Mutahar)


Tujuh belas agustus tahun empat lima…
Itulah hari kemerdekaan kita… (lanjutkan…)

Hari merdeka.., nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia…
Mer…de…ka…

Sekali merdeka tetap merdeka…
Selama hayat masih di kandung badan…

Kita tetap… setia…tetap... sedia…
Mempertahankan Indonesia

Kita tetap… setia…tetap... sedia…
Membela negara kita

Wednesday, August 10, 2011

07. Sengaja Berolahraga Yuk... 7 Meniiit Saja…

Bagi para prajurit, manfaat/fungsi/nilai terpenting dari latihan fisik  adalah untuk kesehatan. Sedangkan karakter psikologis lainnya, bersifat secondary. Seperti yang tertera dalam artikel hasil penelitian Achilles dan Achilles (1917, p. 311).
A major to whom thousands of officers are indebted for their conception of the value of physical training places Health first, and the other qualities as follows: (09) Integrity, (11) Judgment, (06) Organizing Ability, (07) Initiative, (07) Perseverance, (11) Appearance, (09) Aggressiveness, (06) Cooperativeness, (07) Competitiveness, (01) Refinement, (04) Control of Emotions, (01) Open-mindedness, and (04) Sense of Humor.
Berdasarkan manfaat/nilai dari latihan fisik adalah sesuatu yang bersifat fisik (kesehatan fisik), setidaknya ada empat poin yang menarik untuk kita diskusikan/perbincangkan, yaitu:
1.    Pertanyaan untuk peneliti (kepada yang terhormat Achilles & Achilles): Mengapa pada pengukuran (alat ukur) berbagai kualitas karakter keprajuritan, lebih banyak item yang bersifat psikologis daripada yang bersifat fisik?
·         yang bersifat fisik hanya berjumlah dua, yaitu: (a) kesehatan/health (bodily vigor, good sight, hearing, etc.), dan (b) penampilan/appearance (well groomed appearance, good carriage, pleasing facial expression, voice, etc.);
·         sedangkan yang bersifat non-fisik/psikologis, berjumlah 12 à waduhhh… 12 bo’…. seperti jumlah nilai dalam konsep living values J
2.    Dari sekian banyak item pada alat ukur kualitas karakter keprajuritan, mengapa para prajurit lebih merespons dan memberikan ranking paling utama pada aspek fisik (health/kesehatan fisik) dibandingkan dengan aspek/karakter yang bersifat psikologis?
3.    Apakah para prajurit menyadari bahwa kondisi-kondisi yang mengawali (yang menjadi antecedent) dari latihan fisik, bersifat psikologis (seperti motivasi/semangat, inisiatif, kepatuhan, dll.)?
4.    Apakah para prajurit menyadari bahwa kondisi kesehatan fisik di medan tempur boleh jadi sama kuat, tapi ingat…. pada saat itu, kemungkinan besar aspek yang lebih berperan adalah faktor psikologis (responsibility, brave, control of emotion, cooperativeness, dll.)?
Apapun jawaban dari poin diskusi di atas, aspek fisik memang tidak boleh kita abaikan/lupakan. Bagaimanapun…, ada benarnya juga tuh pandapat para prajurit, bahwa aspek paling penting adalah aspek fisik.  
Walaupun lebih banyak aspek psikologis yang berperan, walaupun kita adalah makhluk spiritual (jiwa/psyche) yang tinggal di bumi, tanpa fisik yang sehat, mungkin akan sulit juga kita…
Apakah kita sudah berolahraga hari ini? 7 meniiit saja… J

Sumber Pustaka:
Achilles, P. S., & Achilles, E. M. (1917). Estimates of the military value of certain character qualities. The Journal of Applied Psychology, 4(1), 305-316.

07. Kursus Mengemudi Pikiran (GRATIS bagi peserta yang mendaftar pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya hingga terakhir)

Kita dapat menyadari apakah kita sedang mengendalikan pikiran atau pikiran yang sedang mengendalikan kita. Tandanya gampang saja, yaitu dengan memeriksa buah-buah pikiran yang ada pada benak kita “pada detik ini”. Contoh beberapa buah pikiran, yang ada pada kondisi saat kita sedang mengendalikan pikiran, misalnya: “Saya adalah sosok yang sangat beruntung”, “Saya mampu mengendalikan keinginan/tubuh ini”, “Saya berguna bagi orang lain”, “Saya dapat mengambil manfaat/hikmah/nilai/makna dari setiap moment yang saya alami”, “Orang lain pada dasarnya baik dan selalu dapat menjadi baik”, atau “Hari ini saya sudah/akan menyelesaikan tugas …, …., ….”, dst.
Mudah-mudahan kita cukup sepaham mengenai efek dari kondisi bahwa kita sedang mengendalikan pikiran…
Mengendalikan pikiran artinya kita berpikir atas program (kata/kalimat/syntax) yang sengaja kita susun dan sengaja kita jalankan. Dengan kata lain, kondisi bahwa kita sedang mengendalikan pikiran, adalah sama dengan kondisi bahwa kita sedang memprogram benak/pikiran kita dengan kata/kalimat/syntax yang lembut, manis, namun berani, jujur, dan penuh kekuatan.  
Lalu, apa efeknya?
Efek bagi diri sendiri. Saat kita memprogramkan/menjalankan kata/kalimat/syntax seperti di atas, pada benak kita, maka kita telah membuat persepsi tentang diri menjadi lebih positif; atau bahwa kita berhasil mengubah persepsi negatif menjadi persepsi positif. (persepsi positif terhadap diri sendiri akan lebih stabil jika dilakukan secara berulang dengan konsisten)
Persepsi yang positif membuat kita menjadi “waspada/alert/sadar” secara psikologis, dan membuat kita mampu mempercayai bahwa diri kita adalah sosok yang memiliki sifat-sifat istimewa; kita umumnya menyebut kondisi ini, sebagai kondisi percaya diri. Sebaliknya, kita menyebut kondisi kurang percaya diri, saat kita tidak percaya bahwa kita bukanlah siapa-siapa, yang tidak memiliki sifat-sifat istimewa.
Mudah-mudahan Bapak/Ibu/Saudara percaya bahwa kita adalah sosok yang sangat beruntung; sosok yang mampu mengendalikan keinginan/tubuh ini;  sosok yang berguna bagi orang lain;  sosok yang dapat mengambil manfaat/hikmah/nilai/makna dari setiap moment yang kita alami; dan percaya bahwa kita adalah sosok yang mampu membuat rencana tugas yang akan kita selesaikan atau membuat checklist dari hal-hal yang sudah kita kerjakan…
Efek bagi orang lain. Orang lain akan mempercayai kita, jika kita menghargai/mempercayai diri sendiri. Sebaliknya, jika kita salah memprogramkan kata/kalimat/syntax dalam benak kita, misalnya dengan kata/kalimat/syntax: “Banyak keinginan saya yang tidak terkabul (karena yang bersangkutan kurang mampu mengendalikan berbagai keinginan/tubuh ini)”, “Kehadiran saya tidak dibutuhkan oleh orang lain”, “Hidup ini sia-sia, mengecewakan”, “Berbagai kegiatan yang saya ikuti kurang bermanfaat”, dan lain sebagainya…. maka kita harus sangat berhati-hati selama berhari-hari!
Cepat atau lambat, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, orang lain akan mengetahui atau setidaknya akan mengendus hal ini. Cepat atau lambat, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, orang lain akan melihat refleksi dari program yang kita jalankan pada benak kita, melalui sikap dan kata-kata kita. Sebelum hal ini terjadi, sadar-lah dan kembalilah ke posisi kemudi, ambil alih kendali, setup koordinat tujuan… dan pastikan bahwa kita sedang mengendalikan pikiran…hingga sampai ke tujuan.  
Kemampuan mengendalikan pikiran, membuat kita dapat sampai ke tujuan dengan cepat, akurat, selamat, secara terhormat… J  (dengan catatan, sebelum dunia kiamat…hehehe…)