Thursday, September 30, 2010

09. Reliabilitas Pengukuran Psikologis (bagi Diri Sendiri)

Kita perlu memastikan bahwa diri kita memiliki reliabilitas/konsistensi. Dalam dunia pengukuran psikologis, dikenal empat jenis reliabilitas: (a) reliabilitas antar waktu (test-retest reliability), (b) reliabilitas antar butir (internal consistency reliability), (c) reliabilitas antar penilai (inter-scorer reliability), dan (d) reliabilitas antar bentuk pengukuran  (alternate form reliability).

Berbagai jenis reliabilitas tersebut sebenarnya sangat penting bukan saja untuk diterapkan dalam bidang pengukuran psikologis (psikometri), tetapi juga untuk diterapkan dalam diri sendiri. 

Reliabilitas antar waktu (test-retest reliability), mengajarkan kepada kita, agar kita konsisten dari waktu ke waktu. Karakter kepribadian yang baik, yang muncul/ditampilkan hari ini, sebisa mungkin muncul/ditampilkan juga keesokan hari, minggu depan, bulan depan, hingga tahun depan. Pertanyaannya adalah, seberapa sering kita berpikir positif, hanya pada waktu/hari-hari tertentu saja, atau setiap saat (sepanjang hari).

Reliabilitas antar butir (internal consistency reliability) memberikan analogi kepada kita bahwa kita perlu konsisten dalam butir pikiran, butir tindakan, dan butir perkataan. Pikiran yang baik, sebisa mungkin secara konsisten ditunjukkan dengan tindakan/perbuatan yang baik, dan juga disampaikan dengan cara yang baik. Hehehe… kita bisa memeriksa hal ini dalam diri kita masing-masing…. Seberapa sering maksud baik yang kita nasihatkan kepada orang… disampaikan dengan kata-kata yang baik/santun… dan dicontohkan dengan perilaku yang benar…. :) hehehe… terkadang, setelah memberitahu orang lain dengan nada tinggi… kita mengatakan… “maksud/niat saya sebenarnya baik…:)”

Reliabilitas antar penilai (inter-scorer reliability) memberikan inspirasi kepada kita, bahwa kita perlu konsisten kepada siapa pun. Kita diharapkan bukan saja santun dan berprilaku baik kepada orang yang kita anggap punya kedudukan secara sosial, pendidikan, dan harta fisik; tetapi, kita diharapkan juga santun kepada orang-orang terdekat kita, dan kepada orang-orang yang kita anggap kurang beruntung secara sosial, pendidikan, dan harta fisik.

Reliabilitas antar bentuk pengukuran (alternate-form reliability) menunjukkan kepada kita untuk konsisten dalam menjalankan berbagai bentuk peran. Dengan senantiasa menunjukkan prilaku baik dalam berbagai bentuk peran, tidak ada lagi istilah “jaim”. Istilah “jaim” ada, pada saat kita berprilaku/berkata-kata yang baik, hanya di saat-saat menjalankan bentuk peran tertentu.  Sebisa mungkin, kita konsisten untuk berpikir positif, berkata yang baik/santun, dan berprilaku yang benar, saat kita sedang memainkan berbagai bentuk peran (sebagai anak, sebagai orang tua, sebagai mahasiswa, sebagai dosen, sebagai rakyat, sebagai pemimpin, sebagai pasangan, dll.); kecuali, pada saat kita diminta sebagai actor dalam film tertentu lho ya… :)

Wednesday, September 29, 2010

12. Beralih Profesi sebagai Produsen

Keheningan memberikan pengalaman batin kepada kita; pengalaman batin yang terkadang tidak bisa kita dapatkan pada umumnya. Tanda dari pengalaman batin tersebut adalah adanya perasaan damai, perasaan cinta, perasaan bahagia, serta perasaan mampu (berharga).

Perasaan-perasaan tersebut di atas seringkali menurun, saat kita berada dalam kesadaran badan, atau saat kesadaran kita berada pada gelombang beta (14-30 Hz). Saat kita berada dalam kesadaran badan, profesi/peran kita adalah sebagai konsumen. Perasaan-perasaan tersebut kita konsumsi sedikit demi sedikit, ibarat bahan bakar yang terkonsumsi dalam perjalanan.

Keheningan membuat kita mampu berpindah dari kesadaran badan ke dalam kesadaran jiwa (gelombang alpha [8-13 Hz], gelombang theta [4-7 Hz], atau bahkan gelombang delta [0.5-3 Hz]).  Dalam kesadaran jiwa, peran kita bukan lagi konsumen, tetapi berganti sebagai produsen.

Sebagai produsen, kita mengetahui supplier terbaik dari perasaan-perasaan tersebut. Untuk mengakses perasaan-perasaan tersebut, kita tidak lagi terlalu bergantung dari apresiasi, pujian, ataupun penghargaan orang lain. Kita dapat memaklumi bahwa stock perasaan-perasaan tersebut pada orang lain juga terbatas, selama orang lain yang bersangkutan juga pada posisi konsumen, bukan produsen.

Kesadaran sebagai produsen membuat kita merasa “kaya raya”. Kita tidak lagi sekedar mengkonsumsi perasaan-perasaan terebut, tetapi justru memberikan/membagikannya secara gratis kepada sesama :)

Tuesday, September 28, 2010

11. Kondisi Sakit adalah Takdir, jika...

Penyakit dalam tubuh, terkadang tidak langsung dirasakan. Tubuh memiliki daya toleransi yang sangat luar biasa. Katakanlah kita mengkonsumsi zat tertentu, yang agak membahayakan tubuh. Tubuh akan dengan cerdas mengakomodasi zat yang masuk tersebut; tubuh berusaha untuk menetralisir, misalnya melalui fungsi ginjal. Dengan mekanisme ini, kita tidak akan langsung divonis mengalami penyakit. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mengidentifikasikan bahwa tubuh mengalami gagal ginjal.

Demikian pula penyakit jantung. Seorang perokok tidak langsung didiagnosis mengalami penyakit jantung, saat yang bersangkutan baru mengkonsumsi satu atau dua bungkus rokok. Dibutuhkan ratusan hingga ribuan batang rokok, serta dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyatakan bahwa kita didiagnosis mengalami penyakit jantung akibat merokok.

Di samping makanan dan rokok, sumber lain yang sering disebut-sebut sebagai sumber penyakit, adalah kondisi stres pikiran. Sebagian orang percaya, bahwa stres pikiran dapat menyebabkan efek negatif pada tubuh. Stres pikiran sebagai sumber penyakit fisik, tidak senyata konsumsi makanan dan konsumsi rokok. Efek stres yang kita alami setiap hari tidak akan langsung menyebabkan kita mengalami penyakit fisik. Dibutuhkan frekuensi dan intensi stressor yang berulang-ulang dan sangat besar untuk membuat kita menjadi sakit fisik.

Saat kita melihat banyaknya fenomena penyakit di lingkungan kita, kita tergoda untuk berpikir bahwa “semua orang pasti akan jatuh sakit”, “si Anu… sudah berusaha menjaga kesehatan… tidak merokok… menjaga makanan…toh masih sakit juga…”, “Si Anu sering merokok dan begadang… toh sehat-sehat saja…”; hingga pada akhirnya kita berpikir, “…kalau begitu hidup biasa-biasa sajalah… makanlah yang mau kita makan…lakukanlah yang kita suka….kalau sakit, ya sakit saja,.. itu toh sudah menjadi takdir… atau sudah ditakdirkan dalam drama…”

Hehehe… Pernyataan terakhir bahwa “kondisi sakit sudah ditakdirkan dalam drama”, boleh saja kita nyatakan benar, dengan catatan…

jika...kita sudah selalu berusaha untuk hidup teratur, membuat pola hidup yang rumit menjadi pola hidup yang sederhana. Pola hidup yang sederhana identik dengan menjaga kesehatan pola makan, menjaga pola berolah raga atau pola aktivitas fisik, dan menjaga pola pikir.

Pola makan dan pola olah raga yang menyehatkan tidak identik dengan makan dan olah raga yang “wahh…” tetapi cukup yang sederhana….Demikian pula, pola berpikir yang sehat, bukanlah berpikir mengenai angan-angan yang muluk, tetapi berpikir mengenai buah pikiran yang sederhana. Buah pikiran yang sederhana adalah buah pikiran yang senantiasa fokus terhadap satu point yang sudah/sedang/akan didapat.

Monday, September 27, 2010

06. Orang Lain vs. Diri Sendiri

Keseimbangan dalam memikirkan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain adalah sesuatu yang gampang-gampang sulit. Kita biasanya berpikir salah satu. Saat kita berpikir manfaat bagi diri sendiri, kita berhenti (untuk sementara) memikirkan manfaat bagi orang lain. Demikian pula sebaliknya, ketika kita berpikir apa manfaat kegiatan/tindakan kita bagi orang lain, kita melupakan (untuk sementara) apa manfaat suatu kegiatan bagi diri sendiri.

Dalam setiap kegiatan yang kita ikuti atau tindakan yang kita lakukan, kita perlu memeriksa dengan cermat apakah suatu kegiatan/tindakan akan bermanfaat bagi diri kita maupun bagi orang lain. Saat kita berkesimpulan bahwa suatu kegiatan/tindakan hanya akan bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain tidak bisa maju atau menjadi terhalang; tetapi saat kita berpikir  bahwa suatu kegiatan/tindakan hanya akan bermanfaat bagi orang lain saja, maka diri sendiri akan merasa tertekan.

Manfaat bagi diri sendiri atau orang lain, bukan terletak pada jenis kegiatannya. Semua kegiatan dapat bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain dapat dicapai dengan berkompromi; berkompromi diawali dalam pikiran, disampaikan dengan kata-kata kepada orang lain, dan ditunjukkan melalui perbuatan.

Niat berkompromi antara diri sendiri dan orang lain, membuat kita merasa damai dan kreatif dalam mencari solusi :)

Sunday, September 26, 2010

10. Cara Berpikir Petani yang Sabar

Buah akan matang pada waktunya. Tidak ada buah yang matang secara instan. Setiap buah selalu membutuhkan waktu untuk menjadi matang. Saat buah menjadi matang, maka tibalah saat panen.

Sebagai petani, umumnya kita menunggu saat panen. Namun demikian, ada dua tipe menunggu. Pertama, menunggu sambil memikirkan hasil yang akan didapat (result-oriented). Kedua, menunggu sambil menikmati proses merawat kebun/sawah (process-oriented).

Petani yang menunggu saat panen, sambil menikmati proses merawat kebun/sawahnya, akan memiliki harta kesabaran yang lebih banyak, jika dibandingkan dengan petani yang menunggu saat panen, sambil memikirkan hasil yang akan ia dapat.

Mengapa? atau bagaimana teori/penjelasannyanya?

Keheningan akan membantu kita menemukan jawaban/penjelasannya :)

Saat kita berhasil mendapatkan jawaban/penjelasannya, kita akan menjadi lebih sabar. Kesabaran tampak nyata dari wajah yang senantiasa ceria :)

Saturday, September 25, 2010

08. Perasaan "Terhubung" adalah Esensi Keberuntungan

Kita kadang mengaitkan kata “keberuntungan” dengan suatu peristiwa atau objek di luar diri kita, atau dengan kata lain, keberuntungan bersifat objektif. Tetapi, setelah direnungkan lebih lanjut, ternyata keberuntungan adalah sesuatu yang bersifat subjektif.

Keberuntungan adalah perasaan yang  dirasakan oleh individu. Kadar perasaan tersebut, dapat berbeda-beda dalam diri setiap orang. Seringkali, kadar perasaan tersebut menurun atau berkurang, khususnya pada saat kita mengalami peristiwa yang buruk. Kita sering mengungkapkannya dengan kata-kata, “…hari ini saya kurang beruntung…”

Ketika perasaan kurang beruntung hadir dalam diri kita, kita dapat merefleksikan bahwa kita cenderung merasa kurang atau bahkan kehilangan semangat. Kita menjadi tidak ingin melakukan apa-apa. Demikian sebaliknya, saat kita merasa beruntung hari ini, kita merasa lebih bersemangat.

Untuk membuat perasaan beruntung lebih stabil, bukan tergantung pada peritiwa di luar diri kita (yang seringkali kurang stabil), kita perlu mencari esensi dari perasaan beruntung. Esensi dari perasaan beruntung adalah “ingatan” bahwa kita selalu terhubung dengan “Orangtua” kita. Orangtua adalah sosok yang memberikan kita pengetahuan, kasih sayang, rasa aman/tentram, rasa damai, dan lain-lain. Ingatan terhadap berbagai kebaikan dari Orangtua kita,  membuat kita merasa sangat beruntungberuntung jutaan kali… :-) 

Perasaan "terhubung" dengan Orangtua, bersifat subjektif. Bagaimanapun peristiwa yang kita alami, jika perasaan "terhubung"  yang kita miliki bersifat akurat dan stabil, maka kita akan merasa beruntung dan didukung.

Perasaan beruntung dan didukung membuat kita senantiasa bersemangat :)

Friday, September 24, 2010

02. Sebab-Akibat Perilaku Menolong

Pertolongan yang kita berikan kepada orang lain, terbagi menjadi  empat jenis. Jenis pertama adalah pertolongan yang kita berikan, karena kita merasa takut terhadap sesuatu, dan pertolongan tersebut membuat orang lain menjadi tergantung/lemah.

Jenis kedua, adalah pertolongan yang kita berikan karena kita takut terhadap sesuatu, namun membuat orang yang kita tolong menjadi lebih mandiri.

Jenis ketiga, adalah pertolongan yang kita berikan karena kita ingin membagi rasa senang yang kita miliki, atau kita senang dengan kegiatan terkait, namun akibat dari pertolongan kita membuat orang lain menjadi tergantung.

Jenis keempat adalah pertolongan yang kita berikan karena kita ingin membagi rasa senang yang kita miliki, atau kita senang dengan kegiatan terkait, dan membuat orang lain yang kita tolong menjadi mandiri.

Jenis pertolongan yang ideal adalah pertolongan jenis keempat. Mereka yang kita tolong tetap merasa bahagia dan setara, atau tidak merasa direndahkan. Di samping itu, mereka juga akan menjadi mandiri, bukan menjadi tergantung.

Orang yang mandiri dan senantiasa merasa bahagia, akan mampu menolong sesama secara tulus/iklas :)

Thursday, September 23, 2010

06. Kerjasama Tidak Harus Konflik

Dalam mengerjakan suatu tugas besar, kita pasti berhubungan/bekerjasama dengan orang lain. Nah… seringkali kita berpikir bahwa konflik terjadi pada saat kita berhubungan/bekerjasama dengan orang lain. Bahkan kita menganggap bahwa konflik adalah suatu hal yang wajar

Adalah suatu keganjilan dalam berpikir, bahwa “konflik adalah suatu yang wajar pada saat kita bekerja sama dengan orang lain”. Keganjilan tersebut dapat kita validasi dengan perasaan kita. Dalam hati kecil, saat terjadi konflik dengan orang lain, pasti kita akan merasakan hal yang tidak enak. Jika kita diminta memilih, tentu kita memilih untuk tidak ada konflik. Saat terjadi konflik, kita menjadi lebih sulit untuk berhubungan/bekerjasama dengan orang lain; dan jika konflik menjadi lebih parah, apakah tugas besar bisa terselesaikan?; dan apakah kita masih berpikir bahwa konflik adalah suatu yang wajar?

Umumnya, konflik terjadi karena kita berpikir bahwa tingkah laku atau jalan pikiran orang lain tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita menganggap orang lain berpikir atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai (dengan yang kita pikirkan/inginkan).

Hal pertama yang perlu dilakukan untuk menghindari/mengatasi konflik adalah berpikir bahwa kita tidak dapat mengubah kepribadian orang lain. Jangan sampai kita berpikir bahwa kita tidak mau bekerjasama dengan orang lain, karena alasan kepribadiannya.

Dengan memiliki buah pikiran bahwa kita tidak cocok dengan kepribadian orang lain, kita sudah mengizinkan sosok/bibit konflik, hadir di antara diri kita dan orang lain. Buah pikiran yang perlu kita miliki adalah: “Dengan sikap rendah hati, di dalam setiap kesempatan berhubungan dengan (kepribadian) orang lain, kita selalu akan mendapatkan satu hal/informasi/pengalaman/pelajaran berharga.”  

Singkat kata, kerjasama yang baik dapat dilakukan, jika kita senantiasa memiliki buah pikiran “kita belajar dari orang lain” daripada memiliki buah pikiran “kita ingin mengajar/berusaha mengubah orang lain”.

Wednesday, September 22, 2010

08. Garis Keturunan "saya"

Kesadaran mengenai siapa saya adalah hal yang penting. 

Kesadaran mengenai siapa saya memengaruhi kemampuan dan kemauan kita dalam bertingkah laku. Misalnya, kesadaran bahwa saya adalah seorang Ketua RT, membuat kita mau dan mampu menjaga tingkah laku kita. Jika kita benar-benar berada dalam kesadaran tersebut, kita tentunya akan menjaga nama baik kita sebagai Ketua RT.

Kesadaran bahwa saya adalah seorang Ketua RT, membuat kita merasa bertanggungjawab atas keamanan dan kesejahteraan warga di lingkungan kita. Kita menjadi mau dan merasa mampu untuk mencari solusi untuk berbagai permasalahan yang berkenaan dengan warga lingkungan kita. Kesadaran sebagai Ketua RT membuat kita mau/mampu, membuka dan memanfaatkan berbagai akses yang kita miliki.

Permasalahannya, seberapa akurat kesadaran kita mengenai siapa saya

Renungkanlah bahwa saya adalah jiwa...

Dengan logika yang sama, kesadaran bahwa saya adalah jiwa membuat kita mau/mampu, membuka dan memanfaatkan setiap akses dari kualitas jiwa. Jiwa, apalagi Jiwa Utama (Sang Sumber), memiliki kualitas dan sumber daya yang melampaui apapun. Kesadaran bahwa saya adalah jiwa, membuat kita mampu mengakses sumber energi yang sesungguhnya, dibandingkan dengan kesadaran bahwa saya adalah badan.

Perluasan dari kesadaran bahwa saya adalah badan/tubuh ini, adalah kesadaran yang berhubungan dengan identifikasi:  (a) jenis kelamin, (b) jabatan dalam pekerjaan, (c) status sosial, (d) level pendidikan, (e) jumlah harta kekayaan, (f) status pernikahan, dan lain-lain; yang pada intinya, dapat membatasi kemauan dan kemampuan kita.   

Cobalah... rasakan perbedaan kenikmatan hidup ini, dengan kesadaran "saya adalah jiwa...."

Tuesday, September 21, 2010

03. Pengaruh Rasa Senang terhadap Kerendahan Hati atau Pengaruh Kerendahan Hati terhadap Rasa Senang?

Kita perlu menyenangi dan menikmati aktivitas yang kita lakukan. Saat kita menikmati aktivitas yang kita lakukan, kita tidak lagi mengharapkan pengakuan dari orang lain. Bagaimana logikanya?

Adakalanya kita ingin mengatakan atau setidaknya kita mengharapkan bahwa kontribusi positif yang ada di lingkungan, adalah karena “saya”. Kita ingin sekali mendapat pengakuan dari orang lain. Almarhum Asmuni (pelawak Srimulat), sering menyindir hal ini dengan lelucon “…untung ada saya... :) :) :) “

Hal yang perlu diketahui adalah, semakin kita ingin mendapatkan pengakuan, semakin (pikiran) kita terikat. Terikat dengan harapan yang kadang tidak terwujud.

Sumber cinta dan perhatian yang sesungguhnya, bukan dari orang lain, tetapi dari Sang Sumber (Tuhan YME, Allah, Bapa di Surga, Ida Sang Hyang Widi, atau apapun sebutan-Nya…) dan jangan lupa… dari Diri Sendiri :)

Tanpa perlu diharap-harap, Sang Sumber sebenarnya sudah memberikan pengakuan dan cinta kasih. Begitu pula pengakuan dan cinta kasih dari Diri Sendiri. Rasa senang terhadap aktivitas yang kita lakukan, adalah bentuk perhatian dan cinta kasih dari Sang Sumber dan dari Diri Sendiri.

Saat kita menyenangi dan menikmati aktivitas dalam mengerjakan tugas, kita sudah mendapatkan perhatian dan cinta yang penuh dari Sang Sumber dan Diri Sendiri. Dengan dua sumber itu, wadah kepuasan/kebahagiaan kita, seharusnya sudah penuh, bahkan luber.

Apakah kita masih menginginkan pengakuan (perhatian dan cinta) dari orang lain?

Kalau jawabannya “iya”, kita perlu sedikit merendahkan-hati, agar perhatian/cinta kasih dari Sang Sumber dan Diri Sendiri dapat lebih mengalir. Seperti halnya air; secara alami, air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah :)

Monday, September 20, 2010

09. Berani Menghargai Waktu

Kita merasa tidak puas dengan pemanfaatan waktu (kemarin maupun hari ini); namun, saat kita menjalani waktu (kemarin maupun hari ini), kita berpikir bahwa nanti/besok, masih ada waktu. Kita merasa selalu kekurangan waktu; namun di lain pihak, kita senantiasa menyempatkan waktu untuk melihat/mendengarkan/mendiskusikan perkembangan gosip terbaru.

Saat kita tersadar bahwa kita sedang mendengarkan/mendiskusikan perkembangan gosip terbaru bersama rekan, dengan penuh kerendah-hatian, kita perlu mengajukan permisi. Kita dapat mengatakan kepada rekan, misalnya dengan ucapan, "...saat ini saya sedang mengerjakan tugas, yang deadline-nya adalah hari ini....apakah rekan berkenan bertemu lagi, setelah saya menyelesaikan tugas (atau setelah bertemu dengan atasan/klien)…"

...atau jika kita berhasil, kita mencoba mengarahkan topik yang sedang didiskusikan dengan rekan kita, menjadi topik yang lebih konstruktif (sehubungan dengan tugas yang akan/sedang diselesaikan). Tawarkan kepada rekan, apakah ia berkenan bergabung (mau membantu) dalam tugas yang akan/sedang diselesaikan :)

11. Tanda Titik dalam Pikiran

Alinea yang terlalu panjang, tanpa tanda baca (khususnya tanda titik), akan sulit dipahami oleh pembaca. Pembaca akan merasa kelelahan mengikuti alur bacaan dalam alinea yang dimaksud. Untuk itu, kita perlu (berani) meletakkan tanda titik dalam alinea yang dimaksud.

Tanda titik adalah symbol untuk menghentikan suatu kalimat. Dalam satu hari, kita tentunya dapat merasakan bahwa buah pikiran (kalimat) senantiasa hadir atau bermunculan dalam pikiran kita. Dengan logika yang sama - bahwa alinea akan lebih mudah dipahami, jika diberikan tanda baca (titik) - maka kita perlu (berani) menghentikan buah pikiran sejenak (meletakkan tanda titik), di sela-sela waktu beraktivitas.   

Dengan meletakkan tanda titik di sela-sela waktu beraktivitas, berbagai buah pikiran (kalimat) akan menjadi lebih sederhana. Kalimat/buah pikiran yang sederhana/rapi, akan lebih mudah dipahami. Pemahaman terhadap berbagai buah pikiran yang kita miliki, membuat kita merasa lebih puas/bahagia.

Sunday, September 19, 2010

12. the Real Assessment

Keheningan memungkinkan kita memeriksa pikiran dan perasaan yang terpendam. Pemeriksaan tersebut tidak dimungkinkan pada saat kita tidak dalam kondisi hening. Pikiran dan perasaan yang terpendam tersebut, adalah “bibit-bibit halus” dari perilaku kita sehari-hari.

Latihan keheningan (dengan menyediakan waktu untuk merenungkan pengetahuan mengenai nilai-nilai kehidupan), memberikan sarana kepada kita, untuk melakukan perubahan pikiran dan perasaan yang terpendam tersebut, ke arah yang lebih baik.  

Ada lima tanda, bahwa latihan kita sudah membuahkan hasil, yaitu: (a) adanya perasaan percaya diri yang disertai dengan rendah-hati, (b) adanya perasaan cinta yang tulus, namun tidak mengikat, (c) adanya rasa tanggung jawab, tanpa perasaan terbebani, (d) adanya sikap tegas yang disertai sikap toleransi/empati terhadap orang lain, serta (e) adanya kreativitas untuk menciptakan buah pikiran yang menimbulkan perasaan damai, bahagia, dan wajah ceria :) 

Saturday, September 18, 2010

11. Hidup Nyaman Dimulai dengan Pikiran yang Sederhana

Ada saat-saat tertentu, di mana kita tersadar bahwa diri kita berpikir tentang pengalaman masa lalu atau tentang  masa depan yang mencemaskan; padahal, kita tidak menginginkan (tidak sengaja) memikirkannya. Saat kita berada dalam kondisi seperti itu, kita perlu bertanya, "Apakah kita mendapat manfaat dari cara berpikir seperti itu?" 

Kalau jawabannya “tidak”, lebih baik kita  “meminta” pikiran kita, untuk memikirkan satu point yang lebih bermanfaat, khususnya untuk hari ini. Meskipun pada awalnya hal ini mungkin agak sulit, namun dengan belajar/latihan yang konstan, kita akan menjadi terbiasa.

Friday, September 17, 2010

05. BALI = Banyak Libur

Saat kita mendapatkan kesempatan untuk berlibur, umumnya kita memanfaatkannya untuk bepergian/jalan-jalan, bertemu kerabat, atau berbelanja sesuatu. Bepergian/jalan-jalan, bertemu kerabat, atau berbelanja, bukan sesuatu hal yang tidak penting. Namun kita boleh bertanya, apakah salah satu tujuan liburan, yaitu untuk membebaskan diri dari stres, tercapai?

Ada pernyataan bahwa stres dapat diredakan dengan adanya “perubahan suasana”. Suasana yang sering dimaksud dalam hal ini adalah liburan. Berkaitan dengan pernyataan tersebut, kita perlu sepakat dahulu apa yang dimaksud dengan “perubahan suasana”.

Suasana dapat terbagi menjadi dua, yaitu suasana eksternal/lingkungan dan suasana internal/suasana hati.  Dengan demikian, kita dapat mengkritisi makna dari “perubahan suasana”; apakah perubahan suasana di luar (lingkungan) memengaruhi perubahan suasana di dalam (hati dan pikiran); Apakah suasana di dalam (hati dan pikiran), menjadi lebih nyaman, saat terjadi perubahaan suasana di luar (dari suasana kantor/sekolah ke suasana liburan).

Saat kita mengatakan “ya”, pada pertanyaan di atas, kita perlu memastikan bahwa jawaban tersebut sesuai dengan yang dirasakan.  Kebebasan dari stres adalah suatu perasaan yang sungguh dapat dirasakan.  Kebebasan dari stres, tampaknya bukan karena adanya perubahan suasana “di luar,” tetapi adanya perubahan  suasana “di dalam”.

Perubahan suasana “di dalam”, dari kondisi stres menjadi tidak stres, sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, dan dalam kegiatan apa saja. Perubahan suasana “di dalam”, dari kondisi stres menjadi tidak stress, adalah kondisi yang kita dambakan sebenarnya. Sedangkan perubahan suasana “di luar”, walaupun dalam keadaan liburan, kadangkala hanya perubahan adegan (sumber stres) atau perubahan “tempat” terjadinya stres.  

Satu hal yang dapat menjadi tips, agar terjadi perubahan suasana “di dalam”, dari kondisi stres menjadi tidak stress, adalah merasakan nyamannya udara di sekitar kita, nyamannya pijakan lantai yang kita injak saat kita duduk/berjalan, merasakan nyamannya saat-saat menghirup udara segar dalam kehidupan ini, atau nyamannya sandaran/bangku/kursi yang sedang kita gunakan. Intinya, ajak diri kita untuk berlibur (santai dan hening) sejenak, dengan pikiran yang sangat sederhana.

Selamat berlibur dalam pikiran… :)

Thursday, September 16, 2010

01 & 02. Makanan untuk Kehidupan (Tujuan Hidup = Tujuan Makan)

Makanan dapat dibedakan menjadi tiga kategori/jenis.

Kategori pertama, adalah makanan yang murni berasal dari alam (tumbuhan). Makanan jenis ini terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian, dan kecambah.

Kategori kedua, adalah makanan yang berasal dari alam (tumbuhan), namun bersifat merangsang aktivitas indera/sensoris atau diyakini merangsang emosi tertentu (semangat, malas, berani, takut, dsb.). Makanan jenis ini misalnya kopi, teh, cuka, jamur, tembakau, alkohol, bawang, dan rempah-rempah.

Kategori ketiga, adalah makanan yang bersifat kedagingan. Makanan jenis ini umumnya memiliki darah serta mampu bergerak atau berpindah tempat (sebelum menjadi makanan lho ...:). Untuk memakannya, kita sadar/tanpa sadar telah melakukan praktik pembunuhan; praktik pembunuhan tersebut, dilakukan oleh diri sendiri atau kita berdalih dilakukan oleh orang lain (si penjual/si pemberi daging).  Contoh makanan yang bersifat kedagingan ini adalah unggas, daging, dan ikan.

Praktik nilai menghargai dan cinta kasih, dapat dimulai dari diet atau menghindari makanan jenis ketiga. Anjuran ini juga terkadang diberikan oleh dokter, saat kita berada dalam proses penyembuhan. Seringkali dokter akan mengatakan/menyarankan: "...kurangi makan daging...perbanyak makan sayur dan buah..." :)

Banyak tokoh yang telah mempraktikkan diet terhadap makanan jenis ketiga tersebut. 
Link video berikut ini, adalah contoh dari tokoh-tokoh tersebut:  

Wednesday, September 15, 2010

07. Dunia akan Berubah, jika Saya Berubah

Orang pada umumnya menantikan dan menuntut (kepada pihak-pihak yang berwenang), agar lingkungan berubah, ke arah yang lebih baik. Orang pada umumnya meminta kepada pihak-pihak yang berwenang agar berbuat sesuatu, untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.  

Selama agen perubahan tidak berada di tangan kita, kita akan sulit mendapatkan perubahan yang sesuai dengan harapan kita.  Selama kita masih menuntut dan menantikan perubahan, justru kita bukan mendapatkan perubahan yang sesuai dengan harapan kita, tetapi malahan rasa kecewa, kesal, hingga frustrasi.

Daripada kita mendapatkan kekecewaan, lebih baik kita mengubah mindset kita, bahwa “jika saya berubah, maka lingkungan akan berubah”.  Daripada kita berharap bahwa orang lain akan membawa perubahan, lebih baik kita berpikir bahwa diri kita mau dan mampu membawa perubahan positif bagi diri kita sendiri.

Ketika pola pikir kita berubah ke arah yang positif, sikap (cara pandang), serta tindakan kita juga akan berubah. Kita akan menyaksikan bahwa orang-orang dan lingkungan sekitar kita, telah berubah menjadi lebih baik.  Kita akan percaya bahwa dunia sekitar kita, sebenarnya telah memberikan yang terbaik sesuai dengan scenario dari sang maha sutradara.

Tuesday, September 14, 2010

07. Pilot yang Bertanggung Jawab terhadap Mood Penumpang

Ketika berbagai kejadian tidak berjalan sesuai dengan harapan kita, kita cenderung merasakan suasana hati menjadi tidak nyaman. Dalam suasana hati yang tidak nyaman, boleh jadi kita kehilangan semangat; semua buah pikiran, berubah menjadi negatif. Jika kondisi ini kita biarkan, maka keadaan akan semakin sulit.

Kita adalah pilot dari pikiran kita. Hal yang harus kita lakukan, adalah mengambil alih kendali pesawat, agar pesawat (pikiran kita) kembali berada sepenuhnya dalam kendali/kontrol kita.  

Proses mengambil alih kendali pikiran, dapat terjadi dalam hitungan detik, seperti halnya kita menyalakan saklar lampu dari off ke on, dari gelap ke terang. 

Hal yang harus ada di dalam pikiran kita adalah pernyataan: “Saya adalah jiwa yang menjadi penguasa (master) atas pikiran saya… pikiran saya sepenuhnya berada dalam kendali saya….” Dengan kesadaran seperti ini, pikiran tidak lagi mengendalikan kita, tetapi kita yang mengendalikan pikiran.

Monday, September 13, 2010

04. H1: Ketenangan sebagai Mediator Kepuasan dan Kreativitas

Menjadi penuh makna, adalah menjadi berada dalam kondisi di mana kita senantiasa merasa puas. Kadang kita berpikir bahwa merasa puas, identik dengan kondisi di mana kita tidak mau lagi melakukan inovasi, tidak mau lagi mencoba untuk terus berprestasi, bahkan merasa puas identik dengan kemalasan.

Pikiran yang benar (valid) adalah kepuasan identik dengan kebahagiaan.

Adalah hal yang penting bahwa kita terus menerus memastikan bahwa diri kita mengalami kepuasan; kepuasan terhadap berbagai kondisi yang kita hadapi, kepuasan terhadap berbagai hal yang kita lakukan, dan kepuasan terhadap berbagai hasil yang kita capai. Perasaan puas dalam berbagai kondisi dan situasi, menyebabkan makna yang ada pada diri kita, menjadi penuh (penuh makna = bahagia). 

Jika kita merasa tidak puas, kita dapat merefleksikan bahwa pikiran kita, tidak dapat bekerja secara efektif dan efisien. Pikiran yang tidak puas membuat kita menjadi tidak tenang dan tidak fokus terhadap pekerjaan yang sedang kita hadapi. Pikiran yang puas akan membawa ketenangan, dan ketenangan adalah bahan dasar dalam mengidentifikasi masalah dan memunculkan kreativitas; kreativitas dalam mencari dan mengevaluasi setiap solusi.

Sunday, September 12, 2010

06. Bekerjasama melalui Pikiran

Ketika kita sedang mengerjakan tugas besar, kita perlu memastikan bahwa kita melibatkan banyak rekan. Ketika banyak rekan yang terlibat, kita dituntut untuk berkontribusi dalam spesialisasi kita masing-masing. Kontribusi dalam spesialisasi kita, akan membuat tugas (yang sulit jika dikerjakan sendiri) menjadi lebih mudah. 
Kontribusi yang paling halus, yang paling awal, yang membuat sukses tugas besar, dimulai dari niat/pikiran baik; niat/pikiran baik akan tampak dari perilaku saling menghargai ide rekan.

Saturday, September 11, 2010

02. Memiliki Banyak Cinta (Dalam Waktu yang Tidak Terhingga)

Tidak jarang kita memberikan arahan/petunjuk kepada orang tua, anak, saudara, sahabat, kerabat, atau pembantu kita, khususnya saat kita anggap mereka berbuat kesalahan. Tidak ada salahnya, bahwa kita banyak menggunakan logika saat kita memberikan arahan/petunjuk tersebut. Namun, terkadang efek yang diharapkan tidak seperti yang diinginkan. Lalu, kita mempertimbangkan bahwa mereka cenderung berbuat kesalahan, tidak mau mendengarkan, bahkan keras kepala.

Hal yang diharapkan oleh orang tua, anak, saudara, sahabat, kerabat, atau pembantu kita, mungkin bukan sekedar logika. Hal yang kemungkinan besar mereka harapkan adalah keseimbangan antara logika dan hati kita, saat kita memberikan arahan/petunjuk/saran kepada mereka. Untuk itu, kita perlu memiliki banyak cinta.

Memiliki banyak cinta, artinya rela menyediakan waktu untuk mendampingi mereka, berkenan mendengarkan penjelasan mereka, memberikan bantuan  (informasi & materi) yang dibutuhkan, serta senantiasa menunjukkan emosi positif (perasaan  tenang & senang) kepada mereka.

Miliki keyakinan (dalam waktu yang tidak terhingga) bahwa arahan/petunjuk/saran kita, suatu saat akan dapat memiliki efek seperti yang diharapkan.

Friday, September 10, 2010

04. Pencapaian Harapan

Adalah hal yang baik untuk menyampaikan suatu harapan.  Harapan yang terbaik kepada teman/sahabat/kerabat/saudara, dapat kita sampaikan misalnya dengan cara: "Saya berharap Anda mendapat yang terbaik dalam melakukannya. Namun, jika Anda tidak mencapainya, kita tidak perlu merasa frustrasi; sebab, kita tidak tergantung dari tercapai/tidaknya harapan kita. Penerimaan kita terhadap tercapai/tidaknya harapan, justru adalah hal yang terbaik dalam setiap kondisi. "

07. Perjalanan Karir Seorang Aktor

Di atas keyakinan bahwa sesuatu akan terjadi, ada Drama yang sudah di-scenario-kan dengan sangat baik. Setiap scenario pada dasarnya sempurna; Aktor dalam scenario akan dipandang baik, jika ia memainkan perannya dengan penuh penerimaan. Penerimaan terhadap peran, akan membuat kita (sebagai aktor) berusaha sungguh-sungguh, tanpa pamrih terhadap hasil. Pujian terhadap aktor dan perjalanan karir dari seorang aktor, bukan dilihat dari peran apa yang dimainkan, tetapi dari bagaimana kesungguhan (cara/metode) aktor memainkan peran yang diberikan kepadanya. 

Thursday, September 9, 2010

01. Pengetahuan dan Pemahaman = Berkat Sejati

Kita mengalami peristiwa/situasi negatif maupun positif dalam hidup kita. Ketika kita dihadapkan pada peristiwa/situasi negatif, biasanya kita mengharapkan berkat dari Yang Maha Esa atau dari seseorang yang kita anggap hebat/mampu menyelesaikan situasi negatif yang sedang kita alami. Namun demikian, harapan tersebut kadang tidak tercapai (atau tidak terkabul).

Metode untuk mengatasi/menyelesaikan peristiwa/situasi negatif, adalah dengan menerima peristiwa/situasi tersebut dan berusaha belajar sesuatu dari peristiwa yang dialami. Belajar sesuatu dari peristiwa yang dialami, adalah berusaha untuk mengetahui dan memahami poin/nilai yang relevan untuk diterapkan.

Berkat sejati dari Yang Maha Esa, adalah pada saat kita mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai poin/nilai tertentu dari suatu peristiwa. Dengan pengetahuan dan pemahaman mengenai poin/nilai yang relevan dalam suatu peristiwa, berarti kita telah mendapatkan berkat. Berkat tersebut menurunkan potensi terulangnya peristiwa/situasi negatif, di waktu mendatang. Pengetahuan dan pemahaman mengenai poin/nilai yang relevan dalam suatu peristiwa, juga menghindarkan kita, dari rasa penyesalan dan sikap saling menyalahkan.

Tuesday, September 7, 2010

05. Bebas dari Pengaruh Orang Lain

Seberapa sering kita terpengaruh oleh pendapat orang lain tentang diri kita? Seberapa sering kita terpengaruh oleh pikiran mengenai bagaimana orang lain melihat diri kita? Kondisi dimana kita selalu bertingkah laku berdasarkan pendapat/keinginan/harapan orang lain tentang diri kita, memungkinkan orang lain memiliki kekuasaan atas diri kita, secara lahir dan batin.

Dalam kesadaran terhadap diri sendiri, ada dua kondisi pikiran yang bermain, yaitu: (a) kondisi bagaimana kita berpikir orang lain melihat diri kita (atau bagaimana kita ingin orang lain melihat diri kita), dan (b) kondisi bagaimana kita melihat diri sendiri.

Untuk merasa lebih nyaman, ada baiknya kita lebih mengutamakan kondisi bagaimana kita melihat diri sendiri, daripada terkondisi dengan pandangan bagaimana kita berpikir orang lain melihat diri kita (atau bagaimana kita ingin orang lain melihat diri kita). Vibrasi dari perasaan nyaman yang kita rasakan, atas hasil dari kondisi tersebut, akan divalidasi oleh perasaan nyaman orang lain.

Metode di atas adalah salah satu metode untuk merasakan kebebasan dalam pikiran kita. Berikan kebebasan atau porsi yang lebih banyak kepada diri kita, dalam memandang/melihat dirinya sendiri.

Hal ini, dapat kita praktikkan, sambil berjalan kaki menuju tempat kegiatan. Dengan cara seperti ini, kita tidak perlu mengenakan topeng untuk mengatasi kekhawatiran terhadap apa yang orang lain katakan atau pikirkan.

Monday, September 6, 2010

01. Selalu ingat Satu Keistimewaan dalam Diri Kita

Untuk membebaskan diri dari kelemahan dan tetap bekerja atas dasar kebajikan, kita harus memastikan bahwa ingatan kita selalu tertuju pada self-respect. Self-respect adalah usaha untuk menghargai keistimewaan yang ada dalam diri. Ketika kita sadar satu keistimewaan (value/virtue) yang ada dalam diri kita, emosi kita menjadi senantiasa stabil.

Saturday, September 4, 2010

12. Keheningan membantu Kita Berpikir Positif sebelum Berbicara

Untuk mengatasi kemarahan, seseorang harus menggunakan metode hening. Latihan untuk hening adalah belajar “mengerem” pikiran dan lidah. Hal ini sangat membantu kita untuk berpikir, sebelum berbicara, serta menyelamatkan kita dari banyak konfrontasi dengan orang lain. Keheningan sebelum berbicara membuat kita senantiasa berespons positif, bahkan sekalipun pada situasi negatif.

Friday, September 3, 2010

04. Tetap Senantiasa Ceria :)

Ketika sesuatu yang negatif terjadi, kita berpikir bahwa hampir seluruh pikiran kita diisi oleh buah pikiran yang negatif tentang situasi atau orang lain. Kita berusaha keras untuk menghilangkan pikiran ini, namun pada kenyataannya pikiran-pikiran itu selalu datang kembali ke pikiran kita. Dengan pikiran seperti itu, tampak bahwa kondisi kita selanjutnya menjadi lebih buruk dan kita merasa sulit untuk tetap ceria.

Dalam situasi seperti itu, yang perlu kita lakukan adalah bukan mencoba untuk menghilangkan pikiran negatif, tetapi adalah memberikan diri kita suatu buah pikiran yang positif untuk dipikirkan. Ketika pikiran kita sibuk berpikir tentang hal yang positif, tidak akan ada ruang untuk pikiran yang negatif. Dengan cara ini, kita akan dapat terus-menerus ceria bahkan dalam situasi yang paling negatif.

Thursday, September 2, 2010

05. Bebas dari Kelemahan dalam Pikiran Kita

Biasanya, kita merasa bahwa tidak ada cukup waktu bagi diri sendiri; dan kita juga merasa tidak ada waktu luang bagi orang lain. Semakin kita berpikir tidak ada waktu untuk diri sendiri, semakin kita berpikir tidak ada waktu bagi orang lain. Akhirnya, kita menemukan bahwa waktu terlewati begitu saja tanpa membawa manfaat apapun, baik bagi orang lain atau bagi diri kita sendiri.

Daripada khusus meluangkan waktu bagi diri sendiri, lebih baik kita membantu orang lain di manapun kita berada. Hal ini bisa kita lakukan hanya jika kita bebas dari kelemahan dalam pikiran. Bebas dari kelemahan dalam pikiran, berarti tidak ada waktu sedikit pun bagi kita untuk memikirkan kekurangan kita maupun kekurangan (sifat negatif) orang lain.

Wednesday, September 1, 2010

03. Sedikit Bicara + Manis, Sopan, & Lembut dalam Berbicara

Kadang-kadang, ketika suatu penjelasan hanya memerlukan beberapa kata, kita terus berbicara dan memperluas topik untuk waktu yang lama. Kadang kala kita menggunakan kata-kata yang panjang lebar, dari yang sebenarnya diperlukan. Kita memberikan pembenaran untuk hal ini, bahwa orang lain tidak mudah untuk mengerti atau orang lain perlu memahami diri kita. Pada kenyataannya, justru kata-kata yang berlebih (panjang lebar) dapat mengganggu orang lain atau berpotensi untuk merusak hubungan.

Sehubungan dengan hal itu, kita perlu secara konstan memerhatikan kata-kata yang kita ucapkan. Kita perlu memeriksa apakah kita menggunakan kata-kata yang berlebih atau memang kata-kata yang diperlukan. Ada sebuah slogan sederhana yang mungkin dapat senantiasa mengingatkan diri kita, "speak sweetly, speak softly, & speak less". Mudah-mudahan, ingatan kita terhadap slogan tersebut, membuat kata-kata kita efektif dan tidak akan pernah mengganggu orang lain.

01. Memahami dan Mengatasi Ketakutan

Kita mungkin merasa takut terhadap sesuatu. Selama hidup, kita semua punya rasa takut pada beberapa hal. Satu rasa takut, akan menimbulkan ketakutan lainnya. Misalnya, rasa takut akan kematian, menimbulkan rasa takut pada kondisi sakit, atau takut pada kondisi kecelakaan. Takut akan penolakan orang lain, berasal dari rasa takut jika dianggap berbeda; ketakutan bahwa orang lain akan marah dan menunjukkan agresivitanya, takut bahwa mereka akan membenci kita. Takut menerima tanggung jawab yang lebih besar atau takut akan keberhasilan, berasal dari rasa takut untuk lelah berhubungan dengan orang lain. Takut terhadap kegagalan, menyebabkan rasa takut untuk membuat kesalahan, takut mengambil risiko, takut mengambil keputusan, dan takut tidak diakui di tempat kerja.

Menghilangkan rasa takut dan membebaskan pikiran memerlukan pengetahuan yang luas tentang diri kita. Nurani/akal budi kita harus membangunkan pikiran kita untuk menyadari apa asal ketakutan kita dan bagaimana mengatasinya. Ketakutan bagaikan sebuah cabang pohon. Kita bisa saja memotong cabang demi cabang, tapi cabang lain atau rasa takut akan tumbuh kembali.

Untuk mengatasi rasa takut, kita harus pergi ke akar, bahkan ke benih. Akar dan benih adalah karakter baik dan nilai-nilai positif yang ada dalam diri kita. Pergilah ke akar bahkan ke benih yang penuh dengan pengetahuan sejati tentang kehidupan, dalam suasana gembira yang penuh dengan keheningan.