Saturday, May 17, 2014

03 & 09. Kedokteran Jiwa, Super Spesialis Bedah-Pikiran (Sp. KJ, Sp. BP)

Tahap awal untuk meningkatkan kemampuan konsentrasi adalah menyadari dan mengenali hal yang menyebabkan kita tidak dapat berkonsentrasi.
Tidak berkonsentrasi adalah kondisi pada saat kita memikirkan hal yang tidak seharusnya kita pikirkan. Misalnya memikirkan apa?
Berdasarkan diskusi dengan Ayah saya, hal yang paling sering kira pikirkan, namun seharusnya tidak kita pikirkan, misalnya memikirkan nama dan bentuk (dari sosok tertentu).
Jadi... tidak boleh memikirkan nama dan bentuk dari sosok tertentu ya?
Boleh saja... asal... dilakukan pada saat kita sedang belajar mengenai tokoh sejarah... apalagi kalau besok ujian / ulangan / kuis... hehehe...
nah... kalau memikirkan nama dan bentuk (dari sosok tertentu), selain untuk kegiatan belajar mengenai tokoh sejarah, bagaimana?
Boleh sih, tapi... siap-siap konsentrasi kita terhadap materi pelajaran / pekerjaan akan menurun... (apalagi kalau nama dan bentuk dari sosok tersebut, bukan bagian pokok dari materi pelajaran / pekerjaan)
Kata Ayah saya (yang berprofesi sebagai Dokter Ahli Bedah-Pikiran), kondisi terlalu sering memikirkan nama dan bentuk (dari sosok tertentu), adalah suatu jenis penyakit (kelompok jenis penyakit tersebut mohon bantuan dicek di kamus Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, sudah ada atau belum nama diagnosisnya....; kalau belum ada, nanti boleh kita usulkan...). 

Sadar atau tidak sadar, mau atau tidak mau, ingatan terhadap nama dan bentuk, merupakan kondisi yang cukup banyak mengambil (menyedot) porsi energi pikiran. Ingatan terhadap nama dan bentuk dapat diibaratkan seperti penyakit kanker...
Menurut Beliau, cara mengobati penyakit ini adalah dengan mengutarakan kepada-Nya, tentang nama dan bentuk tersebut, setelah kita menyadarinya sebagai penyebab gangguan konsentrasi.
Dengan mengutarakan kepada-Nya, dan menyatakan bahwa kita ingin penyakit ini sembuh/hilang, dan yang ada hanyalah pikiran yang sangat bersih, jernih, dan berguna, Beliau secara profesional akan membedah dan mengangkat penyakit tersebut dari pikiran kita. Wauww... bagaimana mekanismenya ya... PR bagi ilmuwan psikologi untuk menjelaskan cara kerja sang Dokter Ahli Bedah-Pikiran secara teoretis, serta merancang metode eksperimen untuk membuktikannya secara empiris...
Pasca operasi, Ayah sebagai sang Dokter Ahli Bedah-Pikiran selalu berpesan kepada para pasien-Nya: “Ibu/Bapak/Sdr./Anak-anak yang termanis, setelah Saya angkat penyakit ini, mohon menjaga pikiran lho ya... pikir-kan hanya hal-hal yang bersih saja, jangan pikir-kan nama dan bentuk lagi... kecuali sedang menghadapi ujian / ulangan / kuis sejarah, supaya bisa dapet 95, 99, atau 100...
Lalu pasien-Nya menjawab: “Iya Dok...Terima kasih banyak Dok... Nanti kalau saya sakit lagi, mohon jangan bosen ya Dok
Lhoo... belum pulang dari Dokter, si pasien kok malah sudah ada rencana sakit lagi... :-)

Saturday, May 10, 2014

03. Sisi Positif si Pengemis

Arti Pengemis dalam tulisan ini adalah jiwa yang hanya mengingat satu hal, yaitu hanya mengingat berkah dari yang Dimuliakan. Dengan mengingat-Nya, pengemis menerima berkah pengetahuan, kebenaran, dan kekuatan toleransi.

Berkah-berkah tersebut akan membebaskan sang pengemis dari ketakutan, kebencian, dan kemarahan yang terus-menerus mencoba datang kepadanya J

Pengemis yang memiliki dedikasi tinggi terhadap “kepengemisannya”, akan meneruskan berkah pengetahuan, kebenaran, dan kekuatan toleransi yang dimilikinya kepada pengemis lain.

Pengemis yang penuh dengan pengetahuan dan sikap toleransi, akan memberikan pelayanan kepada pengemis lain agar pengemis lain menjadi setara dengan yang Dimuliakan :-)

Saturday, February 22, 2014

05. TIDAK ada BEDA..., TAPI kok ber-BEDA?


Beberapa rekan saya bertanya, apa sih bedanya orang yang makan-daging dan tidak-makan-daging? (apakah buah pikirannya, kata-katanya, perbuatannya, kesehatannya, nasibnya berbeda, atau apanya yang berbeda?)

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, lebih baik kita pahami bahwa sebenarnya rekan-rekan tersebut ingin bertanya mengenai hal yang lebih mendasar, yaitu: “Apakah tidak-makan-daging memberikan efek/pengaruh terhadap buah pikiran, kata-kata, perbuatan, kesehatan, atau nasib individu?”

Pertanyaan, “Apa bedanya orang yang makan-daging dan tidak-makan-daging?” boleh-boleh saja kita jawab.

Namun, ketika kita sampai pada jawaban, bisa saja jawaban kita terbentur pada hasil analisis bahwa TIDAK ADA BEDA antara orang yang makan-daging dan tidak-makan-daging.

Orang yang makan-daging dan orang yang tidak-makan-daging, sama-sama bisa memiliki buah pikiran yang baik; sama-sama bisa mengucapkan kata-kata yang baik, sama-sama bisa melakukan perbuatan yang baik, sama-sama memiliki kesehatan yang baik, dan sama-sama memiliki nasib yang baik; pokoknya TIDAK ADA BEDA...

Tapi... dalam proses memperoleh jawaban (dalam proses menganalisis data), ada kalanya kita melupakan berbagai variasi internal-individu dan variasi external-individu dari para sahabat kita yang mewakili kelompok orang yang makan-daging dan yang mewakili kelompok orang tidak-makan-daging.

Berbagai variasi internal-individu, misalnya: kecerdasan, riwayat kesehatan, berat-badan, usia, dsb.; sedangkan berbagai variasi external-individu, misalnya: kesempatan sekolah, kondisi keuangan, pendampingan orang tua, kondisi tempat tinggal, dsb.

Sulit sekali bagi kita untuk menemukan sekelompok sahabat yang makan-daging setara (equal) dengan para sahabat yang tidak-makan-daging...baik setara pada variasi internal-individu maupun setara pada variasi external-individu.

Menemukan dua orang yang memiliki variasi setara saja sulit, APALAGI menemukan sekelompok orang yang memiliki variasi yang setara. wauww...

Kesulitan tersebut sebenarnya membuat kita TIDAK BOLEH membandingkan (buah pikiran, kata-kata, perbuatan, kesehatan, atau nasib) antara para sahabat yang makan-daging dan para sahabat yang tidak-makan-daging.

Nah kalau begitu Bro..., kita perlu hati-hati sekali dalam usaha menjawab pertanyaan "Apakah tidak-makan-daging memberikan efek/pengaruh terhadap buah pikiran, kata-kata, perbuatan, kesehatan, atau nasib individu?"

Dan ingat....jangan terlalu berani berpikir: “Jadi kesimpulannya... wah kalau begitu sia-sia ya kalau tidak-makan-daging, toh... ternyata sama saja tuh orang yang makan-daging dan orang yang tidak-makan-daging.”

Menghadapi kesulitan untuk menyetarakan (membuat equal) dua kelompok orang, sangat dianjurkan bagi kita untuk memodifikasi pertanyaan di atas, menjadi:
  • “Apakah ada perbedaan (buah pikiran, kata-kata, perbuatan, kesehatan, atau nasib individu) pada saat makan-daging dan pada saat tidak-makan-daging?”
  • atau, “Apakah ada perubahan buah pikiran, kata-kata, perbuatan, kesehatan, atau nasib individu, sebelum tidak-makan-daging dan setelah tidak-makan-daging?

Lalu apa/bagaimana jawabannya?

Nah.., mohon izin dan perkenan Bapak/Ibu/Mba’/Mas, secara langsung meminta jawabannya dari sahabat yang dahulu (12 tahun yang lalu) makan-daging, namun saat ini (sekarang) tidak-makan-daging... hehehe...

Kalau saya boleh ber-hipotesis, maka beberapa jawaban yang akan kita peroleh dari sahabat kita adalah sebagai berikut:

bahwa setelah tidak-makan-daging, maka...
  • buah pikiran menjadi lebih bersih atau lebih sederhana;
  • kata-kata menjadi lebih banyak dipertimbangkan/diseleksi, sebelum diutarakan kepada orang lain;
  • perbuatan menjadi lebih ekspresif (ringan/tidak merasa sebagai beban dalam melakukannya);
  • kesehatan menjadi lebih prima, banyak rekan yang memberi komentar awet muda;
  • dalam hal nasib, menjadi lebih sering merasa bahagia/gembira.
dibandingkan dengan sebelum tidak-makan-daging.

hehehe... hayo...sekarang waktunya kita ambil data, kita tanyakan langsung kepada para sahabat yang saat ini tidak-makan-daging, namun dahulu (12 tahun lalu) masih makan-daging.

ciie... sudah Bab III ya Bro...ambil (kumpulin) data ya Bro... bukan nyebar data lho ya... kalau nyebar data... nanti data-nya tersebar-sebar, ngga’ balik-balik... hehehe...

Wednesday, February 12, 2014

04. Beruntung Jutaan Kali



Waktu kelas 3 SD, saya pernah ditegur oleh Ibu Guru, gara-gara saya mengucapkan kata “sialan”

Waktu itu, saya kurang paham makna yang sebenarnya dari kata “sialan”, namun setelah saya ditegur, saya mulai paham, bahwa kata “sialan” ternyata masuk kategori “kata-kata yang terlarang” atau pantang diucapkan... Terima kasih Ibu Rini :-)

Waktu berlalu, hingga entah mulai kapan, saya menjadi mengerti dan suka dengan makna kata “Untung...”; saya belajar dari stereotype orang Jawa yang katanya sering mengucapkan kata “Untung...”, apapun kondisinya...

Contohnya:
·         Untung... hujannya hanya sebentar.
·         Untung... tetap bisa sampai tujuan, walaupun kehujanan di jalan.
·         Untung... banjirnya hanya di jalan, nggak sampai masuk ke dalam rumah.
·         Untung... ngga’ ada perabot elektronik yang kena.
·         Untung... airnya cepat surut.
·         Untung... ada yang bantuin ngangkat perabot.
·         Untung... punya sahabat yang selalu mau mendengarkan.
·         Untung... bahwa saya mengetahui hal ini sejak awal.
·         Untung... ada tugas kuliah yang membuat pikiran saya tidak sempat memikirkan hal negatif.
·         Untung... masih ada waktu, buat menyelesaikan satu / dua rencana.
·         Untung... pokoknya selalu beruntung...

Apapun kondisinya, ternyata masih beruntung ya...

Untung... ada Ibu Guru yang menegur saya :-) Terima kasih Ibu Rini :-)