Sunday, June 23, 2013

10. Risiko Berbuat Baik bagi Orang Baik

Saat ada waktu sejenak untuk ngobrol-ngobrol, teman saya sekalian curcol....
  • “itu gimana sih supir taksi... sudah dikasih lebihan, bukannya bilang terima kasih, malah mukanya cemberut...”
  • “itu gimana sih karyawan... sudah dinaikkan gajinya, bukannya tambah rajin, ehh malah mukanye teteup jutek...dasarr... nggak tahu diuntung...”

Sebagai pendengar yang baik, tentunya kita turut berempati bagaimana perasaan teman tersebut saat menceritakan apa yang dialaminya. Hati-hati, maksud saya empati !! bukan malahan manes-manesin teman tersebut lho ya :-)

Saya yakin bahwa teman tersebut bukan tidak tulus atau tidak ikhlas memberi kebaikan...

Ikhlas/tulus sudah dilakukannya sebelum memutuskan berapa jumlah lebihan yang akan diberikan kepada supir taksi; atau pada kasus kenaikan gaji, ikhlas/tulus sudah terjadi sebelum memutuskan berapa jumlah kenaikan gaji yang akan diberikan.

Indikasi lain kalau teman tersebut memang tidak tulus atau tidak ikhlas, tentu di kesempatan naik taksi berikutnya, ia tidak lagi memberikan lebihan. Sedangkan pada kasus kenaikan gaji, kalau teman tersebut tidak tulus atau tidak ikhlas, tentu pada bulan berikutnya, ia akan memberikan gaji dengan jumlah seperti sebelum kenaikan gaji.

By the way... masalah ini bisa terjadi pada siapa saja, termasuk pada diri kita, khususnya yang sering melakukan kebaikan... hehehe...

Sebagai antisipasi, saat kita memberikan kebaikan kepada orang lain, kita perlu mengetahui setidaknya ada empat respons yang boleh jadi akan kita terima dari orang lain. Jika diurutkan berdasarkan tingkat risiko emosi negatif, maka keempat respons tersebut adalah:
  • Orang lain menerima, dengan mengucapkan terima kasih (valensi emosi: +1);
  • Orang lain menolak, namun tetap mengucapkan terima kasih (valensi emosi: 0);
  • Orang lain menerima, namun diam saja atau tidak mengucapkan terima kasih (valensi emosi: -1);
  • Orang lain justru mengeluhkan nilai kebaikan yang kita berikan (valensi emosi: -2).

Berdasarkan refleksi dari Ayah saya, saat kita memberikan banyak kebaikan kepada orang lain, sudah seberapa banyak toleransi yang kita miliki?

Artinya, sebelum memberikan kebaikan kepada orang lain, periksa dahulu seberapa banyak kesiapan hati/pikiran kita. Seberapa siapkah kita, seandainya orang lain yang menerima kebaikan tersebut, justru berespons negatif terhadap kita. Hehehe... seperti kata pepatah... air susu dibalas dengan air tuba... maunya, air susu dibalas dengan air kelapa ya' :-)

Toleransi dapat dianalogikan dengan car airbags (kantung udara pada mobil) yang disimpan di suatu rongga (di depan pengemudi/penumpang). Fungsi dan cara kerja Car Airbags sangat mirip dengan fungsi dan cara kerja toleransi.

Saat kebaikan yang kita tawarkan/berikan kepada orang lain mendapatkan  penolakan, saat itu terjadi benturan hati/pikiran kita terhadap respons orang lain...

Saat terjadi penolakan, airbags/kantung udara/toleransi yang sudah dipersiapkan, akan mengembang untuk melindungi sang jiwa (sebagai pengemudi pikiran/tubuh ini).

Untuk keselamatan, airbags memiliki harga mati, tidak bisa ditawar...
Harga airbags itu tidak murah...

Kalau ditanya, berapa harga airbags untuk sang jiwa...
Orang terkaya sekalipun mungkin tidak dapat membelinya...
Orang termiskin sekalipun boleh jadi membeli/memilikinya...

Airbags untuk sang jiwa hanya bisa dibeli dengan waktu...
Mau orang kaya, mau orang miskin, yang penting punya waktu...
(uang tidak bisa ditukar menjadi waktu; walaupun waktu bisa ditukar menjadi uang)

Seberapa banyak waktu yang kita donasikan untuk “membeli/memiliki” airbags/kantung udara (seberapa banyak waktu yang kita investasikan untuk melatih keterampilan bertoleransi)?

Beliau mendonasikan sebagian besar waktunya (ribuan tahun) dalam keheningan, dan selalu memberikan toleransi kepada putra/putri-Nya untuk belajar menjadi pemain yang terbaik dalam teater drama kehidupan :-)

Sunday, June 2, 2013

01 & 04. Berhitung... Tung itung itung itung itung... Beruntung...

Konon katanya, pertama kali belajar berhitung, anak lebih dahulu mengenal angka 1 daripada angka 0.

Ingat saja lagu Berhitung yang populer sekitar tahun 1998, “Ini satu... ini dua... ini tiga...berhitung... “ hehehe...

Mengenal angka 1 sendiri adalah suatu keberuntungan :-)

Dengan mengenal angka 1, kita dapat mengenali bahwa selalu saja ada, minimal ada satu, keberuntungan yang datang pada hari kemarin, hari ini, atau hari esok...

Masalahnya, kadang kita mengabaikan angka 1. Kita langsung loncat ke angka yang lebih tinggi... Maksudnya, kita langsung menginginkan bahwa keberuntungan yang datang tersebut bukan hanya 1, melainkan 10, 100, atau 1000.

Atau masalahnya, kalau pun kita mendapatkan 10, 100, atau 1000 keberuntungan, mungkin yang kita lihat bukannya angka 1 di depannya, tetapi angka 0 yang ada di belakang angka 1... sampai-sampai (sampai hati) kita mengatakan bahwa hari ini tidak ada keberuntungan yang datang...

Jadi, kalau waktu pelajaran berhitung di sekolah, Ibu/Bapak Guru mengatakan bahwa bilangan asli dimulai dari angka 1, rasanya klop buanget. (klop bahwa aslinya [sebenarnya] keberuntungan selalu ada, setidaknya 1 keberuntungan)

Kemampuan mengenali 1 keberuntungan (yang ada pada hari ini), membuat kita mampu menyadari bahwa sebetulnya selalu saja ada keberuntungan yang kita dapat.

Untuk menguji bahwa mengenali angka 1 (2, 3, dst.) dalam berhitung membuat kita menyadari selalu saja ada keberuntungan, coba kita tes dengan lagu berikutnya:

Satu, satu, aku sayang ibu... dua, dua, juga sayang ayah... tiga, tiga, sayang adik-kakak... dst.
(seberapa beruntung kita mempunyai ibu, ayah, adik, atau kakak?)

Dua mata saya, hidung saya satu, dua kaki saya, pakai sepatu baru... dst.
(seberapa beruntung kita mempunyai mata, hidung, kaki, dst.?)

Selamat menghitung keberuntungan :-)
mohon dikerjakan tanpa menggunakan kalkulator.... waktu yang diberikan 10 menit... selesai tidak selesai kumpulkan... hehehe.... emangnya ujian...

Saturday, June 1, 2013

03. Fungsi Hati secara Psikologis

Pernyataan 1: Kritik dari orang lain terhadap kita, belum tentu kebenarannya; Dengan demikian... mungkin kita tidak perlu mendengarkan kritik dari orang lain.

Pernyataan 2: Saat kita tidak mau mendengarkan kritik dari orang lain, tidak ada perbaikan yang akan kita usahakan.

Lhaaa piye... (hehehe... piye kabare...) pernyataan mana yang kita mau anut: Pernyataan 1 atau Pernyataan 2?

Dengan penuh kerendahan hati, bagaimana kalau kita pilih Pernyataan 2.

Ketika kita mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh dan tulus, kita menemukan ada beberapa aspek dari kita, yang selama ini sebenarnya dapat kita perbaiki, namun masih terabaikan.

Mendengarkan kritik secara tulus, mendorong kita melakukan refleksi diri, menemukan diri sejati, dan mengetahui posisi dan arah sukses. Saat kita berkenan mendengarkan kritik dari orang lain secara tulus, kita berhasil menghentikan aliran konflik yang semakin meruncing.

Pada saat kita mendengarkan orang lain dengan tulus, serta berhasil melakukan usaha perbaikan, berarti hati kita masih bekerja dengan baik.

Hati kita masih mampu bekerja dengan baik, mengubah kritik menjadi vitamin/zat gizi bagi pikiran dan badan :-)