Sunday, September 2, 2012

11. Alon-alon Asal Kelakon... Tukang Balon jangan di-Klakson :)



Prinsip melakukan sesuatu secara berhati-hati atau tidak terburu-buru (lambat), adalah prinsip yang mungkin saat ini tidak populer. Mungkin lho ya...

Saat ini, orang pada umumnya meminta untuk cepat.... restoran cepat saji.... kiriman cepat sampai... e-mail cepat direspons... utang cepat dibayar... hehehe...

Hati-hati dan tidak terburu-buru... saya  duga adalah dua konstruk yang saling berhubungan... bahkan bersaudara... hehehe... Namun, kadang-kadang, bisa juga ada kondisi kita berusaha berhati-hati, namun dalam kecepatan tinggi (terburu-buru). (wahh... butuh keterampilan tingkat tinggi itu...; dalam bahasa penelitian, tingkat keterampilan/keahlian bisa menjadi variabel moderator kedua hubungan tersebut)

Kembali ke pernyataan awal, timbul pertanyaan...
Apakah masih valid ya, hari gini kita menggunakan prinsip melakukan sesuatu secara berhati-hati atau tidak terburu-buru?

Menurut saya, ya; saat ini sebagian besar kegiatan justru harus dan bahkan terpaksa dilakukan secara berhati-hati atau tidak terburu-buru

Hati-hati atau tidak terburu-buru, biasanya diterapkan pada saat kita bergerak dari titik yang satu ke titik yang lain. Yang dimaksud titik bisa dalam konteks lokasi, situasi/kondisi, atau bisa juga dalam tahapan persepsi.

Mari kita analisis satu persatu ketiga konteks tersebut. (lokasi, situasi/kondisi, & persepsi)

Lokasi. Saat kita dari lokasi rumah menuju ke lokasi kerja, atau sebaliknya, kita melakukan perjalanan bisa secara cepat/terburu-buru, namun bisa juga secara tidak terburu-buru/lambat. Orang rumah sering kali berpesan untuk hati-hati. Secara tersirat, saya yakin sebenarnya orang rumah berpesan untuk tidak terburu-buru di jalan.  Apa yang terjadi? Kalau jalanan sepi, seberapa banyak dari kita yang bawa motor/mobil menancap gas? Nah... untunglah, kondisi di jalanan sering kali macet (gara-gara si Komo lewat), membuat kita tidak bisa memilih untuk cepat; mau tidak mau seringkali kita memilih untuk tidak terburu-buru atau berhati-hati. Orang rumah pasti senang mendengarnya... kita tidak ngebut di jalan; dengan kata lain, kita jadi memenuhi harapan orang rumah loh :)

Situasi/Kondisi. Situasi/kondisi tidak terlepas dari suatu kegiatan, misalnya bangun tidur, sarapan, mandi, berangkat ke sekolah, berangkat ke tempat kerja, membaca, dan seterusnya, sampai kita tertidur kembali. Situasi/kondisi tersebut cenderung berulang (selama kita masih diberi waktu/umur).  Dari titik/situasi bangun tidur ke titik/situasi mandi, sebenarnya kita bisa memilih untuk cepat atau bisa memilih untuk lambat (tidak terburu-buru). Seberapa sering di antara dua situasi/kondisi tersebut, kita bisa memilih untuk lambat (tidak terburu-buru atau berhati-hati).   Kalau saja kita bangunnya lebih pagi, mungkin kita bisa memilih untuk masak dan sarapan dengan tidak terburu-buru... (memilih untuk berhati-hati, sambil memeriksa kembali hal penting yang harus dibawa) hehehe... yang sering terjadi, kadang kita memilih tidak terburu-buru juga, namunnn bukan dalam posisi bangun, tetapi dalam posisi tidur lagi... hayoo siapa yang sebenarnya sudah bangun lebih pagi, tapi tidur lagi? :) Kalau bagunnya sudah pagi, tapi tidur lagi.... wadooh....jadi buru-buru deh sarapannya :)

Persepsi. Dalam mempersepsi sesuatu, sering kali kita langsung loncat kepada tahap reaksi (titik ke dua). Padahal proses persepsi, dari stimulus (sebagai titik pertama) ke reaksi (sebagai titik ke dua) sebenarnya ada beberapa tahap... (contoh proses persepsi: ada suara musik, gelombang suara musik masuk ke telinga, gendang telinga bergetar, dilanjutkan proses coding ke pusat syaraf, dan seterusnya, dan seterusnya.... hingga kita menginterpretasi dan kita berreaksi dengan menggoyang-goyangkan kepala/kaki :) Pertanyaannya..., bisa ndak ya, dari melihat/mendengar stimulus, kita berhati-hati atau tidak terburu-buru, sampai kepada tahap reaksi? Kalau bisa, mungkin stimulus yang sama, bisa memiliki banyak alternatif/pilihan reaksi. Bisa jadi stimulus yang berpotensi menimbulkan reaksi/emosi negatif, karena kita berhati-hati atau tidak terburu-buru, bisa diubah menjadi reaksi/emosi positif. 

Test Case: Coba deh besok kita amati perilaku kita/teman kita ya... saat menyetir mobil/mengendari motor, seberapa mungkin kita/teman kita berhati-hati atau tidak terburu-buru? Bagaimana REAKSI kita/teman kita setelah melihat STIMULUS (orang lain nyelonong atau bermaksud memotong/merintangi jalan kita)?
  • Memencet bel/klakson (secara lembut-lembut)
  • Mengumpat (dengan kata-kata manis/mesra)
  • Kesal/Menyesal (mengapa ya saya lahir di planet bumi ini)
  • Aktifkan bel/sirene Polisi Bermotor / BM (tot-tot.... tot-tot...)
atau
  • Mendahulukan/memberi jalan kepadanya
  • Tersenyum kepadanya
  • Mempersilakannya dengan tulus/iklas


Test case di atas, jangan lupa untuk coba diamati lho ya...

Di akhir tulisan ini... tolong ingat... hati-hati atau tidak terburu-buru mengambil kesimpulan... !!!

Tulisan ini sama sekali bukan bermaksud,
  • mendukung slogan “kalau bisa diperlambat, mengapa mesti dipercepat” 
  • atau menyarankan “kalau begitu..., kita lambat-lambat saja ya dalam mengerjakan/mengumpulkan tugas” 
  • atau membiarkan pandangan bahwa “budaya berlalu-lintas kita memang parah... tidak seperti di luar negeri / di luar angkasa” ?@#!wk?$


sama-sekali, bukan.. :)