Prinsip melakukan sesuatu secara berhati-hati atau
tidak terburu-buru (lambat), adalah prinsip yang mungkin saat ini tidak populer. Mungkin lho ya...
Saat ini, orang
pada umumnya meminta untuk cepat.... restoran cepat saji.... kiriman cepat
sampai... e-mail cepat direspons...
utang cepat dibayar... hehehe...
Hati-hati dan tidak terburu-buru... saya duga adalah dua konstruk yang saling berhubungan... bahkan bersaudara... hehehe... Namun, kadang-kadang, bisa juga ada kondisi kita berusaha berhati-hati, namun dalam kecepatan tinggi (terburu-buru). (wahh... butuh keterampilan tingkat tinggi itu...; dalam bahasa penelitian, tingkat keterampilan/keahlian bisa menjadi variabel moderator kedua hubungan tersebut)
Kembali ke pernyataan awal, timbul pertanyaan...
Apakah masih valid ya, hari gini kita menggunakan prinsip melakukan sesuatu secara berhati-hati atau tidak terburu-buru?
Menurut saya, ya; saat ini sebagian besar kegiatan justru harus dan bahkan terpaksa dilakukan secara berhati-hati atau tidak terburu-buru.
Hati-hati atau tidak
terburu-buru, biasanya diterapkan pada saat kita bergerak dari titik yang satu ke titik yang lain. Yang dimaksud titik
bisa dalam konteks lokasi, situasi/kondisi, atau bisa juga dalam tahapan persepsi.
Mari kita
analisis satu persatu ketiga konteks tersebut. (lokasi, situasi/kondisi, & persepsi)
Lokasi. Saat kita dari lokasi rumah menuju ke lokasi kerja, atau sebaliknya, kita
melakukan perjalanan bisa secara cepat/terburu-buru, namun bisa juga secara
tidak terburu-buru/lambat. Orang rumah sering kali berpesan untuk hati-hati. Secara
tersirat, saya yakin sebenarnya orang rumah berpesan untuk tidak terburu-buru
di jalan. Apa yang terjadi? Kalau jalanan
sepi, seberapa banyak dari kita yang bawa motor/mobil menancap gas? Nah... untunglah, kondisi
di jalanan sering kali macet (gara-gara si Komo lewat), membuat kita tidak bisa
memilih untuk cepat; mau tidak mau seringkali kita memilih untuk tidak terburu-buru atau berhati-hati. Orang rumah pasti senang
mendengarnya... kita tidak ngebut di jalan; dengan kata lain, kita jadi memenuhi
harapan orang rumah loh :)
Situasi/Kondisi. Situasi/kondisi tidak terlepas dari suatu
kegiatan, misalnya bangun tidur, sarapan, mandi, berangkat ke sekolah,
berangkat ke tempat kerja, membaca, dan seterusnya, sampai kita tertidur
kembali. Situasi/kondisi tersebut cenderung berulang (selama kita masih diberi waktu/umur).
Dari titik/situasi bangun tidur ke titik/situasi
mandi, sebenarnya kita bisa memilih untuk cepat atau bisa memilih untuk lambat
(tidak terburu-buru). Seberapa
sering di antara dua situasi/kondisi tersebut, kita bisa memilih untuk lambat (tidak terburu-buru atau berhati-hati). Kalau
saja kita bangunnya lebih pagi, mungkin kita bisa memilih untuk masak dan
sarapan dengan tidak terburu-buru...
(memilih untuk berhati-hati, sambil memeriksa kembali hal penting yang harus dibawa) hehehe... yang sering terjadi, kadang kita memilih tidak terburu-buru juga, namunnn bukan dalam posisi bangun, tetapi
dalam posisi tidur lagi... hayoo
siapa yang sebenarnya sudah bangun lebih pagi, tapi tidur lagi? :) Kalau bagunnya sudah pagi, tapi tidur lagi.... wadooh....jadi buru-buru deh sarapannya :)
Persepsi. Dalam mempersepsi sesuatu, sering kali kita langsung loncat kepada tahap
reaksi (titik ke dua). Padahal proses persepsi, dari stimulus (sebagai titik pertama) ke reaksi (sebagai titik ke dua) sebenarnya ada beberapa
tahap... (contoh proses persepsi: ada suara musik, gelombang suara musik masuk
ke telinga, gendang telinga bergetar, dilanjutkan proses coding ke pusat syaraf, dan seterusnya, dan seterusnya.... hingga kita menginterpretasi dan kita berreaksi dengan menggoyang-goyangkan kepala/kaki :) Pertanyaannya..., bisa ndak
ya, dari melihat/mendengar stimulus, kita berhati-hati
atau tidak terburu-buru, sampai
kepada tahap reaksi? Kalau bisa, mungkin stimulus yang sama, bisa memiliki banyak alternatif/pilihan reaksi. Bisa jadi stimulus yang berpotensi menimbulkan reaksi/emosi negatif, karena kita berhati-hati atau tidak terburu-buru, bisa diubah menjadi reaksi/emosi positif.
Test Case: Coba deh besok kita amati perilaku kita/teman kita ya... saat menyetir mobil/mengendari motor, seberapa mungkin kita/teman kita berhati-hati
atau tidak terburu-buru? Bagaimana REAKSI kita/teman kita setelah melihat STIMULUS (orang
lain nyelonong atau bermaksud memotong/merintangi jalan kita)?
- Memencet bel/klakson (secara lembut-lembut)
- Mengumpat (dengan kata-kata manis/mesra)
- Kesal/Menyesal (mengapa ya saya lahir di planet bumi ini)
- Aktifkan bel/sirene Polisi Bermotor / BM (tot-tot.... tot-tot...)
- Mendahulukan/memberi jalan kepadanya
- Tersenyum kepadanya
- Mempersilakannya dengan tulus/iklas
Test case di atas, jangan lupa untuk coba diamati lho ya...
Di akhir tulisan ini... tolong ingat... hati-hati atau tidak terburu-buru mengambil kesimpulan... !!!
Tulisan ini sama
sekali bukan bermaksud,
- mendukung slogan “kalau bisa diperlambat, mengapa mesti dipercepat”
- atau menyarankan “kalau begitu..., kita lambat-lambat saja ya dalam mengerjakan/mengumpulkan tugas”
- atau membiarkan pandangan bahwa “budaya berlalu-lintas kita memang parah... tidak seperti di luar negeri / di luar angkasa” ?@#!wk?$
sama-sekali, bukan.. :)